Trump Klaim Punya Akses Penuh ke Tembaga RI, Ini Respons Bos Freeport

- Hilirisasi tetap jadi yang utama
- Permintaan ekspor konsentrat tembaga oleh Trump tidak terjadi karena smelter pengolahan copper cathodes Freeport di Gresik sudah siap produksi.
- Smelter baru Freeport akan memproduksi katode tembaga pekan depan dengan target produksi tahun ini sebesar 441 ribu ton.
- Peningkatan kapasitas untuk penuhi pasar AS
- Freeport tidak dapat meningkatkan kapasitas produksinya secara tiba-tiba karena patuh pada rencana utama dan faktor lingkungan.
- Tidak bisa bertindak seperti industri manufaktur yang dapat dengan mudah meningkatkan kapasitas produksinya jika
Jakarta, IDN Times - PT Freeport Indonesia (PTFI) buka suara perihal akses penuh terhadap komoditas tembaga Indonesia yang dimaksud Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, dalam kesepakatan tarif resiprokal 19 persen dengan Presiden Prabowo Subianto.
Presiden Direktur Freeport Indonesia, Tony Wenas mengatakan akses penuh tersebut tidak langsung ke pihaknya selaku perusahaan, melainkan hubungan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah AS.
"Kalau kami sebagai perusahaan ya tentu saja kita akan produksi copper (tembaga) kita dengan cara yang aman dan berkelanjutan dan menyediakan itu bahan baku buat ekosistem di dalam negeri utamanya, kan gitu," ujar Tony kepada awak media di Gedung DPR RI Jakarta, Rabu (16/7/2025).
1. Hilirisasi tetap jadi yang utama

Tony kemudian mengungkapkan kemungkinan permintaan ekspor konsentrat tembaga oleh Trump berkaitan dengan kesepakatan tarif 19 persen.
Menurut Tony, hal itu urung terjadi lantaran smelter pengolahan copper cathodes atau katoda tembaga terbaru milik Freeport di Gresik, Jawa Timur sudah jadi dan siap produksi pekan depan.
"Ini kan kami sebagai perusahaan, ini kan kita smelternya sudah jadi, sudah beroperasi, sudah akan segera produksi katode tembaga mulai minggu depan. Emas batangan sudah diproduksi, perak batangan sudah diproduksi, ini kan akan sangat baik buat ekosistem hilirisasi dalam negeri dan hilirisasi dari sektor tambang itu sudah final," tutur Tony.
Lebih lanjut Tony menjelaskan, smelter baru Freeport itu akan mulai memproduksi katode tembaga pekan depan dengan target produksi tahun ini sebesar 441 ribu ton.
2. Peningkatan kapasitas untuk penuhi pasar AS

Selain itu, Tony juga menjawab pertanyaan awak media terkait kemungkinan peningkatan kapasitas produksi Freeport guna memenuhi permintaan pasar AS.
Dengan tegas Tony mengatakan bahwa hal tersebut tidak bisa dilakukan serta merta. Freeport patuh dengan rencana utama yang telah dibuat dengan baik, tidak hanya bagi bisnisnya melainkan juga bagi lingkungan.
"Kalau kami kan di tambang kita nggak bisa oh karena ada permintaan kita naikin kapasitas produksi, gak bisa seperti itu. Kan main plan-nya sudah terencana dengan baik dengan memperhatikan daya dukung lingkungan, dengan memperhatikan faktor safety, dan faktor ketersediaan lain sebagainya," ujar dia.
Sebagai perusahaan yang mengelola tambang, Freeport tidak bisa bertindak seperti industri manufaktur. Industri tersebut menurut Tony bisa dengan mudah meningkatkan kapasitas produksinya jika ada permintaan berlebih.
"Ini kan bahan baku kita dari dalam tanah. Jadi memang harus sesuai dengan rencana dan tambang bawah tanah kami. Itu kan harus ditambang secara sekuens, gak bisa kemudian dikebut sekuens-nya atau diloncat sekuensnya, tetap harus dalam sekuens," beber Tony.
3. Freeport tidak pernah jual tembaga ke AS

Selain itu, Tony juga mengungkapkan selama ini pihaknya tidak pernah mengekspor hasil tembaganya ke Negeri Paman Sam. Selama ini, Freeport justru menjual tembaganya ke China untuk pasar luar negeri.
"Ekspor itu sebagian besar ke China. Itu kan harus dipikirkan, apakah industri turunan yang dari China, industri turunan dari tembaga yang dibeli dari kami itu kemudian dikenakan tarif untuk Amerika, ya tentu saja demand tembaga itu mungkin akan berkurang," kata Tony.
Tony pun menambahkan, pergeseran pasar ekspor tembaga Freeport dari China ke AS sulit dilakukan mengingat perbedaan jarak yang jauh antara kedua negara tersebut.
"Untuk memindahkan pasar, pertama kalau ke Amerika itu jauh, 45 hari dan kalau ke China itu cuman 7 hari pengapalan dan China mengonsumsi 50 persen dari copper di dunia ini," ujarnya.