Tarif baru yang berlaku mulai Jum'at (1/8/2025) dikhawatirkan menambah tekanan ekonomi di Myanmar, mengingat negara tersebut sedang menghadapi resesi ekonomi parah sekaligus konflik sipil yang sudah berlangsung lebih dari empat tahun sejak kudeta militer 2021.
Dalam pernyataan pada Sabtu (2/8/2025), Zaw Min Tun mengatakan bahwa Myanmar memprioritaskan hasil negosiasi agar ekonomi dan perdagangan domestik tetap terjaga di tengah situasi sulit. Banyak negara Barat, termasuk AS, sejak 2021 telah memberlakukan sanksi dan membatasi kontak diplomatik dengan pemerintah junta Myanmar, mempertegas tekanan di sektor perdagangan internasional.
Di sisi lain, Jenderal Min Aung Hlaing dalam kesempatan korespondensi pada Sabtu (12/7/2025) juga mendesak agar AS mempertimbangkan pelonggaran sanksi ekonomi terhadap Myanmar demi kepentingan rakyat kedua negara.
Pemangku kepentingan di sektor industri Myanmar turut menyuarakan kekhawatiran atas kemungkinan dampak kebijakan tarif terhadap sektor manufaktur dan ketenagakerjaan, khususnya industri garmen yang menjadi ekspor utama Myanmar ke pasar AS.