Jadi Pemain Global, Indonesia Harus Atasi Tantangan Deindustrialisasi

Jakarta, IDN Times - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyoroti deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia. Disebutkan bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi sebelum menjadi negara maju.
Hal itu tercermin dari kontribusi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) yang semakin menurun. Kontribusi manufaktur terhadap PDB berada di angka 27,41 persen pada 2005. Kemudian, kontribusinya menyusut menjadi 18,34 persen pada 2022.
Selain itu, tingkat produktivitas juga terpantau masih rendah di tengah persaingan global yang semakin meningkat.
"Kita ini mengalami deindustrialisasi luar biasa. Kita sebenarnya pernah sampai pada angka yang cukup besar industrialisasi kita, tapi kemudian turun kontribusi industri manufaktur kita, sekarang di angka 18,34 persen," kata Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa dalam Seminar Visi Indonesia 2045 di Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk Jakarta, Senin (5/6/2023).
Baca Juga: Tepis Deindustrialisasi, Menperin Ungkap Industri Masih Bergeliat
1. Indonesia bakal jadi pemain global di 2045
Bappenas merumuskan tahapan industrialisasi menuju negara berpendapatan tinggi. Pertama, pada 2025-2029 adalah tahap penguatan ekosistem industrialisasi, di mana rasio industri pengolahan per PDB sebesar 19,9 persen.
Kemudian, pada 2030-2034 adalah peningkatan kompleksitas produk industri, di mana rasio industri pengolahan per PDB mencapai 23 persen
Pada 2035-2039 adalah penguatan daya saing industri menuju ekspansi global, di mana rasio industri pengolahan per PDB adalah 30 persen.
Terakhir, pada 2040-2045, tercapai Indonesia Manufacturing the World dengan rasio industri pengolahan per PDB sebesar 28 persen.
2. Kekosongan antara hulu dan hilir jadi PR hilirisasi
Suharso menekankan pentingnya hilirisasi untuk menuju industri yang lebih kompleks, padat teknologi, bernilai tambah tinggi, dan berkelanjutan.
Menurutnya, Indonesia perlu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan masif di sektor industri. Untuk itu investasi di sektor industri manufaktur perlu dilakukan terutama untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan memenuhi kebutuhan domestik.
Namun, terdapat pekerjaan rumah yang harus dilakukan karena di antar hulu dan hilir industri terdapat kekosongan di tengah (hollow middle).
"Contoh mata rantai produksi industri berbasis tambang itu yang hollow middle kita tidak punya," sebutnya.
Baca Juga: Ekonomi RI Harus Lampaui 6 Persen untuk Keluar dari Middle Income Trap
3. Ada beberapa komoditas yang berpotensi memberikan nilai tambah
Suharso memaparkan bahwa gas berpotensi untuk memiliki nilai tambah lebih. Dalam hal ini, hilirisasi produk hasil gas alam untuk industri petrokimia memiliki rantai nilai yang lebih panjang dibandingkan dengan pemurnian gas alam saja.
"Gas juga berpotensi memiliki nilai tambah yang lebih, LNG value chain, petrochemical value chain ini mulai dari primary downstream, secondary stage, tertiary downstream stage. Jadi, generasi pertama, generasi kedua, generasi ketiga dan seterusnya," sebutnya.
Demikian dengan hilirisasi crude palm oil (CPO) atau minyak sawit yang menurutnya akan memberikan nilai tambah tinggi. Dampak potensialnya adalah memberikan nilai tambah Rp64 triliun PDB dan 4 juta lapangan pekerjaan.