Awal Mula Muncul Tarif Minimal Pajak Hiburan yang Diprotes Pengusaha

Pemerintah tak pernah usul tarif minimal 40 persen

Jakarta, IDN Times -Tarif pajak barang dan jasa tertentu atas jasa hiburan yang dikenakan
minimal 40 persen, dan maksimal 75 persen yang tertuang dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) masih terus menuai polemik di kalangan pelaku usaha. 

Tarif minimal PBJT atas jasa hiburan tertentu sebesar 40 persen menjadi yang dikeluhkan pelaku usaha diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Apabila  mengacu aturan sebelumnya, UU Nomor 28 Tahun 2009, hanya ditetapkan tarif paling tinggi 75 persen, tanpa adanya tarif batas bawah.

Lantas, dari mana munculnya ketentuan minimum untuk pajak hiburan khusus 40 persen dalam UU HKPD?

Baca Juga: Pengamat: Tarif Pajak Hiburan Keputusan Politis DPR-Pemerintah 

1. Pemerintah tidak usulkan tarif batas bawah PBJT jasa hiburan

Awal Mula Muncul Tarif Minimal Pajak Hiburan yang Diprotes Pengusahailustrasi pesta hiburan konser (pexels.com/Thibault Trillet)

Anggota Komisi XI Fraksi Golkar Putri Anetta Komarudin menceritakan bahwa dalam draft RUU HKPD yang diajukan ke Komisi XI, pemerintah justru mengajukan penurunan tarif maksimal untuk hiburan khusus dari semula 75 persen dalam UU Pajak Daerah dan Restribusi Daerah (PDRD) menjadi 40 persen. 

Alahasil, pemerintah dan Fraksi Golkar tidak sama sekali ingin mengubah ketentuan batas minimum yang 0 persen. 

"UU HKPD ini merupakan usul inisiatif pemerintah, maka dari draf RUU yang kami terima sebelumnya juga pemerintah sebenarnya mengusulkan diturunkan batas atasnya dari 75 persen menjadi 40 persen," kata Putri kepada IDN Times, Kamis (25/1/2024). 

Baca Juga: Kemenkeu Ungkap Alasan Kenaikan Pajak Hiburan Karaoke dan Spa

2. Alasan tarif maksimal tetap 75 persen

Awal Mula Muncul Tarif Minimal Pajak Hiburan yang Diprotes PengusahaIlustrasi pajak karbon (unsplash.com/ Towfiqu barbhuiya)

Dalam pembahasannya, fraksi-fraksi di Komisi XI termasuk Partai Golkar, kata Putri, menginginkan batas maksimal tetap sebesar 75 persen dan saat itu belum ada usulan untuk menetapkan tarif minimal 40 persen. 

"Kami dari Fraksi Partai Golkar memandang agar tetap seperti ketentuan yang lama, yaitu paling tinggi maksimal 75 persen, tanpa ada batas minimal," tegasnya. 

Putri menjelaskan, usulan tersebut merupakan hasil rapat dengar pendapat Komis XI DPR dengan akademisi dan pakar dari berbagai universitas selama tujuh hari. Mereka menilai batas maksimal itu telah sesuai dengan kondisi sosial dan kultur beberapa daerah religius yang telah menerapkan tarif maksimal 75 persen, bukan 40 persen sebagaimana usulan pemerintah.

"Dari situ banyak yang mengusulkan tarif maksimalnya tetap 75 persen dari usulan pemerintah batasannya 40 persen dengan pertimbangan sosial dan kultur dari beberapa daerah yang religius," tutur Putri.

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), kata Putri, menjelaskan bahwa PBJT untuk hiburan berpotensi menimbulkan kontroversi bagi daerah yang mengedepankan nilai religi. Perubahan tarif pajak untuk hiburan semestinya memperhatikan kondisi sosial dan kultur religius dari masing-masing daerah. 

"KPPOD yang kami undang di situ menyebut PBJT untuk hiburan ini berpotensi menimbulkan kontroversi bagi daerah yang mengedepankan nilai religius, jadi perubahan tarif pajak untuk hiburan ini semestinya memastikan kondisi sosio religius dari daerahnya masing-masing," ucap Putri.

3. Munculnya tarif minimal 40 persen berasal dari pembahasan UU HKPD

Awal Mula Muncul Tarif Minimal Pajak Hiburan yang Diprotes PengusahaPotret Sang Spa (instagram.com/sangspaubud)

Kendati begitu, Putri tak menjelaskan lebih rinci besaran tarif minimum sebesar 40 persen berawal dari mana. Ia hanya menyebut tarif minimum 40 persen yang semula tak ada di UU PDRD, namun muncul selama pembahasan UU HKPD karena adanya masukan dari para pihak yang menjadi narasumber rapat dengar pendapat (RDP) dan fraksi-fraksi di Komisi XI.

Terkait fraksi mana saja yang meminta diterapkan tarif minimum tersebut, ia enggan menjelaskannya. Meski demikian, Putri menegaskan bahwa UU HKPD tetap memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk menyesuaikan kembali dengan kondisi dunia usaha di wilayahnya karena (PBJT) dipungut oleh Kabupaten/Kota, khusus DKI Jakarta dipungut pemerintah provinsi. 

"Apakah sudah pulih dari pandemi atau belum, jika dirasa belum pulih, pemda bisa memberikan insentif," tuturnya

Dalam pasal 101 UU HKPD menyebutkan bahwa dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, gubernur/bupati/wali kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya. Insentif fiskal tersebut, di antaranya berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, dan/atau sanksinya.

Putri memastikan, pembahasan UU HKPD pada dasarnya tidak hanya dilakukan oleh Komisi XI saja, melainkan juga melibatkan pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PPN/Bappenas.

Selain itu, melibatkan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasannya. Jadi, UU ini merupakan produk bersama antara DPR RI dan pemerintah.

"Kami pun juga memperhatikan kegelisahan dari pelaku usaha, khususnya yang masih belum pulih akibat diterpa pandemik. Karenanya, kami pasti akan ingatkan pemerintah khususnya Kementerian Keuangan untuk mendorong pemda untuk menerapkan diskresi jika memang dibutuhkan di wilayahnya," tuturnya. 

 

Topik:

  • Jujuk Ernawati

Berita Terkini Lainnya