Kejagung Sita Smelter, Pakar Hukum UI: Pengangguran Terbuka Makin Parah

Kejagung sita lima smelter timah di Babel

Jakarta, IDN Times - Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyita 5 smelter atau pemurnian bijih timah di Bangka Belitung (Babel) terkait kasus korupsi tata niaga timah di wilayah IUP milik PT Timah Tbk (TINS) periode 2015-2022 dengan taksiran kerugian lingkungannya mencapai Rp 271 triliun.

Ketua Departemen Hukum Acara Universitas Indonesia (UI), Junaedi Saibih menilai perlu ada langkah strategis yang tidak menimbulkan polemik serta kerugian bagi masyarakat banyak, termasuk kerugian ekonomi akibat tidak berjalannya smelter.

"Ketika alat produksi atau tempat buat produksi disita, berarti kan dia gak bisa gerak produksinya, kalau dia gak bisa gerak produksi, terus dia punya manfaat gak? Terus Kejaksaan bisa mengelola dan merawat itu nggak? Karena yang namanya orang menyita itu nggak cuma disita, tapi setelah itu dirawat biar nggak rusak. Itu kan ada biaya yang harus juga dikeluarkan oleh Kejaksaan. Jadi untuk melakukan penyitaan itu gak cuma sikapnya keras aja diambil, tapi harus dipikirkan bagaimana pengelolaan dan pemeliharaannya,” ujar Junaedi dalam pernyataan resminya, yang diterima IDN Times, Minggu (28/4/2024).

1. Penyitaan smelter mestinya bisa dipikir ulang

Kejagung Sita Smelter, Pakar Hukum UI: Pengangguran Terbuka Makin Parahkunjungan ke smelter peleburan aluminium dan praktik pencetakan aluminium oleh ahli (dok.IDN Times/Dayu Yudana/bt)

Junaedi menambahkan, alih-alih melakukan penyitaan smelter yang berdampak pada masyarakat luas, aparat penegak hukum disarankan untuk memempertimbangkan berbagai aspek sebelum melakukan langkah hukum.

Hal itu lantaran penyitaan smelter yang sudah dilakukan telah berdampak pada kehidupan bermasyarakat Babel.

"Makanya saya selalu tidak pernah setuju penyitaan terhadap alat produksi, tapi sedapat mungkin alat produksi itu kalau dia bekerja, dia tetap bergerak, pabrik dia bergerak semua," ujar Junaedi.

Baca Juga: Kejagung Titipkan 5 Smelter Sitaan Kasus Korupsi PT Timah ke BUMN

2. Menimbulkan PHK

Kejagung Sita Smelter, Pakar Hukum UI: Pengangguran Terbuka Makin Parahilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)

Lebih lanjut, Junaedi mengungkapkan, ketika alat produksi seperti itu disita maka tidak ada pergerakan yang berimbas pada ketiadaan hasil produksi.

"Berarti orang gak kerja, dengan begitu maka akan terjadi pengangguran terbuka yang kemarin ratusan PHK (Pemutusan hubungan kerja) jumlahnya bisa bertambah lagi," ucap Pakar Hukum UI tersebut.

Salah satu smelter, yakni PT Refined Bangka Tin (RBT) sudah melakukan PHK terhadap semua pegawai outsourcing dengan jumlah 400 orang. Namun, itu belum usai karena perusahaan bakal kembali melakukan PHK terhadap karyawan tetapnya sekitar 200 orang di tahap pertama sehingga sekitar 600 pekerja RBT terancam kehilangan pekerjaan.

Jika ditotal dengan empat smelter lain, maka jumlah pegawai smelter terkena PHK mencapai ribuan. Angka tersebut belum termasuk dengan penambang rakyat yang terganggu pekerjaannya, jumlahnya bisa mencapai 10.000 orang lebih.

Baca Juga: Kejagung Sita 4 Smelter Timah Seluas 238 Ribu Meter di Bangka Belitung

3. Langkah meminimalisir kerugian

Kejagung Sita Smelter, Pakar Hukum UI: Pengangguran Terbuka Makin Parahilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)

Selain dampak terhadap PHK pekerja, perlu ada langkah taktis dalam menyikapi kerugian ekologis yang disebut-sebut mencapai Rp271 triliun.

Junaedi menilai, aktivitas tambang pasti akan menyebabkan kerusakan lingkungan, tetapi ada keuntungan ekonomi yang diperoleh masyarakat maupun pendapatan pemerintah.

Oleh karena itu, perlu langkah lanjutan dalam meminimalisir kerugian, misalnya dengan perjanjian reklamasi.

“Nah yang harus dilakukan kalau menurut saya harusnya adalah melakukan NPA, non- prosecution agreement. Jadi bagaimana perusahaan-smelter yang sudah melakukan aktivitas pertambangan tadi dibuat satu agreement, dihitung kerugian dari aktivitasnya dan bersama-sama bikin skema perbaikan reklamasi. Nah itu jauh lebih efektif daripada harus mengambil langkah yang keras untuk pemidanaan atau penuntutan. Itu salah satu cara dalam metode restoratif justice yang bisa diambil,” ujar Junaedi.

4. Proses hukum perlu dilakukan secara cepat

Kejagung Sita Smelter, Pakar Hukum UI: Pengangguran Terbuka Makin ParahPembangunan proyek smelter nikel yang merusak kawasan mangrove Teluk Balikpapan (istimewa)

Sementara itu Wakil Ketua Bidang Lingkungan Hidup HKTI Babel, Elly Rebuin menilai, langkah Kejagung dalam proses hukum perlu cepat sehingga tidak mengganggu perekonomian masyarakat.

Saat ini banyak masyarakat yang kesulitan untuk bekerja karena mata pencahariannya terganggu baik sebagai penambang rakyat maupun pekerja smelter.

"Masyarakat ini kan perlu makan, kalau tidak bisa beraktivitas seperti biasanya, maka pendapatannya hilang dan yang dikhawatirkan kriminalitas meningkat. Saya sendiri sudah melihat hal itu sudah terjadi, sudah mulai nampak pencurian dan lain sebagainya demi kebutuhan agar bisa makan. Jadi tolong apapun proses hukumnya dipercepat karena masyarakat butuh makan," kata Elly.

Sebagaimana diketahui, Kejagung telah menyita lima perusahaan smelter dari kasus korupsi ini. Kelima smelter timah itu yakni milik PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Venus Inti Perkasa (VIP), PT Tinindo Internusa (Tinindo), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), yang keempatnya berada di Kota Pangkalpinang.

Sementara itu smelter kelima ialah milik PT Refind Bangka Tin (RBT) yang beralamat di Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka.

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya