Perppu Cipta Kerja Dianggap Rugikan Nelayan dan Masyarakat Bahari

KIARA tolak Perppu Cipta Kerja

Jakarta, IDN Times - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memprotes pemerintah lantaran menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati berpendapat bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja bertentangan dan mengkhianati amanat konstitusi UUD 1945, karena hanya akan membuat ketimpangan semakin nyata dengan mengutamakan investasi ketimbang menyejahterakan dan melindungi hak-hak masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat bahari yang salah satunya adalah nelayan tradisional.

"Bagi masyarakat bahari, putusan MK yang menyatakan bahwa UU CK inkonstitusional bersyarat menjadi tanda bahwa pemerintah telah melakukan kesalahan fatal karena UU CK diciptakan tanpa adanya partisipasi aktif dari masyarakat bahari. Akan tetapi, hari ini ancaman tersebut kembali dihidupkan Presiden dengan mengesahkan Perppu Cipta Kerja,” kata Susan dalam keterangan tertulis yang dikutip IDN Times, Sabtu (14/1/2023).

Dalam catatan KIARA, isi Perppu Cipta Kerja akan menggusur ruang produksi masyarakat bahari, menghancurkan keberlanjutan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, hingga meningkatkan kerentanan kriminalisasi terhadap nelayan dan perempuan nelayan yang melakukan pengolahan hasil perikanan.

Baca Juga: Paripurna DPR Singgung Perppu Ciptaker, Buka Kemungkinan Tak Disetujui

1. Delapan hal yang jadi sorotan dalam Perppu Cipta Kerja

Perppu Cipta Kerja Dianggap Rugikan Nelayan dan Masyarakat Bahariilustrasi rancangan undang-undang (IDN Times/Aditya Pratama)

Pihaknya menilai terdapat kecacatan Perppu Cipta Kerja, baik secara prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan (perppu) maupun secara substansial. Secara substansial kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil beserta masyarakat bahari, yaitu sebagai berikut:

Pertama, Perppu Cipta Kerja tidak menjawab perbaikan putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Kedua, Perppu Cipta Kerja tidak mengutamakan perlindungan kepada hak-hak masyarakat bahari sebagaimana dimandatkan dalam Putusan MK No. 3 Tahun 2010.

Ketiga, Perppu Cipta Kerja menghapus kriteria nelayan kecil dalam terminologi nelayan kecil, sehingga akan menghilangkan prioritas dan kekhususan yang akan diterima oleh nelayan kecil. Dalam UU Perikanan bahwa kategori nelayan kecil adalah nelayan yang menggunakan kapal perikanan paling besar 5 GT, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan kembali ditegaskan bahwa nelayan kecil adalah menggunakan kapal perikanan paling besar 10 GT.

Keempat, Perppu Cipta Kerja menambahkan Pasal 17A dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 yang menjadikan kewenangan penuh kepada pemerintah pusat untuk mengatur tata ruang di setiap provinsi dan dapat mengubah peruntukan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil atas nama kebijakan strategis nasional.

Kelima, Perppu Cipta Kerja mengubah Pasal 26A dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 yang memberikan karpet merah kepada Penanaman Modal Asing (PMA) untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya. Hal ini tentu dapat berdampak pada kembalinya privatisasi pulau-pulau kecil dengan dalih investasi PMA.
 
Keenam, Perppu Cipta Kerja mengubah Pasal 51 dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 yang memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah pusat untuk mengubah status zona inti dalam kawasan konservasi. Kawasan konservasi akan dibayangi ancaman pengubahan status zona untuk berbagai kepentingan eksploitatif, tentu akan berdampak terhadap keberlanjutan kawasan konservasi yang terjaganya keanekaragaman biodiversitas yang terdapat di dalamnya.

Ketujuh, Perppu Cipta Kerja akan memaksa setiap orang yang melakukan usaha perikanan untuk wajib memiliki perizinan berusaha dan menghapus pengecualian bagi nelayan dan perempuan nelayan tradisional dalam Pasal 26 UU No. 7 Tahun 2016. Hal tersebut akan berdampak semakin dipersulitnya aktivitas pengolahan perikanan hasil produksi nelayan dan perempuan nelayan yang dilakukan secara swadaya dan tradisional serta jika mereka tetap melaksanakan aktivitas tersebut, akan rentan terhadap kriminalisasi dengan dipidana paling lama 8 tahun dan pidana denda sebesar 1,5 miliar. 

Kedelapan, Perppu Cipta Kerja kembali memberikan karpet merah untuk masuknya investasi perikanan asing sehingga dapat beroperasi di wilayah perairan Indonesia.

Baca Juga: Mahfud: Saya Tanggungjawab Perppu Ciptaker Sah, Anggap Curang Silakan

2. Masyarakat diajak untuk menolak Perppu Cipta Kerja

Perppu Cipta Kerja Dianggap Rugikan Nelayan dan Masyarakat BahariIlustrasi nelayan menangkap ikan. (IDN Times/Dhana Kencana)

KIARA mengajak seluruh lapisan elemen masyarakat untuk terus menyuarakan penolakan terhadap Perppu Cipta Kerja. Sebab, pihaknya berpendapat Perppu tersebut secara jelas dan terang-terangan hanya akan memberikan kepastian hukum kepada investor, baik domestik maupun asing.

"Prioritas penyelamatan bagi ekologi pesisir, kelautan perikanan dan pulau-pulau kecil serta perlindungan kepada masyarakat bahari yang ada di dalamnya menjadi hal yang diprioritaskan setelah dilindungi dan dijaminnya investasi oleh korporasi. Tak ada ruang negosiasi selain melakukan perlawanan bagi pelaku kejahatan lingkungan di Indonesia,” tambah Susan.

3. Nasib Perppu Cipta Kerja di tangan DPR

Perppu Cipta Kerja Dianggap Rugikan Nelayan dan Masyarakat BahariGedung DPR RI (IDN Times/Kevin Handoko)

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Charles Honoris mengatakan DPR mempunyai hak menentukan sikap terkait keberadaan Perppu Ciptaker walaupun tidak punya hak untuk membahas.

“Kalau kita bicara perppu, DPR itu tidak punya hak untuk membahas sebetulnya. Kita hanya bisa menolak atau menerima,” kata Charles dikutip dari situs web DPR RI.

Perppu Cipta Kerja disebut tetap sah dan mengikat setelah diumumkan pemerintah kepada masyarakat. Oleh karenanya, saat ini penentuan ada di tangan DPR. Jika disetujui DPR maka Perppu Cipta Kerja sah menjadi undang-undang. Sedangkan jika DPR menolak maka Presiden Joko "Jokowi" Widodo wajib mencabut perppu tersebut.

Baca Juga: Satya Bumi: Perppu Ciptaker Rawan Kriminalisasi Masyarakat Adat

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya