Ilustrasi transaksi ekonomi. (IDN Times/Aditya Pratama)
Tingginya bunga pinjaman yang ditetapkan perbankan, menurut mantan Kepala BNP2TKI ini, merupakan salah satu contoh kebijakan yang tidak produktif dan merugikan perekonomian nasional.
“Negara tetangga bisa menetapkan bunga hanya 6–7 persen lalu kenapa bunga bank di Indonesia harus 13–15 persen, terutama untuk UMKM dan sektor lainnya? Akibatnya, sebagian besar keuntungan habis untuk hal-hal yang tidak produktif. Padahal, jika dikembalikan ke perusahaan atau ke buruh, itu bisa meningkatkan daya beli dan menciptakan efek berganda bagi perekonomian,” tutur dia.
Ia juga menilai rendahnya daya beli masyarakat saat ini merupakan akibat dari kebijakan pemerintahan sebelumnya yang perlu dibenahi satu per satu.
“Carry over yang paling parah dan mengerikan dari kebijakan masa lalu adalah daya beli masyarakat yang terpukul habis. Bayangkan, pada 2014 saldo harian rata-rata masyarakat di perbankan masih Rp3,8 juta. Sekarang tinggal Rp1,3 juta. Artinya daya beli anjlok. Kalau orang tidak punya uang, industri pun pasti terpukul,” ujar Jumhur.
Untuk memulihkan daya beli masyarakat, Jumhur kembali mendesak pemerintah untuk mempermudah masuknya investasi serta menekan biaya operasional yang harus ditanggung pengusaha. Dengan semakin banyak lapangan kerja yang terbuka, maka pengeluaran buruh akan kembali menggerakkan roda perekonomian.
“Pemerintah sebagai pembuat kebijakan saat ini sangat terbuka terhadap masukan dari orang-orang yang langsung berkecimpung di bidangnya. Anggap saja 6 bulan hingga 1 tahun ke depan ini sebagai fase transisi. Semoga, dengan dialog dan kebijakan yang tepat, bisa tercipta hasil yang baik bagi rakyat,” ucap dia.