Mengurai Ambisi Swasembada Energi Prabowo

Intinya sih...
- Presiden Prabowo Subianto berkomitmen mencapai swasembada energi dalam 4-5 tahun dengan fokus pada sumber daya alam Indonesia.
- Pengamat ekonomi energi menyoroti kendala teknologi untuk mengolah sumber daya menjadi energi baru terbarukan (EBT).
Jakarta, IDN Times - Presiden Prabowo Subianto memulai masa jabatannya dengan janji ambisius, mewujudkan swasembada energi Indonesia dalam 4-5 tahun mendatang.
Dalam pidato perdananya pasca dilantik sebagai orang nomor satu di Indonesia, Prabowo menegaskan pentingnya kemandirian energi demi menghadapi ketidakpastian global.
"Pemerintah yang saya pimpin nanti akan fokus untuk mencapai swasembada energi," kata dia dalam pidato perdananya sebagai presiden di Gedung DPR/MPR RI, Minggu (20/10/2024).
Dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam, seperti kelapa sawit, geothermal, dan batu bara, pemerintahannya bertekad mendorong kedaulatan energi yang sejalan dengan keberlanjutan lingkungan dan target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
"Kita harus siap dengan kemungkinan yang paling jelek. Negara-negara lain harus memikirkan kepentingan mereka sendiri, kalau terjadi hal yang tidak diinginkan sulit kita mendapat sumber energi dari negara lain," ungkapnya.
Namun, janji tersebut menghadapi tantangan besar, mulai dari ketergantungan teknologi hingga tumpang tindih kebijakan.
1. Tantangan teknologi dalam ambisi swasembada energi
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi menyoroti komitmen Prabowo mencapai swasembada energi dalam 4-5 tahun melalui pengembangan energi baru terbarukan (EBT) berbasis kekayaan sumber daya alam Indonesia.
Hal itu meliputi kelapa sawit, singkong, tebu, sagu, jagung, geothermal, batu bara, air, angin, dan matahari. Namun, Indonesia belum memiliki teknologi yang memadai untuk mengolah sumber daya tersebut menjadi EBT.
"Masalahnya, Indonesia tidak memiliki teknologi untuk mengolah sumber daya energi tersebut menjadi EBT," kata dia dalam keterangan tertulis.
Upaya seperti biodiesel berbasis sawit dan gasifikasi batu bara, menurut dia belum berhasil akibat kendala teknologi dan keekonomian, termasuk berhentinya kerja sama dengan mitra asing seperti Eni dari Italia dan Air Product dari Amerika Serikat.
"Pengembangan biodiesel selain tidak dapat dicapai, program EBT berbasis sawit juga berpotensi bertabrakan dengan program pangan untuk menghasilkan minyak goreng," paparnya.
Fahmy menekankan perlunya pemerintah menarik investasi asing yang menguasai teknologi serta mengembangkan riset domestik melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan universitas.
"Tanpa upaya serius dan terus-menerus, komitmen Prabowo yang disampaikan pada pidato perdana sebagai presiden untuk mencapai swasembada energi tak lebih hanya omon-omon saja," ungkapnya.
2. Perlu dukungan regulasi untuk capai swasembada energi
Percepatan transisi ke energi terbarukan menjadi langkah penting untuk mencapai swasembada energi. Sebab, ketergantungan pada energi fosil yang produksinya menurun dapat menghambat cita-cita tersebut. Karenanya, pemerintah perlu menetapkan kebijakan yang mendukung investasi energi terbarukan.
Managing Director Energy Shift Institute (ESI), Putra Adhiguna menyebut transisi energi sebagai kunci daya saing Indonesia di tingkat global. Energi bersih menjadi kebutuhan perusahaan global dan mendukung target pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Namun, perencanaan matang seperti penyusunan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan regulasi energi terbarukan pada level undang-undang sangat diperlukan untuk menarik investor.
“Pengalaman selama ini menunjukkan kalau permen (peraturan menteri) saja tidak cukup, perpres (peraturan presiden) saja tidak bisa jalan, jadi perlu ada kejelasan terkait undang-undang energi terbarukan,” tegas Putra.
Menurut Analis Kebijakan Energi International Institute for Sustainable Development (IISD), Anissa Suharsono, transisi ke energi bersih membutuhkan reformasi kebijakan subsidi energi dan penghapusan hambatan seperti aturan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang menghambat pengembangan energi terbarukan.
"Iklim investasi yang stabil hanya dapat terbentuk jika pemerintah memiliki peta jalan yang jelas dan mengikat secara hukum,” kata Anissa.
Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah, Agung Budiono menambahkan, Indonesia akan semakin bergantung pada impor bahan bakar fosil jika tidak segera mempercepat transisi energi terbarukan.
“Oleh sebab itu, transisi energi sangat mendesak untuk dipercepat, dan pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto perlu terbitkan kebijakan dan regulasi pendukungnya," ujar dia.
3. Bahlil mengakui swasembada energi jadi tantangan berat
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mengakui mencapai swasembada energi sebagai tantangan besar di masa kepemimpinan Presiden Prabowo.
"Tentu ini menjadi tantangan besar, sebab apa? Harapan Bapak Presiden Prabowo dalam berbagai pidatonya termasuk kemarin pidato kenegaraan pertama di MPR bahwa salah satu yang akan didorong itu adalah tentang kedaulatan energi," kata Bahlil kepada jurnalis di kantornya, Jakarta, Senin (21/10).
Dia menegaskan, Kementerian ESDM sebagai garda terdepan, memiliki peran penting dalam mewujudkan swasembada energi melalui kebijakan dan regulasi yang efektif, termasuk pengelolaan SKK Migas.
Dalam 100 hari pertama masa jabatannya, Bahlil berfokus menyederhanakan lebih dari 100 izin eksplorasi energi yang tumpang tindih. Dia juga mencermati dampak buruk regulasi tersebut terhadap pejabat kementerian dan pengusaha.
"Nah, ini kita akan melakukan perbaikan supaya tidak menyandra pejabat, tapi juga tidak menyiksa atau menghambat pengusaha untuk melakukan percepatan," ujar Bahlil.
Selain itu, pemerintah mendorong penerapan biodiesel B40. Pihaknya menjamin itu tidak akan mengganggu alokasi CPO untuk kebutuhan pangan. Pemerintah berencana mengurangi ekspor CPO demi prioritas domestik.
"Jadi, untuk total volume terhadap B40 tidak akan mengurangi sedikitpun untuk alokasi CPO kepada pangan. Nggak ada. Dalam negeri tetap kita stabil. No issue," kata Bahlil, dikutip Kamis (28/11).
4. Pertamina siapkan strategi mendukung swasembada energi
Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Fadjar Djoko Santoso memastikan pihaknya mendukung kebijakan Prabowo untuk mencapai swasembada energi sebagai bagian dari visi Asta Cita.
Dia menyatakan komitmen perusahaan untuk menjaga ketahanan energi melalui pengembangan bisnis rendah karbon seperti biofuel, petrokimia, geothermal, dan teknologi carbon capture utilization and storage (CCS/CCUS).
“Terobosan ini akan memperkuat swasembada energi, sekaligus memberikan dampak dalam penurunan emisi karbon, diversifikasi portofolio bisnis yang akan membuka peluang bisnis baru di masa depan,” kata Fadjar dalam keterangan tertulis, Kamis (24/10).
Pertamina telah mengembangkan biofuel ramah lingkungan, termasuk biodiesel B35, Pertamax Green, dan Sustainable Aviation Fuel (SAF). Di sektor geothermal, Pertamina mengelola 15 wilayah kerja dengan kapasitas 672 MW yang ditargetkan meningkat menjadi 1 GW dalam 2-3 tahun ke depan.
Di sektor petrokimia, produksi akan ditingkatkan dari 1,9 juta ton per tahun menjadi 3,2 juta ton pada 2025. Untuk bisnis migas, pengembangan teknologi CCS/CCUS diproyeksikan menurunkan emisi hingga 1,5 juta ton pada 2029.
Melalui Program "Desa Energi Berdikari," Pertamina melibatkan masyarakat dalam pengembangan energi hijau di 85 desa di seluruh Indonesia.
“Dengan dukungan stakeholder, Pertamina optimistis bisa mendukung program pemerintah swasembada energi sekaligus mencapai NZE sesuai target nasional,” tambah Fadjar.
5. PLN genjot EBT untuk dukung swasembada energi
PT PLN (Persero) menegaskan dukungannya terhadap visi swasembada energi melalui peningkatan pemanfaatan energi terbarukan sebesar 75 persen hingga 2040. Langkah ini selaras dengan target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan Prabowo.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo mengatakan, pihaknya sedang merancang ulang RUPTL dengan menargetkan tambahan kapasitas listrik 100 GW, di mana 75 persen berasal dari energi terbarukan.
"Artinya, ke depan kami akan mengurangi emisi gas rumah kaca melalui penambahan pembangkit berbasis energi terbarukan yang berasal dari tenaga air sebesar 25 GW, surya 27 GW, angin sebesar 15 GW, panas bumi 6 GW, dan bioenergy 1 GW,” kata Darmawan dalam keterangannya, Senin (11/11).
PLN juga merancang Green Enabling Transmission Line untuk menghubungkan sumber energi terbarukan dari daerah terisolasi ke pusat kebutuhan, serta mengembangkan smart grid guna memastikan stabilitas sistem listrik berbasis energi terbarukan.
"Tanpa smart grid, kami hanya bisa menambah 5 GW. Tetapi dengan smart grid, kami bisa menambah pembangkit angin dan surya hingga 42 GW, sehingga kami bisa menyeimbangkan antara suplai listrik dan permintaan,” sebut Darmawan.
Darmawan menegaskan pentingnya kolaborasi dengan mitra lokal dan internasional untuk mendukung investasi dan inovasi teknologi dalam transisi energi. Langkah itu menjadi kunci mencapai swasembada energi yang berkelanjutan dan memenuhi kebutuhan energi bersih di masa depan.
6. Swasembada energi harus dirasakan di seluruh Indonesia
Anggota Komisi XII DPR RI, Sigit Karyawan Yunianto menyatakan dukungannya terhadap program swasembada energi yang dicanangkan Prabowo. Dia berkomitmen mengawasi pelaksanaannya agar manfaat energi dapat dirasakan secara merata di seluruh Indonesia.
“Program swasembada energi ini harus bisa memastikan agar semua wilayah, termasuk Kalimantan Tengah, mendapatkan manfaat dari potensi sumber daya alam kita. Kami akan sampaikan ide-ide konstruktif dan terus melakukan pengawasan agar listrik dapat merata di seluruh Indonesia,” kata dia Jumat (8/11).
Di sisi lain, politisi fraksi PDI Perjuangan itu menyatakan keprihatinan atas belum meratanya akses listrik di Indonesia, khususnya di Kalimantan Tengah. Meskipun wilayah tersebut merupakan salah satu penghasil batu bara terbesar di Indonesia, banyak masyarakatnya yang belum menikmati aliran listrik.
Sigit menyoroti ketimpangan infrastruktur energi antara Kalimantan Tengah dan daerah lain seperti Banten, yang telah memiliki smelter untuk mendukung kebutuhan listrik.
Dia menilai keberadaan smelter di Banten memberikan manfaat besar bagi pemenuhan energi, sedangkan Kalimantan Tengah, meski kaya akan batu bara, belum memiliki fasilitas serupa untuk memenuhi kebutuhan energi lokal.
“Listrik adalah kebutuhan dasar yang sangat penting bagi masyarakat. Kami sangat prihatin karena masih ada saudara-saudara kami yang belum mendapatkan akses listrik, padahal daerah kami adalah penghasil batubara,” tambahnya.