Bendera Uni Eropa (pexels.com/Marco)
Di Eropa, kebijakan proteksionisme Trump memicu reaksi keras. Uni Eropa berencana membalas dengan tarif senilai 26 miliar euro (sekitar Rp466 triliun) terhadap produk AS mulai 1 April 2025. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan bahwa pihaknya tetap terbuka untuk berdialog dengan AS, tetapi juga siap mengambil langkah tegas.
Inggris juga terkena dampak kebijakan ini, dengan ancaman terhadap ekspor baja senilai lebih dari 350 juta poundsterling (sekitar Rp7.451) per tahun. Menteri Bisnis Jonathan Reynolds menyatakan bahwa pemerintah Inggris tidak akan langsung membalas, tetapi akan terus bernegosiasi dengan AS.
“Kami akan terus berkomunikasi dengan AS untuk memperjuangkan kepentingan bisnis Inggris,” ujarnya. Namun, industri baja Inggris tetap khawatir karena penurunan permintaan dari AS bisa memaksa produsen mencari pasar baru.
Asisten Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Baja Community, Alasdair McDiarmid, menyebut kebijakan AS sebagai ancaman serius bagi pekerja industri baja Inggris.
“Tarif AS terhadap baja Inggris sangat merusak dan mengancam lapangan kerja,” katanya.
“Bagi AS sendiri, ini juga bisa menjadi langkah yang merugikan, karena Inggris adalah pemasok utama produk baja khusus yang dibutuhkan sektor pertahanan dan dirgantara mereka,” tambahnya, dikutip dari Sky News.
Dampak kebijakan ini tidak hanya terasa di sektor industri, tetapi juga di pasar keuangan. Investor khawatir bahwa proteksionisme Trump akan memperlambat ekonomi AS. Mata uang dolar AS telah kehilangan nilai sekitar lima sen terhadap poundsterling dan euro dalam beberapa minggu terakhir, sementara nilai pasar saham S&P 500 anjlok lebih dari 4 triliun dolar AS dari puncaknya bulan lalu.
Dengan meningkatnya ketegangan dagang, banyak pihak kini menanti apakah Trump akan melonggarkan kebijakan ini atau justru semakin memperketatnya. Jika eskalasi terus berlanjut, perang dagang baja bisa berujung pada krisis ekonomi global yang lebih luas.