Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi pengangguran (pexels.com/Ron Lach)
ilustrasi pengangguran (pexels.com/Ron Lach)

Intinya sih...

  • Banyak sarjana menganggur, tidak hanya di Indonesia tapi juga negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan

  • Gaji mewah lulusan universitas juga menurun, menyebabkan ketidakpuasan pekerjaan

Jakarta, IDN Times - Pengangguran berpendidikan, menjadi dua kata yang saling berkaitan dalam beberapa tahun terakhir, setidaknya pascapandemik COVID-19 menyerang dunia lima tahun lalu. Dunia belum sepenuhnya pulih akibat hal tersebut dan berimbas ke banyaknya jumlah pengangguran, bahkan dari kalangan berpendidikan tinggi atau yang berstatus sarjana.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025 menunjukkan, jumlah penduduk yang bekerja mencapai 145,77 juta orang. Angka tersebut mengalami kenaikan secara tahunan atau year on year (yoy) sebanyak 3,59 juta orang dibandingkan Februari 2024.

Sayangnya, sebanyak 7,28 juta orang masih hidup sebagai pengangguran di republik ini. BPS menyebut, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2025 ada sebesar 4,76 persen. Hal itu berarti ada lima orang pengangguran dari tiap 100 orang angkatan kerja.

Untuk informasi, TPT merupakan indikator yang digunakan BPS untuk mengukur tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja dan menggambarkan kurang termanfaatkannya pasokan tenaga kerja.

Merujuk data tersebut, sebanyak 6,2 persen atau 1,01 juta orang lulusan universitas atau berstatus diploma IV, S1, S2, bahkan S3 belum memiliki pekerjaan alias masih menganggur. Kemudian sebanyak 4,84 persen atau sekitar 177.399 orang lulusan diploma I/II/III juga masih menganggur.

Di sisi lain, lulusan SMA dan SMK juga cukup banyak menyumbang jumlah pengangguran di Indonesia saat ini. Lulusan SMK yang menganggur sampai saat ini sebanyak 1.628.517 orang (8 persen), sedangkan lulsan SMA menganggur tercatat 2.038.893 orang (6,3 persen). Jumlah pengangguran tertinggi disumbang oleh lulusan SD dan SMP, yakni sebanyak 2.422.846 orang (3 persen).

Terkait solusi pengangguran, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli menjelaskan, mesti melihatnya dari dua sisi, yakni ketersediaan tenaga kerja dan permintaan terhadap tenaga kerja.

"Saya tetap melihat bahwa solusi pengangguran itu, kita harus melihatnya dari dua sisi, yaitu supply dan demand. Saya bicara demand-nya dulu. Jadi, kondisi global itu adalah sesuatu yang memang kita harus mitigasi, tapi bersamaan dengan itu, kondisi dalam negeri harus kita optimalkan. Sudah jelas bahwa pemerintah, pak presiden memiliki program prioritas yang menghabiskan sekian ratus triliun. Sepertinya kita masih banyak wait and see," tutur dia saat menghadiri Kajian Tengah Tahun (KTT) Indef 2025 pada awal Juli lalu.

1. Pengangguran berpendidikan di Amerika Serikat (AS)

ilustrasi pengangguran (pexels.com/Nathan Cowley)

Kondisi serupa juga terjadi di belahan bumi lainnya seperti di Amerika Serikat (AS). Entah bagaimana AS yang dikenal sebagai negara maju, negara adidaya juga menghadapi fenomena pengangguran dari kalangan lulusan universitas.

Lulusan universitas di Negeri Paman Sam bahkan tidak lagi bisa mengikuti jejak para pendahulunya yang sudah dilakukan sejak puluhan dekade lampau. Kuliah di universitas, mendapatkan pekerjaan bagus setelah lulus, dan menikmati uang datang kepada mereka kini tidak semudah seperti yang dibayangkan.

Tak heran jika kemudian The Economist menuliskan, para sarjana muda di AS telah kehilangan privilege atau keistimewaannya sebagai lulusan universitas ternama. Matthew Martin dari Oxford Economics dalam riset yang dipublikasikan 27 Mei 2025, meliha anak muda AS usia 22 hingga 27 tahun dengan status sarjana S1 atau lebih untuk pertama kalinya dalam sejarah memiliki tingkat pengangguran lebih tinggi dibandingkan rata-rata AS.

"Pasar tenaga kerja pascapandemik telah menunjukkan kekuatan yang luar biasa secara keseluruhan, tetapi lulusan perguruan tinggi baru-baru ini, atau mereka yang berusia 22 hingga 27 tahun yang meraih gelar sarjana atau lebih tinggi belum menunjukkan kinerja yang sebaik itu. Kami memperkirakan segmen ini menyumbang 7 bps (basis points) atau 12 persen, dari kenaikan 60 bps tingkat pengangguran nasional sejak pertengahan 2023, berkontribusi lebih dari dua kali lipat pangsa 5 persen dari total angkatan kerja," sebut Matthew dalam risetnya, dikutip Selasa (15/7/2025).

Bahkan anak-anak muda elit AS seperti lulusan MBA tidak ketinggalan menderita. Pada 2024, 80 persen lulusan sekolah bisnis Stanford baru bisa mendapatkan pekerjaan tiga bulan setelah lulus, turun dari 91 persen pada 2021.

The Economist dalam artikelnya menuliskan, jika dilihat sekilas, para mahasiswa yang tengah makan di kantin kampusnya tampak bahagia. Namun, bila diperhatikan lebih seksama maka siapapun bisa melihat ketakutan di mata mereka.

2. Gaji mewah lulusan universitas juga menurun

Ilustrasi gaji (freepik.com/jcomp)

Ketakutan itu muncul selain karena kekhawatiran tidak mendapatkan pekerjaan setelah lulus juga lantaran angka gaji mewah lulusan universitas baru-baru ini menyusut. Kondisi tersebut tidak hanya muncul di AS, melainkan juga di Inggris dan Kanada.

Dengan menggunakan data anak muda AS dari Kantor Federal Reserve cabang New York, The Economist pada 2015 silam memperkirakan, lulusan perguruan tinggi rata-rata memperoleh penghasilan 69 persen lebih tinggi dari rata-rata pekerja lulusan SMA. Adapun tahun lalu, angka tersebut turun menjadi hanya 50 persen.

Di sisi lain, para sarjana yang sudah bekerja justru menunjukkan rasa ketidakpuasan terhadap pekerjaannya kini. Sebuah survei besar menunjukkan, "kesenjangan kepuasan lulusan" di AS—seberapa besar kemungkinan lulusan universitas mengatakan mereka "sangat puas" dengan pekerjaan mereka dibandingkan non-lulusan universitas—kini berada di sekitar 3 poin persentase, turun dari 7 poin persentase.

3. Ratusan ribu sarjana di Korea Selatan menganggur

ilustrasi pengangguran (pexels.com/Ron Lach)

Fenomena serupa Indonesia dan AS juga terjadi di Korea Selatan (Korsel). Mengutip The Korean Herald, data BPS Korea pada Mei 2023 menunjukkan 1,26 juta anak muda Negeri Ginseng menganggur dan lebih dari separuhnya adalah sarjana.

Dari 1,26 juta orang yang menganggur, 53,8 persen atau sekitar 678 ribu orang memiliki gelar sarjana atau lebih tinggi. Sementara mereka yang berpendidikan SMA atau lebih rendah mencapai 46,2 persen.

Kemudian di antara penduduk yang menganggur, 40,9 persen sedang mempersiapkan diri untuk pelatihan kejuruan atau tes kerja, ujian pemerintah negara bagian, ujian pegawai negeri sipil, dan tes rekrutmen perusahaan. Di sisi lain, 25,4 persen tidak terlibat dalam kegiatan pencarian kerja apa pun.

Mengutip Yonhap News Agency, para ahli di Korea menyatakan tingginya angka pengangguran di kalangan masyarakat berpendidikan terjadi lantaran kurangnya lapangan pekerjaan berkualitas bagi para pencari kerja muda.

4. Penyebab banyaknya pengangguran bergelar sarjana

ilustrasi pengangguran (freepik.com/freepik)

Riset Oxford Economics menyebutkan, kenaikan terus-menerus tingkat pengangguran lulusan baru menuju 6 persen di AS menimbulkan kekhawatiran akan kekuatan pasar tenaga kerja yang lebih luas.

"Meskipun kami memperkirakan dampak tarif, inflasi yang lebih tinggi, dan melemahnya permintaan akan menyebabkan berkurangnya perekrutan di sektor bisnis dan PHK total dalam beberapa bulan mendatang, penelitian kami menunjukkan bahwa peningkatan pengangguran terutama didorong oleh perlambatan perekrutan di sektor teknologi seiring dengan meningkatnya lulusan perguruan tinggi di bidang ilmu komputer. Prospek pekerjaan akan tetap minim bagi individu-individu ini sehingga tingkat pengangguran tetap tinggi dalam waktu dekat," tulis Matthew.

Dalam risetnya, Matthew juga menuliskan melonjaknya tingkat pengangguran lulusan sarjana baru sebagian besar merupakan bagian dari ketidaksesuaian antara kelebihan pasokan lulusan baru di bidang-bidang yang permintaan bisnisnya telah menurun.

Menurut The Economist, banyak sektor pekerjaan kini sulit dimasuki para lulusan sarjana baru. Contohnya sektor teknologi, banyak raksasa teknologi sekarang justru banyak memangkas karyawannya sebagai bagian dari efisiensi. Kemudian pekerjaan di sektor publik tidak terlihat bergengsi seperti dulu.

Selain itu, menjadi insinyur pun sulit lantaran banyak inovasi dari kendaraan listrik hingga energi terbarukan kini terjadi di China. Pekerjaan pengacara pun dinilai The Economist bakal segera diambil alih oleh artificial intelligence atau akal imitasi (AI).

5. Banyak sarjana jadi mitra driver Grab

Ilustrasi driver ojol Grab (grab.com)

Di Indonesia, banyaknya sarjana menganggur mengundang pertanyaan mengenai penyebabnya. Apakah karena aspirational mismatch dan reservation gap, yakni lulusan perguruan tinggi memilih menunggu pekerjaan yang dianggap ideal dan menepis semua peluang bekerja di sektor informal lantaran menganggap tidak sepadan dengan gelarnya, atau karena mismatch antara tingkat pendidikan atau keterampilan lulusan sarjana tidak sesuai dengan kebutuhan industri.

Namun demikian, industri ride hailing yang melibatkan salah satu perusahaan besar, Grab Indonesia misalnya memberikan gambaran mengenai fenomena ini. Studi ITB pada 2023 menyebutkan, industri ride hailing dan pengantaran online menyumbang sekitar Rp382,62 triliun atau 2 persen terhadap total produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Adapun Oxford Economics pada 2024 merilis data bahwa Grab berkontribusi sekitar 50 persen dari PDB industri yang mencerminkan besarnya dalam ekonomi dari seluruh ekosistem layanan Grab. Hal tersebut yang mungkin menjadi alasan mengapa para sarjana mau bekerja di sektor informal dengan menjadi mitra pengemudi Grab.

Country Managing Director Grab Indonesia, Neneng Goenadi mengatakan, sebanyak 31 persen dari total mitra pengemudi Grab Indonesia saat ini adalah lulusan sarjana.

"Dari 3,7 juta driver yang terdaftar di platform kami, 50 persen driver kami adalah korban PHK setelah COVID dan benar bahwa dari total 3,7 juta itu, 69 persen lulusan SMA, SMK, berarti yang 31 persennya lulusan perguruan tinggi termasuk S2, ada juga D3 dan S1," kata Country Managing Director Grab Indonesia, Neneng Goenadi dalam IDN Times Leadership Forum.

Kondisi di Grab sejalan dengan data yang pernah disampaikan Kemnaker. Dari jumlah angkatan kerja yang sudah bekerja sebanyak 145,77 juta orang, 12,9 persen di antaranya atau 18.804.330 orang adalah lulusan universitas/diploma. Dari angka tersebut, sebanyak 17,6 persen atau 3,309 juta orang lulusan sarjana bekerja di sektor informal, sedangkan 14,328 juta orang lulusan sarjana berhasil bekerja di sektor formal.

6. AI geser lulusan sarjana dalam dunia kerja?

Infografis Sarjana Menganggur di Mana-Mana (IDN Times/Mohamad Rakan)

Mengambinghitamkan AI sebagai pesaing lulusan sarjana dalam mencari kerja pun tidak luput dari banyak orang. Menurut The Economist, adalah hal yang sangat menggoda untuk menyalahkan AI atas memudarnya peluang lulusan sarjana mendapatkan pekerjaan.

"Teknologi AI tampaknya mampu mengotomatiskan pekerjaan 'berpengetahuan' tingkat pemula, seperti pengarsipan atau tugas paralegal. Namun, tren yang dijelaskan dalam artikel ini dimulai sebelum ChatGPT," tulis The Economist.

"Banyak faktor kontingensi yang menjadi penyebabnya. Banyak industri yang biasanya mempekerjakan lulusan sarjana mengalami masa sulit akhir-akhir ini. Aktivitas merger dan akuisisi yang lesu selama bertahun-tahun telah memangkas permintaan akan pengacara. Bank investasi kini kurang bergairah dibandingkan sebelum krisis keuangan global 2007-2009," sambungnya.

Kemudian, mengutip Axios, CEO Anthropic Dario Amadei menyatakan proyeksinya terhadap masa depan AI. Menurut Dario, AI dapat menghapus setengah dari semua pekerjaan kerah putih tingkat pemula, dan meningkatkan pengangguran hingga 10-20 persen dalam satu hingga lima tahun ke depan.

Salah satu perusahaan teknologi ternama, IBM pernah menyatakan pada 2023, mereka menggantikan 8.000 pekerja dengan AI. Adapun selang dua tahun kemudian, CEO IBM Arvind Khrisna menyampaikan, perusahaan sampai saat ini telah menggantikan ratusan karyawan SDM dengan AI.

Setali tiga uang, Microsoft juga melakukan hal yang sama. Pada awal bulan ini, raksasa teknologi besutan Bill Gates itu telah mengumumkan memangkas sekitar 9 ribu karyawan di seluruh dunia. Jumlah tersebut setara 4 persen dari total tenaga kerja global perusahaan.

Dilansir dari CNN Internasional, gelombang PHK ini berbarengan dengan makin gencarnya pemanfaatan AI di industri teknologi. Microsoft termasuk salah satu yang paling agresif menggunakan AI untuk efisiensi kerja. CEO Microsoft Satya Nadella menyebut, 20 hingga 30 persen kode perangkat lunak mereka kini dibuat oleh AI.

Di sisi lain, Microsoft juga menggelontorkan investasi besar untuk membangun infrastruktur AI. Langkah tersebut diperkirakan bakal mengurangi kebutuhan pekerja manusia di beberapa bagian bisnis, sehingga perampingan karyawan jadi bagian dari strategi lanjutan perusahaan.

Editorial Team