Bahlil Blak-Blakan soal Rempang Eco-City yang Kini Jadi Pusat Konflik

Warga menolak lahannya dipakai untuk Rempang Eco City

Jakarta, IDN Times - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, buka-bukaan soal awal mula Rempang Eco-City, Proyek Strategis Nasional (PSN) yang belakangan menjadi pusaran konflik warga dan aparat penegak hukum di Pulau Rempang, Batam.

Kehadiran Rempang Eco-City tidak lepas dari upaya pemerintah untuk melakukan hilirisasi sumber daya alam (SDA) yang dalam hal ini merupakan pasir kuarsa dan pasir silica sebagai bahan baku pembuatan kaca.

Namun jauh sebelum itu, kawasan Rempang sudah jadi objek kerja sama yang dilakukan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) kepada PT Makmur Elok Graha (MEG) sejak medio 2002/2003.

Soal kerja sama itu, Bahlil mengaku tidak mengetahuinya sampai dia diberikan mandat untuk mengurusnya langsung.

"Pulau ini (Rempang) pada 2002 atau 2003 sudah dikerjasamakan dari BP Batam dengan satu perusahaan yang namanya MEG. Barang ini, kalau ditanya, jujur saya juga baru tahu ketika diberikan tanggung jawab mengurus ini. Nah begitu saya tahu, saya turun cek macam apa kondisi barang ini," tutur Bahlil dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (13/9/2023).

Baca Juga: Muncul Konflik, Bagaimana Nasib PSN Jokowi di Rempang?

1. Bahlil akui tandatangani MoU dengan Xinyi Group

Bahlil Blak-Blakan soal Rempang Eco-City yang Kini Jadi Pusat KonflikPenandatanganan MoU antara Kementerian Investasi dan Xinyi Group disaksikan Presiden Jokowi (dok. BKPM)

Bahlil pun bercerita mengenai kunjungannya ke Rempang pada Agustus tahun ini. Kunjungan itu dilakukan setelah penandatanganan nota kesepahaman alias MoU dengan investor, yakni Xinyi Group.

"Terkait Rempang, saya pernah di sana ketika kami mulai menandatangani MoU. Saya jujur mengatakan, yang tanda tangan MoU itu adalah kami Kementerian Investasi dengan investornya," kata Bahlil.

Penandatanganan yang dilakukan Kementerian Investasi secara langsung itu bukan tanpa alasan. Menurut Bahlil, ada penciptaan nilai tambah signifikan dan Indonesia menjadi negara yang akan mengekspor produk kaca dari investasi tersebut.

"Kita dapat pajak dan ada neraca perdagangan di sana. Ada penciptaan lapangan pekerjaan dan ada kontraktor di sana maupun supplier yang notabenenya anak-anak republik ini dibandingkan kita menjual, menggali pasir silica, menggali pasir kuarsa dan kita jual," beber dia.

Baca Juga: Kisruh Rempang, Bahlil: Setiap Mau Membangun Besar di Batam, Ada Aja!

2. Kondisi masih belum kacau seperti sekarang

Bahlil Blak-Blakan soal Rempang Eco-City yang Kini Jadi Pusat KonflikRibuan warga berunjuk rasa terkait rencana pengembangan Pulau Rempang dan Galang menjadi kawasan ekonomi baru di Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (23/8/2023). (ANTARA FOTO/Teguh Prihatna)

Pada waktu itu, Bahlil mengaku kondisi di Rempang belum memanas seperti sekarang.

Mantan Ketua HIPMI tersebut juga mengakui bertemu dengan warga sekitar yang didampingi oleh pemangku kepentingan di sana seperti ketua BP Batam dan gubernur Kepulauan Riau.

"Pada awal Agustus belum kacau begini. Itu saya datang ke sana, bertemu dan berbicara ke warga. Jadi di sana kurang lebih ada 3.000 KK, ada 16 kampung tua dan saya datang, bukan katanya, bukan datang ke Kota Batam-nya, gak. Saya datengin kampung itu, saya duduk di kantor kecamatannya dan saya menemui warga yang datang untuk bicara," tutur Bahlil.

Baca Juga: Mahfud MD Siap Turun Tangan Selesaikan Konflik Rempang Eco-City

3. Warga sekitar ada yang punya hak dan tidak

Bahlil Blak-Blakan soal Rempang Eco-City yang Kini Jadi Pusat KonflikRibuan warga berunjuk rasa terkait rencana pengembangan Pulau Rempang dan Galang menjadi kawasan ekonomi baru di Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (23/8/2023). (ANTARA FOTO/Teguh Prihatna)

Bahlil pun bercerita perihal status warga di Pulau Rempang. Berdasarkan laporan yang dia terima, sebagian warga memang memiliki alas hak atas tanah tempat tinggalnya.

Namun, sebagian lain tidak lantaran merupakan pendatang yang menghuni Pulau Rempang setelah 2004.

"Bahwa benar sebagian saudara-saudara kita yang tinggal di sana ada alas haknya, sebagian yang memang sudah turun temurun di sana, tapi gak bisa kita nafikan juga bahwa ada yang baru. Ada yang baru itu datangnya sudah di atas 2004," kata Bahlil.

Terkait penduduk yang datang setelah 2004, Bahlil menekankan peran anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Nasdem, Nyat Kadir. Sebagai informasi, Nyat Kadir pernah menjadi Wali Kota Batam pada 2001-2005.

"Nyat Kadir mengeluarkan aturan untuk tidak menerbitkan izin atau alas hak berbentuk apapun kepada warga baru yang datang ke Pulau Rempang setelah 2004. Itu ada suratnya tahun 2004 bisa kita cek," kata Bahlil.

4. Tanah yang tidak dimiliki warga merupakan milik negara

Bahlil Blak-Blakan soal Rempang Eco-City yang Kini Jadi Pusat KonflikKantor Wali Kota Batam (IDN Times/Vamela Aurina)

Pemerintah pun kemudian membuat formula soal bagaimana mengelola warga yang tidak punya alas hak di Pulau Rempang dan bagaimana mengelola lahannya.

"Bahwa ini ada kepentingan negara dan ada kepentingan rakyat. Nah dalam konteks ini kemudian pemerintah waktu itu merumuskan antara Pemda Kota Batam yang notabenenya ex officio Kepala BP Batam, gubernur sebagai Forkopimda, apa formulasinya? Karena sebagian yang tinggal di sana gak punya alas hak berarti kan tanah itu dikuasai negara lewat BP Batam," papar Bahlil.

Namun, Bahlil menegaskan bahwa pemerintah tidak mungkin menggusur warga yang tidak punya alas hal tersebut.

"Saya tidak mau gusur begitu aja, gak boleh. Mereka ini saudara-saudara kita. Jadi sebenarnya ini kan kalau penggusuran itu kan barang yang sudah dimiliki, kemudian kita mau ambil gitu kan, tapi kalau bukan itu berarti kita merelokasi mereka, ya, ini kan penertiban dengan cara baik-baik," ujarnya.

5. Solusi dari pemerintah

Bahlil Blak-Blakan soal Rempang Eco-City yang Kini Jadi Pusat KonflikIlustrasi Insentif. (IDN Times/Aditya Pratama)

Oleh sebab itu, pemerintah membuat solusi dengan memberikan tanah seluas 500 meter persegi kepada masing-masing KK terdampak. Adapun tanah tersebut langsung diberikan alas hak oleh BP Batam dalam bentuk sertifikat.

Ada juga solusi berupa pembiayaan konstruksi rumah tipe 45 dengan nilai kompensasi Rp120 juta. Namun, relokasi yang ditawarkan oleh BP Batam berada di lokasi tinggi seperti gunung.

"Saya sendiri naik ke lokasi itu memang agak berat naiknya, tanjakan. Maka setelah saya pulang saya panggil BP Batam, coba dicek apakah masuk akal, masyarakat yang kerjanya nelayan kita tinggalkan mereka di atas," kata Bahlil.

Atas permintaan Bahlil tersebut, BP Batam kemudian menyediakan lahan untuk relokasi di wilayah lain yang lokasinya 10 kilometer dari tempat mereka tinggal dan berada di pinggir pantai juga.

"Nah kemudian di dalam situ akan dibangun infrastruktur, dibangun jalannya untuk saudara-saudara kita yang nelayan bahkan kita bilang sebagian yang nelayan itu kita pikirkan membuat program tentang nelayannya," ucap dia.

Adapun selama masa pembangunan yang memakan waktu 6 hingga 7 bulan, warga terdampak diberikan uang tunggu untuk mengontrak rumah.

"Biaya tunggu ini memakai data BPS. Memang ada aspirasi lain yang meminta agar jangan Rp1,03 juta lebih per orang, ada yang minta agak naik. Saya kan belum menghitung dengan tim, tapi kondisinya udah begini," ujar Bahlil.

Baca Juga: Jokowi Telepon Kapolri Tengah Malam Imbas Konflik Rempang

6. Tentang Rempang Eco-City

Bahlil Blak-Blakan soal Rempang Eco-City yang Kini Jadi Pusat KonflikLadang luas yang ada di Sembulang, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Senin (21/8/2023) yang nantinya akan menjadi kawasan ekonomi. (ANTARA FOTO/Teguh Prihatna)

Adapun Rempang Eco-City merupakan satu dari sekian banyak PSN pada era Jokowi. Rempang Eco-City bakal menjadi lokasi pembangunan untuk kebutuhan industri, pariwisata, dan lainnya.

Selain itu, Rempang juga bakal menjadi lokasi pembangunan pabrik kaca dan panel surya Xinyi Group, perusahaan dari China. Bahlil mengakui, pabrik itu nantinya jadi yang terbesar setelah di China.

"Ini adalah pabrik kedua terbesar di dunia setelah China. Di luar China ini pabrik terbesar dan produknya itu pabrik kaca berbagai jenis dan serapannya," ujar Bahlil.

Baca Juga: Soal Konflik Rempang, Jokowi: Masa Urusan Begitu Harus Sampai Presiden

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari
  • Mohamad Aria

Berita Terkini Lainnya