Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Duta Energi Pertamina Billy Mambrasar dalam Program Sekolah Energi Berdikari bersama dengan Pertamina yang dilaksanakan pada Hari Kamis, (30/01) di SMPN 5 Bontang, Kota Bontang, Kalimantan Timur. (Dok. Istimewa)

Intinya sih...

  • Duta Energi Pertamina peringatkan krisis pupuk di Indonesia akibat stagnasi produksi gas alam, dengan kebutuhan 13,5 juta ton pertahun.
  • Impor pupuk mencapai 1,9 juta ton pada 2023, dan gas alam menjadi bahan baku utama pupuk yang harus dimanfaatkan secara maksimal.
  • Kota Bontang sebagai penghasil gas alam cair terbesar di Indonesia, namun penggunaan gas domestik untuk industri pupuk baru mencapai 12,39 persen.

Jakarta, IDN Times - Duta Energi Pertamina, Billy Mambrasar, memperingatkan ancaman krisis pupuk di Indonesia jika produksi gas alam stagnan. Dalam paparan dalam Program Sekolah Energi Berdikari bersama dengan Pertamina di SMPN 5 Bontang, Billy menjelaskan kebutuhan pupuk Indonesia mencapai 13,5 juta ton per tahun, sementara produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi 3,5 juta ton pada 2023.

Kelebihan kebutuhan ini dipenuhi melalui impor, yang pada 2023 tercatat sebanyak 1,9 juta ton. Billy menekankan, gas alam menjadi bahan baku utama pupuk, dan Indonesia perlu memanfaatkan gas alam secara maksimal untuk mengurangi ketergantungan pada impor.

"Dalam mendukung Program Ketahanan Pangan Prabowo Subianto, Indonesia perlu menambah produksi pupuk dengan memanfaatkan gas alam nasional sebagai bahan bakunya secara maksimal, agar kita dapat meningkatkan kebutuhan pupuk dari suplai dalam negeri dan mengurangi impor," katanya katanya dikutip Jumat (31/1/2025).

1. Pupuk untuk program ketahanan pangan nasional

Ilustrasi Pupuk (dok. Pupuk Indonesia)

Dia menjelaskan Indonesia perlu menambah produksi pupuk dengan memanfaatkan gas alam nasional sebagai bahan bakunya secara maksimal. Dengan demikian, kita dapat meningkatkan kebutuhan pupuk dari suplai dalam negeri dan mengurangi impor.

Pupuk, menurutnya, bisa jadi komoditas kritis untuk menjalankan program utama Prabowo Subianto yang berkaitan dengan peningkatan produksi pertanian nasional seperti food estate dan Makan Bergizi Gratis (MBG).

2. Minimnya penggunaan gas domestik untuk industri pupuk

ilustrasi membuat pupuk kompos (pixabay.com/jokevanderleij8)

Menurutnya, Indonesia perlu menambah produksi pupuk dengan memanfaatkan gas alam nasional sebagai bahan bakunya secara maksimal. "Agar kita dapat meningkatkan kebutuhan pupuk dari suplai dalam negeri dan mengurangi impor," katanya.

Billy, menjelaskan pentingnya Kota Bontang sebagai penghasil gas alam cair terbesar, menyumbang sekitar 31 persen dari total produksi gas alam nasional. Namun, saat ini penggunaan gas domestik untuk industri pupuk baru mencapai 12,39 persen, karena sebagian besar gas digunakan untuk kebutuhan energi lainnya.

3. Prioritas pertama adalah meningkatkan produksi gas alam dalam negeri

Sejumlah batang pohon jati dibersihkan di akses jalan raya Kaliwungu-Boja. (IDN Times/Dok CA Darupono Kaliwungu)

Dia mengungkapkan potensi krisis dari suplai pupuk untuk pertanian nasional apabila suplai gas tidak diperkuat oleh pemerintah, maka perlu solusi strategis dilakukan. Di 2024, Indonesia kata dia masih kekurangan 3,4 ton subsidi pupuk dimana subsidi pupuk dalam APBN mencapai Rp40,68 triliun untuk 7,3 ton dari total kebutuhan 10,7 Juta ton. Ini disebuut belum cukupi kebutuhan nasional seiring dengan meningkatnya populasi masyarakat Indonesia.

“Pemerintah harus mengeluarkan strategi nasional untuk meningkatkan ekslporasi dan penambahan gas alam di Indonesia, seperti mengeluarkan kebijakan nasional yang memberikan insentif kepada pelaku usaha di sektor gas, untuk dapat melakukan eksplorasi dan produksi," katanya. 

Billy mengusulkan agar Kementerian ESDM dan SKK Migas memberikan akses informasi potensi migas di Indonesia untuk menarik investasi asing. Menurutnya impor gas alam jadi prioritas kedua, dan prioritas pertama adalah meningkatkan produksi gas domestik untuk mengurangi beban APBN dalam subsidi pupuk.

Editorial Team