Tim Ganjar Proyeksikan Seluruh PLTU Batu Bara Pensiun di 2054

Ada sejumlah hal yang perlu diantisipasi

Jakarta, IDN Times - Dewan Pakar TPN Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Satya Heragandhi, menegaskan upaya mencapai nol emisi karbon atau net zero emission (NZE) bukan hanya retorika, melainkan suatu komitmen serius dari pasangan nomor urut tiga.

Pihaknya bahkan telah membuat modeling untuk menentukan proses phasing out pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Phasing out mengacu pada langkah-langkah bertahap untuk menghentikan penggunaan PLTU. Dalam hal ini, pihaknya memperkirakan memakan waktu 4,8 tahun.

“Kalau modeling kita sekarang dengan parabolic curve pendekatannya itu 2050 mulai parabolic curve ke bawah sampai 2054 (lewat) 8 bulan,” kata dia dalam diskusi bertajuk “Muda Menggugat” dan Peluncuran Deklarasi Ekonomi Hijau Greenpeace Indonesia, di Toeti Heraty Museum, Jakarta Pusat, Senin (5/2/2024).

1. Ganjar diklaim memiliki kemauan politik untuk beralih dari PLTU batu bara

Tim Ganjar Proyeksikan Seluruh PLTU Batu Bara Pensiun di 2054Ganjar Pranowo. (IDN Times/Imam Faishal)

Satya menyatakan, proses tersebut membutuhkan political will atau kemauan politik. Mereka menekankan pentingnya keseriusan pemimpin negara untuk tidak hanya berbicara, tetapi benar-benar mengambil kepemimpinan dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.

“Nah, di kami yang kami bersyukur mendukung paslon 03 adalah bahwa Pak Ganjar sendiri sangat aware mengenai ini,” tuturnya.

Baca Juga: Relawan Sebut Penampilan Ganjar Saat Debat Mewakili Anak Muda

2. Transisi ke energi hijau jangan sampai merugikan masyarakat miskin

Tim Ganjar Proyeksikan Seluruh PLTU Batu Bara Pensiun di 2054ilustrasi meteran listrik (dok. PLN)

Satya menggarisbawahi tiga aspek yang perlu diperhatikan terkait implementasi energi terbarukan. Pertama, rencana itu sendiri; kedua, penganggarannya; dan ketiga, dampaknya pada masyarakat.

Pihaknya menekankan bahwa energi terbarukan, meskipun positif dalam konteks lingkungan, bisa merugikan masyarakat miskin dan terpinggirkan. Hal itu disebabkan biaya yang lebih tinggi dalam implementasi teknologi energi hijau dibandingkan dengan energi fosil.

Mereka menyoroti perbedaan karakteristik antara kedua jenis energi tersebut dan menunjukkan bahwa pemahaman energi hijau mungkin lebih mudah bagi orang kota dengan akses yang lebih baik, sementara masyarakat pedesaan mungkin menghadapi tantangan.

“Energi hijau itu bisa merugikan siapa coba? masyarakat miskin justru, masyarakat terpinggirkan. Kenapa? secara teknokrasi, energi hijau itu lebih mahal daripada energi fosil,” ujar Satya.

3. Penggunaan PLTU batu bara secara alami ditinggalkan mulai 2045

Tim Ganjar Proyeksikan Seluruh PLTU Batu Bara Pensiun di 2054Warga melintas dengan latar belakang PLTU Suralaya di Kota Cilegon, Banten, Rabu (6/12/2023). (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas)

Dia menerangkan, sebagian besar PLTU diperkirakan secara alami ditinggalkan mulai 2045. Dia merujuk pada konsep Natural Fear Fading Off, yang berarti bahwa perubahan tersebut akan terjadi secara alami tanpa perlu dipaksa.

“Kita juga lihat kebanyakan PLTU, PPA-nya itu akan fading off sekitar 2045 sampai 2055. Ini yang namanya Natural Fear Fading Off. Tanpa harus kita paksakan dan lain sebagainya

PPA atau Power Purchase Agreement merupakan perjanjian kontrak antara produsen energi seperti pembangkit listrik, dan pembeli energi.

Satya menekankan perlunya dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, untuk memastikan bahwa transisi tersebut tidak mengakibatkan kesulitan dalam penyediaan baseload, yakni jumlah minimum daya listrik yang secara konstan dibutuhkan oleh suatu sistem kelistrikan untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Baca berita terbaru terkait Pemilu 2024, Pilpres 2024, Pilkada 2024, Pileg 2024 di Gen Z Memilih IDN Times. Jangan lupa sampaikan pertanyaanmu di kanal Tanya Jawab, ada hadiah uang tunai tiap bulan untuk 10 pemenang.

Baca Juga: OJK: 99 PLTU Bakal Ikut Transaksi Bursa Karbon

Topik:

  • Ilyas Listianto Mujib

Berita Terkini Lainnya