Trump Mau Tembaga RI, Bos Freeport: Kami Gak Pernah Jual ke Amerika

- China mengonsumsi 50% tembaga dunia, jarak pengapalan yang jauh
- Tidak bisa dilakukan serta merta, patuh pada rencana utama dan lingkungan
- Akses penuh bersifat G2G
Jakarta, IDN Times - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengklaim memiliki akses penuh terhadap komoditas copper atau tembaga dalam perdagangan dengan Indonesia. Hal itu menjadi salah satu kesepakatan yang dicapai RI-AS sejalan dengan penurunan tarif resiprokal menjadi 19 persen.
Akses penuh dapat diartikan jika Trump bisa dengan mudah meminta Indonesia mengekspor tembaga ke negaranya. Meski begitu, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI), Tony Wenas mengungkapkan selama ini pihaknya tidak melakukan ekspor tembaga ke Negeri Paman Sam.
Untuk pasar luar negeri, Freeport justru menjual hasil tembaganya ke kompetitor AS, yakni China.
"Kami sih selama ini gak pernah jual ke Amerika ya. Ekspor itu sebagian besar ke China. Itu kan harus dipikirkan, apakah industri turunan yang dari China, industri turunan dari tembaga yang dibeli dari kami itu kemudian dikenakan tarif untuk Amerika, ya tentu saja demand tembaga itu mungkin akan berkurang," kata Tony kepada awak media di Gedung DPR RI Jakarta, Rabu (16/7/2025).
1. Perpindahan pasar dari China ke AS sulit dilakukan

Tony pun menambahkan, pergeseran pasar ekspor tembaga Freeport dari China ke AS sulit dilakukan mengingat perbedaan jarak yang jauh antara kedua negara tersebut.
"Untuk memindahkan pasar, pertama kalau ke Amerika itu jauh, 45 hari dan kalau ke China itu cuma 7 hari pengapalan dan China mengonsumsi 50 persen dari copper di dunia ini," ujarnya.
2. Peningkatan kapasitas untuk penuhi pasar AS

Selain itu, Tony juga menjawab pertanyaan awak media terkait kemungkinan peningkatan kapasitas produksi Freeport guna memenuhi permintaan pasar AS.
Dengan tegas Tony mengatakan bahwa hal tersebut tidak bisa dilakukan serta merta. Freeport patuh dengan rencana utama yang telah dibuat dengan baik, tidak hanya bagi bisnisnya melainkan juga bagi lingkungan.
"Kalau kami kan di tambang kita nggak bisa oh karena ada permintaan kita naikin kapasitas produksi, gak bisa seperti itu. Kan main plan-nya sudah terencana dengan baik dengan memperhatikan daya dukung lingkungan, dengan memperhatikan faktor safety, dan faktor ketersediaan lain sebagainya," ujar dia.
Sebagai perusahaan yang mengelola tambang, Freeport tidak bisa bertindak seperti industri manufaktur. Industri tersebut menurut Tony bisa dengan mudah meningkatkan kapasitas produksinya jika ada permintaan berlebih.
"Ini kan bahan baku kita dari dalam tanah. Jadi memang harus sesuai dengan rencana dan tambang bawah tanah kami. Itu kan harus ditambang secara sekuens, gak bisa kemudian dikebut sekuens-nya atau diloncat sekuensnya, tetap harus dalam sekuens," beber Tony.
3. Akses penuh bersifat G2G

Tony juga mengatakan akses penuh yang dimaksud tidak langsung ke pihaknya selaku perusahaan, melainkan hubungan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah AS alias government to government (G2G).
"Kalau kami sebagai perusahaan ya tentu saja kita akan produksi copper (tembaga) kita dengan cara yang aman dan berlanjutan dan menyediakan itu bahan baku buat ekosistem di dalam negeri utamanya, kan gitu," ujar Tony.