Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Produksi Gula Lokal Belum Bisa Berdaya Saing, Kenapa?

Perajin menuangkan gula pasir ke dalam baskom sebagai bahan baku pembuatan madumongso di Mojo, Kediri, Jawa Timur, Senin (11/5/2020). Semenjak merebaknya COVID-19, sejumlah pelaku UMKM makanan mengeluhkan kenaikan harga gula pasir dari sebelumnya Rp12 ribu menjadi Rp18 ribu per kilogram sehingga terpaksa menaikkan harga jual produknya untuk mengimbangi biaya produksi dengan risiko berkurangnya pelanggan. ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/wsj.

Jakarta, IDN Times - Kurangnya daya saing menjadi salah satu permasalahan gula nasional yang belum berhasil dibenahi. Hal itu menyebabkan produksi gula dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan domestik. Pada akhirnya akan berdampak pada kelangkaan yang menyebabkan fluktuasi harga.

“Target pemerintah untuk membangun 15 pabrik gula pada periode 2020-2024 akan sulit tercapai tanpa adanya riset dan inovasi teknologi. Riset dan inovasi teknologi sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas gula, menekan biaya produksi dan meningkatkan kapasitas produksi dengan cara yang lebih efisien,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arumdriya Murwani dalam keterangan tertulis, Jumat (2/4/2021).

1. Daya saing industri gula nasional masih kurang

(Ilustrasi mengenai gula rafinasi) ANTARA FOTO/Dewi Fajriani

Menurut Arum, polemik impor gula yang saat ini terjadi tidak lepas dari kurangnya daya saing industri gula nasional. Rencana pemerintah mengimpor gula untuk menjaga ketersediaan dan kestabilan harga gula diprotes oleh pemangku kepentingan gula domestik. Pemerintah memperkirakan kebutuhan gula untuk periode Januari-Mei 2021 mencapai 1.218.964 ton.

Stok sisa Desember 2020 berjumlah 804.685 ton. Sementara itu, produksi dalam negeri yang diprediksi mencapai 135.795 ton akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan gula sampai bulan Mei 2021. Selisih antara kemampuan pengadaan stok gula dalam negeri dengan prediksi kebutuhan gula, sebesar 278.484 ton, akan dipenuhi oleh impor.

Pemerintah berencana untuk mengimpor gula untuk kebutuhan konsumsi sebanyak 646.944 ton untuk memenuhi kebutuhan gula di periode ini.

"Jumlah impor yang jauh lebih besar dari kebutuhan inilah yang menjadi dasar protes para pemangku kepentingan di sektor gula domestik," kata Arum.

Dia melanjutkan, musim giling tebu yang dimulai pada akhir Mei akan didistribusikan ke pasar pada bulan Juni. Surplus gula impor inilah yang dikhawatirkan akan mengganggu harga jual gula di pasaran dan merugikan petani tebu.

2. Revitalisasi alat produksi dapat jadi solusi

ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Arum menambahkan, upaya untuk meningkatkan daya saing industri gula dapat dimulai dengan revitalisasi alat produksi, pabrik dan modernisasi pertanian tebu. Hal ini penting untuk mengurangi biaya produksi dan pemrosesan gula. Selain itu, pemerintah juga perlu mengkaji ulang kebijakan penetapan harga eceran tertinggi (HET). Sebab, kebijakan tersebut tidak efektif untuk menurunkan harga gula di pasar. Harga gula akan menyesuaikan dengan biaya produksi. 

"Untuk itu revitalisasi alat produksi, pabrik dan modernisasi pertanian tebu mendesak untuk dilakukan," katanya.

3. Kebijakan kuota impor harus dibarengi data yang akurat dan mutakhir

Ilustrasi. ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, rata-rata harga gula di pasar tradisional selama satu tahun terakhir lebih tinggi dibandingkan HET yang ditetapkan pemerintah.

Arum mengatakan langkah pemerintah untuk menggunakan impor sebagai instrumen stabilisasi harga gula dalam menyambut bulan suci Ramadan patut diapresiasi. Namun, kata Arum, efektivitas kebijakan impor gula dapat selalu ditingkatkan untuk memastikan bahwa impor yang dilakukan tepat guna dan tidak melukai petani lokal.

Walaupun langkah pemerintah untuk menggunakan impor sebagai instrumen stabilisasi harga dinilai tepat dalam merespons ketersediaan di pasar, efektivitas kebijakan impor dapat ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan dengan harmonisasi data produksi gula di tingkat nasional.

"Perumusan kebijakan kuota impor tanpa dibarengi dengan data yang akurat dan mutakhir dapat membuat impor tidak efektif dan malah merugikan petani tebu," tuturnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Indiana Malia
EditorIndiana Malia
Follow Us