PBB Desak Semua Negara Beralih dari Fosil ke Energi Bersih

- Energi terbarukan dorong pertumbuhan dan dominasi kapasitas global
- Negara didesak gunakan kebijakan iklim untuk kejar keamanan energi
Jakarta, IDN Times – Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres menyampaikan pada Selasa (22/7/2025), dunia sedang berada di ambang kemajuan besar dalam menangani krisis iklim. Ia meminta semua negara segera menghentikan ketergantungan pada bahan bakar fosil dan beralih ke energi rendah karbon seperti tenaga surya dan angin.
“Kita berada di ambang era baru. Bahan bakar fosil kehabisan jalan. Matahari terbit pada era energi bersih,” kata Guterres dalam pidatonya di New York, dikutip dari The Guardian.
Laporan Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) menunjukkan lebih dari 90 persen proyek energi hijau kini lebih murah daripada pembangkit fosil. Tenaga surya bahkan disebut 41 persen lebih murah dari opsi bahan bakar fosil paling murah. Pembangkit angin di darat juga dilaporkan hanya memakan biaya kurang dari setengahnya berkat kemajuan teknologi, lonjakan investasi, dan produksi massal di China.
1. Energi terbarukan dorong pertumbuhan dan dominasi kapasitas global

Sepanjang 2024, kapasitas pembangkit energi terbarukan di dunia meningkat tajam hingga mencapai 582 gigawatt, naik hampir 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hampir seluruh penambahan kapasitas tersebut berasal dari energi surya dan angin, yang kini mendominasi pembangunan pembangkit di berbagai benua.
Laporan multi-lembaga PBB berjudul Seizing the Moment of Opportunity mencatat sekitar tiga perempat pertumbuhan listrik global saat ini berasal dari sumber energi ramah lingkungan.
Dilansir dari Euro News, sumbangsih energi hijau terhadap ekonomi juga makin signifikan. Pada 2023, sektor ini memberikan kontribusi sebesar 10 persen terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Di Eropa, angkanya bahkan nyaris menyentuh 33 persen, menandai terputusnya hubungan lama antara pertumbuhan ekonomi dan peningkatan emisi karbon di negara-negara maju.
2. Negara didesak gunakan kebijakan iklim untuk kejar keamanan energi
Guterres menegaskan energi terbarukan merupakan solusi atas tingginya biaya hidup dan ketegangan geopolitik internasional. Ia menyampaikan bahan bakar fosil justru menjadi ancaman utama bagi stabilitas pasokan energi dunia.
“Tidak ada lonjakan harga untuk sinar matahari. Tidak ada embargo pada angin,” ujarnya.
Negara-negara diminta menggunakan momentum penyusunan Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDCs) sebelum September 2025 untuk memangkas subsidi energi fosil dan memperkuat sektor energi bersih. Guterres menyebut, kebijakan ini sebagai langkah cerdas secara ekonomi sekaligus penguat keamanan publik.
Sementara itu, Bill Hare dari organisasi riset iklim Climate Analytics menganggap investasi baru di bahan bakar fosil sebagai tindakan gegabah dan mendorong dukungan global agar negara-negara Afrika turut dalam transisi energi.
Direktur lembaga riset E3G, Kaysie Brown mendorong negara-negara untuk menyusun rencana iklim nasional yang ambisius sebelum Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP30) digelar di Brasil pada November 2025. Ia menyebut dunia sudah memiliki teknologi dan alasan ekonomi yang kuat untuk bergerak cepat, tapi semua itu membutuhkan kepemimpinan berani dan kerja sama internasional.
3. Ketegangan global dan minimnya investasi jaringan jadi tantangan utama

Direktur Jenderal IRENA, Francesco La Camera, menyatakan bahwa energi terbarukan kini lebih unggul secara ekonomi dibandingkan bahan bakar fosil.
“Daya saing biaya energi terbarukan adalah kenyataan saat ini,” katanya.
Namun, ia juga memperingatkan konflik geopolitik, hambatan dagang, dan krisis material berpotensi menghambat kemajuan sektor ini.
Laporan IRENA mengungkapkan, percepatan pembangunan pembangkit tidak diiringi dengan investasi memadai pada sistem jaringan distribusi. Saat ini, dari setiap 1 dolar Amerika Serikat (AS) yang diinvestasikan untuk pembangkit energi bersih, hanya sekitar 60 sen yang dialokasikan untuk memperkuat jaringan listrik. Padahal, kesuksesan transisi energi sangat bergantung pada keseimbangan antara produksi dan infrastruktur distribusi.
Dalam pernyataannya yang tidak menyebut nama Presiden AS, Donald Trump, Guterres mengkritik kebijakan-kebijakan yang melemahkan dukungan terhadap energi bersih.
“Masa depan energi bersih bukan lagi janji, itu adalah fakta,” ujarnya, dikutip dari NewsWeek.
Ia menambahkan, tidak ada pemerintah, industri, atau kepentingan khusus yang mampu menghentikan laju transisi menuju energi bersih.