Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (ANTARA FOTO/ Sigid Kurniawan)
Ilustrasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (ANTARA FOTO/ Sigid Kurniawan)

Intinya sih...

  • Mayoritas mata uang melemah: Bath Thailand, Ringgit Malaysia, Yuan China, Peso Filipina, Won Korea, Dolar Taiwan juga melemah

  • Rupiah diprediksi masih akan melemah: Analis memperkirakan rupiah akan kembali melemah terhadap dolar AS

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Pergerakan nilai tukar atau kurs rupiah makin melemah pada awal perdagangan Jumat, (26/9/2025). Berdasarkan data Bloomberg, rupiah melemah ke level Rp16.784,5 per dolar AS.

Rupiah tercatat melemah 35.50 poin atau 0,21 persen dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya. 

1. Mayoritas mata uang melemah

Rupiah tidak melemah sendirian karena mayoritas mata uang di Asia menunjukkan pelemahan, dengan rincian:

  • Bath Thailand melemah 0,09 persen

  • Ringgit Malaysia melemah 0,28 persen

  • Yuan China melemah 0,01 persen

  • Peso Filipina melemah 0,28 persen

  • Won Korea melemah 0,14 persen

  • Dolar Taiwan melemah 0,34 persen

2. Rupiah diprediksi masih akan melemah

Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong menjelaskan nilai tukar rupiah diperkirakan akan kembali melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), menyusul penguatan mata uang Paman Sam yang didorong oleh revisi data Produk Domestik Bruto (PDB) AS serta data klaim pengangguran yang lebih baik dari perkiraan.

Selain itu, klaim pengangguran yang dirilis minggu ini berada di bawah ekspektasi pasar, menandakan ketahanan pasar tenaga kerja AS. Dengan sentimen tersebut, rupiah diprediksi bergerak dalam kisaran Rp16.700 hingga Rp16.800 per dolar AS dalam waktu dekat.

"Dengan perkembangan di global, rupiah diperkirakan akan berada di kisaran Rp16.700-Rp16.800 per dolar AS," ujarnya.

3. Ketegangan geopolitik di Eropa jadi fokus kekhawatiran pasar

Pengamat Pasar Uang, Ibrahim Assuaibi, mengatakan ketegangan geopolitik di Eropa kembali memanas setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyampaikan nada yang lebih agresif terhadap Rusia dalam pidatonya di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Selasa (23/9).

Trump memperingatkan negara-negara Eropa agar menghentikan pembelian minyak Rusia dan mengindikasikan Washington sedang mempertimbangkan penerapan sanksi baru yang dapat menargetkan aliran energi dari Moskow.

"Meskipun belum ada langkah konkret, retorika keras tersebut telah meningkatkan kekhawatiran pasar global terhadap risiko gangguan ekspor energi Rusia maupun potensi tindakan balasan yang dapat memperparah ketidakstabilan pasokan energi dunia," kata Ibrahim.

Editorial Team