Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. (Dok. IDN Times)
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda menyoroti sejumlah kejanggalan dalam pengumuman data pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,12 persen. Dia tidak percaya angka tersebut mencerminkan kondisi ekonomi yang sebenarnya.
Menurut Nailul, pertumbuhan yang lebih tinggi di kuartal II terasa janggal karena tidak ada momen Ramadan dan Lebaran seperti pada kuartal I. Padahal, biasanya pertumbuhan tertinggi terjadi saat periode tersebut. Kuartal I 2025 saja hanya tumbuh 4,87 persen.
Dia juga mempertanyakan lonjakan pertumbuhan industri pengolahan yang mencapai 5,68 persen, sementara PMI manufaktur Indonesia sepanjang April-Juni 2025 berada di bawah 50, menandakan kontraksi. Selain itu, industri manufaktur justru memburuk, dibuktikan dengan peningkatan PHK sebesar 32 persen secara tahunan selama semester I.
Kejanggalan lain terlihat dari konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh 4,96 persen, hampir stagnan dari triwulan sebelumnya. Dengan kontribusi konsumsi rumah tangga mencapai 50 persen dari PDB, Nailul menilai mustahil pertumbuhan ekonomi melonjak tanpa peningkatan signifikan di sektor ini. Apalagi, indeks keyakinan konsumen terus melemah.
Karena banyaknya ketidaksesuaian antara angka pertumbuhan dan indikator utama, Nailul mendesak BPS untuk membuka metodologi perhitungan secara transparan dan menjaga independensinya dari intervensi pemerintah.
"Ketidaksinkronan antara data pertumbuhan ekonomi dengan leading indikator, membuat saya pribadi tidak percaya terhadap data yang dirilis oleh BPS," tambahnya.