ilustrasi pajak dan retribusi (IDN Times/Aditya Pratama)
Pengamat Pajak sekaligus Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, UU HPP hanya mengenal skema satu tarif atau single tarif. Oleh karena itu penaikan tarif PPN 12 persen otomatif akan dikenakan secara menyeluruh terhadap objek PPN kecuali yang diberikan fasilitas.
"Jika pemerintah ingin membedakan tarif PPN seperti usulan DPR, maka perlu dilakukan revisi UU," tegasnya.
Revisi sebuah UU memerlukan waktu dan kajian mendalam. Padahal tenggat waktu yang tersisa untuk menerapkan tarif PPN 12 persen tersisa tiga pekan, apalagi dalam waktu dekat, DPR akan memasuki masa reses hingga pertengahan Januari 2025.
"Kalaupun Pemerintah ingin menaikan pada objek tertentu, seperti yang kena PPnBM saja maka perlu mengubah Undang-Undang dan itu akan memakan waktu (mengubah menjadi multi tarif). Padahal, kenaikan tarif PPN kurang dari sebulan lagi," ucap Fajry.
Menurutnya, apabila kenaikan hanya pada objek yang selama ini kena PPnBM maka kenaikannya dilakukan secara sempit. Salah satu konsekuensinya adalah potensi penerimaan yang semakin kecil.
Di samping itu, pemerintah pun diminta merevisi Undang Undang 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) apabila setuju dengan usulan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) multitarif. Sebab, aturan terkait PPN diatur oleh UU tersebut, bukan Peraturan Pemerintah (PP).
Sebagai informasi, penerimaan PPnBM kita pada tahun lalu sekitar Rp24,9 triliun dan paling besar disumbangkan oleh kendaraan bermotor (data terakhir di-publish tahun 2021, 99,35 persen PPnBM DN dan 89,42 persen PPnBM Impor). Itu pun sebagian besar dikenakan tarif 15 persen (tarif dari jenis mobil yang paling banyak dijual).