Begini Tantangan Industri Farmasi dan Kosmetik Pasca Pandemik 

Wawancara khusus Presdir Rohto Indonesia Mukdaya Massidy

Jakarta, IDN Times - Sosok Tham Mukdaya Massidy mungkin belum terlalu familiar untuk sebagian besar masyarakat Indonesia. Berbeda dengan produk yang dihasilkan dari perusahaan yang dipimpinnya, PT Rohto Laboratories Indonesia, seperti obat tetes mata Rohto atau skin care Hada Labo yang bisa ditemui di supermarket, toko obat atau toko kosmetik.

Namun dialah sosok di balik kehadiran anak perusahaan asal Jepang ini di Indonesia 26 tahun lalu. Sebelum produknya membanjiri pasar Indonesia, Rohto sempat 'menghilang' belasan tahun dari pasar tanah air. Kerjasama dengan pelaku industri farmasi lokal saat itu tidak berjalan sesuai harapan sehingga produksi terpaksa dihentikan. Mukdaya pun berjuang agar Rohto Jepang mengabulkan proposalnya untuk mendirikan anak perusahaan di Indonesia, dan perjuangannya membuahkan hasil.

“Kami sangat bersyukur, Rohto bisa sangat dikenali dan diminati di Indonesia.  Tentunya ini terjadi karena dukungan dari banyak pihak terutama customer loyal kami di Indonesia. Tentunya kami juga akan berusaha untuk selalu menghadirkan produk-produk terbaik yang bermanfaat dan bisa dicintai oleh pelanggan," kata Mukdaya

Di sela kunjungan ke laboratorium dan pabrik Rohto Jepang,  8 Juni 2023, kepada IDN Times, Mukdaya bercerita banyak tentang industri farmasi dan kosmetik, tantangan, kendala dan prospeknya setelah pandemik COVID-19. Berikut petikan wawancaranya:

Perusahaan menggagas program Rohto Lab goes Japan. Apa yang jadi kriteria untuk partisipan?

Begini Tantangan Industri Farmasi dan Kosmetik Pasca Pandemik Rohto Lab goes to Japan (IDN Times/Umi Kalsum)

Sebetulnya program ini sudah ada tapi tertunda karena ada pandemik Corona. Tahun ini sudah kembali dibuka ke Jepang, jadi kita mulai tahun ini. Kriterianya gak ada yang khusus, ini bagi mereka yang memberikan kontribusi dan bekerja sama yang kita nilai cukup bagi Rohto Indonesia. Jadi mereka kita pilih untuk ikut program insentif ini. Pesertanya dari berbagai daerah di Indonesia, dari berbagai provinsi yang menjadi wilayah pemasaran Rohto.

Rohto Jepang memanfaatkan teknologi tinggi, seperti robot dalam proses produksinya. Apakah teknologi yang sama juga diterapkan di Indonesia?

Ya, memang di Jepang menggunakan robot dan di Indonesia kita sebenarnya menggunakan mesin-mesin yang sifatnya otomatis. Kalau tidak, semi otomatis. Tapi beberapa produk unggulan seperti tetes mata (eye drop), beberapa skin care sebetulnya mesin kita sudah otomatis. Cuma memang bedanya di Jepang otomatisnya menggunakan robot, di kita (Indonesia) otomatisnya masih menggunakan beberapa equipment yang biasa karena kita lebih fokus pada labour intensive. Jadi bisa menyerap tenaga kerja. Secara jumlah, tenaga kerja di pabrik hampir 600 orang, jadi bisa menyerap tenaga kerja. Memang tenaga kerja di Indonesia lebih murah kan ketimbang di Jepang.

Sebenarnya menggunakan manusia, banyak atau sedikit, ada untung ruginya. Kalau sedikit seperti Rohto, human errornya kecil karena semua dijalankan oleh mesin. Kalau yang banyak tenaga manusia, human error masih sering terjadi. Karena itu harus ada SOP yang bagus, sistem GMP-nya (Good Manufacturing Practice) bagus.

Di Bandung walau gak ada robot kita gunakan mesin otomatis, yang kita belum itu 100 persen otomatis di bagian packing. Jadi produksi sampai barang jadi sudah otomatis, human error-nya gak ada. Jadi kita sudah jaga human error paling banter akan terjadi di packing sehingga kita bikin prosedur beberapa kali. Misalnya nih kalau sudah dimasukin ke boks kemudian ditimbang dua kali. Ditimbang dulu boksnya yang kecil beratnya, kalau beratnya kurang artinya ada botol yang kurang. Setelah masuk ke boks besar ditimbang lagi, ada dua kali timbang. Itu contoh SOP yang kita lakukan untuk menghilangkan human error.

Kalau di Rohto Jepang tidak akan terjadi lagi karena kan sudah otomatis termasuk sampai ke logistik, ketat. Misal, kalau barang di atas yang mau diambil itu kita pencet tombol, dia akan turun sendri kalau di depannya ada barang dia akan buka dulu, geser ke samping, seperti tetris.

Di Rohto Jepang ada proyek Kaisen Activity, apa ini juga diberlakukan di Indonesia?

Begini Tantangan Industri Farmasi dan Kosmetik Pasca Pandemik Suasana Rohto Research Village, laboratorium ROHTO Pharmaceutical Co., Ltd di Kyoto, Jepang. (IDN Times/Umi Kalsum)

Ya pasti, di pabrik kita juga ada Kaisen Activity. Kaisen-nya dengan memberikan insentif untuk mereka yang memberikan ide, namanya Kisuki, kita sudah ada. Selain Kaisen kita juga melakukan program T-One atau Transform to be Number One, mirip Kaisen tapi jauh lebih complicated, lebih luas. Di Rohto juga sudah diterapkan.

(Kaisen Activity adalah kegiatan yang dilakukan Rohto Pharmaceutical Co.Ltd untuk mencari solusi atas permasalahan pekerjaan. Solusi atau ide-ide mengatasi masalah datang dari karyawan sendiri. Kegiatan ini diterapkan sejak tahun 2005. Setiap bulan rata-rata ada 799 ide yang muncul. Menurut Manager Plan UENO Techno Center --pabrik Rohto di Jepang--,  Hiroyuki Tanaka, sekali pun idenya kecil tapi karena pemecahan masalah datang dari karyawan sendiri kegiatan ini menambah motivasi karyawan terhadap pekerjaan.)

Aktivitas ini kan sebenarnya untuk mencari solusi, misal orang tinggi mejanya juga harus tinggi...?

Ya, kalau Kaisen itu orang bekerja seperti biasa sesuai SOP, ketika menemukan masalah mereka harus mencari solusinya untuk memecahkan masalah itu sehingga ada continuous improvement. Nah ini sudah kita terapkan di pabrik, ditambah lagi kita punya program T-One, itu bukan ketika ada masalah tapi ide baru, yang berlaku dari level staf sampai atas, kita ada tim untuk buat itu.

Selain menerapkan program tersebut, bagaimana budaya kerja yang diterapkan di Indonesia?

Pada dasarnya kita tetap membawa beberapa budaya Jepang, tapi mix dengan beberapa budaya Indonesia. Apa yang bagus yang bisa diterapkan di Indonesia kita terapkan, misalnya tadi Kaisen, masalah disiplin, masalah etos kerja, kita terapkan. Misalnya, etos kerja yang berkaitan dengan masalah continuous improvement itu sudah menjadi komitmen dari Rohto Indonesia. Kita ada corporate commitment, continuous improvement, speed, dan inovasi. Itu sudah menjadi komitmen.

Kalau untuk regenarasi karyawan, dilihat dari komposisi usia bagaimana?

Saat ini karyawan kita masih banyak yang berada di usia produktif, memang ada sekitar 10 persen menjelang 50-an. Tapi rata-rata sebagian besar masih usia produktif dalam arti 35-50 tahun, itu seimbang dengan yang 25-35 tahun, banyak millenial.

Bagaimana kontribusi Rohto Indonesia selama ini?

Begini Tantangan Industri Farmasi dan Kosmetik Pasca Pandemik Suasana Rohto Research Village, laboratorium ROHTO Pharmaceutical Co., Ltd di Kyoto, Jepang. (IDN Times/Umi Kalsum)

Baca Juga: 11 Potret Pabrik dan Laboratorium Rohto Jepang, Nyaman dan Asri Banget

Rohto sebenarnya (mendapat kontribusi) 40 persen dari luar (Jepang), 60 persen dari Jepang. 40 persen ini memang disumbangkan banyak negara. Jadi kita melihatnya per region. Region untuk kawasan Asia Tenggara memang yang memberikan kontribusi paling banyak sesuai komitmen itu Vietnem dan Indonesia. Jadi hampir seimbang antara Indonesia dan Vietnam, tapi juga berkembang potensi yang lain seperti Kamboja, Myanmar itu cukup bagus juga. Malaysia dan Thailand itu bagus.

Untuk produk yang dihasilkan seperti eye drop, OTC medicine, skin care, apa yang paling kuat pasarnya di Indonesia?

Indonesia, untuk eye drop bisa dibilang kita market leader, maka kita terus investasi untuk line produksi baru. Selain itu beberapa produk kita masuk market leader di kategorinya, misalnya lip balm, kita ada acnes juga, untuk mousturising atau UV kita ada Skin Aqua, ada Hada Labo. Jadi beberapa brand kita cukup populer.

Memang sengaja membidik gen Z?

Gak selalu, tergantung produknya. Kalau misalnya, jerawat tentu gen Z karena akil baliq, masa pubertas, banyak mengalami. Tapi beberapa produk seperti Hada Labo mungkin range usianya lebih banyak, seperti antara yang dewasa dan gen Z. Hada Labo untuk lotion, mousturising kita nomor satu, di Jepang juga sudah nomor satu.

Terkait line produksi baru, apakah termasuk investasi sebesar US$10 juta yang dikucurkan tahun 2022 lalu?

Itu sudah berjalan, kuartal tiga selesai tambah satu fasilitas produksi dengan peralatan otomatis. Itu sudah canggih ya meski tidak ada robot, dan intervensi manusia tidak ada sehingga lebih steril, sudah bisa memenuhi standar Eropa. Kedua, perluasan untuk produksi alat kesehatan, dalam hal ini lensa untuk operasi katarak dan kita bangun office baru karena karyawan tambah banyak, itu sudah jalan. Mungkin perkiraan saya sekitar Juli atau Agustus selesai.

Kalau sudah selesai dan beroperasi, berapa persen kontribusi penambahan pendapatan dari line baru ini?

Sebenarnya tidak ada hubungan langsung, tapi kita sudah siapkan diri sebenarnya jika nanti permintaan produk kita cukup besar, kapasitas kita cukup. Saat ini kapasitas di atas 80 persen, jadi melihat demand pasarnya cukup bagus untuk produk kami. Kalau kami tidak mengembangkan line baru mungkin sedikit berisiko. Jadi kami kembangkan, sudah ada back up dari sekarang.

Apa yang membuat Rohto sempat setop produksi di Indonesia?

Begini Tantangan Industri Farmasi dan Kosmetik Pasca Pandemik Produk eye drops Rohto Pharmacetiucal Co., Ltd (IDN Times/Umi Kalsum)

Dulu sebetulnya kita minta Kimia Farma yang memproduksi, tapi Kimia Farma report-nya kurang bagus, akhirnya disetop. Karena disetop inilah produk Rohto sempat kosong selama 15-20 tahun di pasar. Nah produk yang lain masuk. Setelah berpikir cukup lama dan ada produk yang menggantikan, akhirnya berpikir bikin anak perusahaan lagi, mendingan cabut saja.

Selama 15 tahun kosong di pasar Indonesia, bagaimana cara Rohto mengambil kembali pelanggannya yang hilang?

Nah, itu kita sudah lakukan, caranya memang promosi, marketing mix, kita berikan keyakinan ke kalangan distributor, grosir, program dijalankan konsisten ditambah image buatan Jepang.

Di Rohto Jepang sebanyak 99,9 persen karyawan tidak merokok, bagaimana di Indonesia?

Belum, baru sebatas imbauan, agak sulit tapi belum coba, masih sekadar imbauan. Kalau di Rohto seluruh pimpinan sudah komit bahwa karyawan harus non smoking tahun 2024, 100 persen. Jadi mereka (karyawan di Jepang) di bulan-bulan tertentu ikut tes, orang yang walaupun dua minggu berhenti akan ketahuan. Kalau di Indonesia masih susah, baru berhenti sebulan kalau perokok berat gak tahan. Kita ada tes nikotin.

Baca Juga: 11 Potret Pabrik dan Laboratorium Rohto Jepang, Nyaman dan Asri Banget

Menurut Anda apa tantangan terbesar industri farmasi dan kosmetik di Indonesia?

Begini Tantangan Industri Farmasi dan Kosmetik Pasca Pandemik Produk-produk yang dihasilkan Rohto Pharmaceutical Co., Ltd dari tahun ke tahun. (IDN Times/Umi Kalsum)

Sebenarnya tantangan yang paling utama kalau menurut pendapat saya di industri farmasi itu, bagaimana bisa memproduksi dan menciptakan produk yang memang bisa membantu kehidupan masyarakat di Indonesia. Artinya beberapa penyakit yang belum ada obatnya, atau ada obatnya tapi efek samping yang lebih banyak, bisa ditemukan yang lebih baik. Sedangkan di sisi skin care atau kosmetik bisa produk yang memang kualitasnya bagus dan bisa memberikan manfaat bagi penggunanya. Tren di pasar berkembang dan penyakit pun berkembang, kita tidak tahu bisa ada pandemik Corona seperti ini, jadi itu tantangan untuk industri farmasi maupun kosmetika.

Kalau kendala yang dirasakan saat ini?

Kendalanya mungkin ada di regulasi juga sumber daya manusia dan mungkin teknologi untuk beberapa perusahaan jika memang mau memproduksi produk yang lebih muktahir.

Ada saran menghadapi tantangan dan kendala di industri ini?

Begini Tantangan Industri Farmasi dan Kosmetik Pasca Pandemik Salah satu merek skin care yang diproduksi Rohto Pharmacetiucal Co., Ltd (IDN Times/Umi Kalsum)

Mungkin kalau perusahaan lain saya tidak tahu. Di Rohto Indonesia kita melakukan kolaborasi, misalnya masalah sumber daya manusia kami sering mengirim karyawan Rohto untuk belajar ke Jepang, Vietnam, dan beberapa negara. Jadi saling mendapat sharing teknologi, itu sudah kita lakukan.

Kalau teknologi sebetulnya bisa kita datangkan, cuma masalahnya kesiapan pasarnya. Kalaupun pasarnya belum siap bagaimana kita menggunakan. Contohnya yang lebih canggih, itu akan sia-sia kalau pasarnya tidak siap. Jadi kita mesti lihat kebutuhan pasarnya dan kesiapan sumber daya manusia.

Pandemik datang tak diduga, tapi dalam perjalanan jadi 'berkah' untuk industri farmasi. Setelah ini berlalu, bagaimana prospeknya ke depan?

Kalau melihat pandemik ada beberapa industri yang berkah ya karena untuk keperluan obat, tapi tidak semua farmasi begitu, seperti kami yang obatnya lebih ke OTC (obat tanpa resep dokter). Tapi untuk skin care kita berkembang pesat setelah ada pandemik ini, karena orang lebih banyak merawat diri selama pandemik. Tantangan ke depan market trend akan berubah, konsumen akan lebih demanding, aware, lebih membutuhkan produk-produk yang memang bisa memberikan manfaat bagi mereka dengan harga terjangkau. Itu akan terjadi di pasar Indonesia seperti yang sudah terjadi di luar negeri. Konsumen sudah melihat kualitas sebagai sesuatu yang menjadi keputusan untuk membeli satu produk.

Jadi bagaimana pun mereka akan melihat apakah satu produk diproduksi perusahaan yang cukup punya reputasi baik dan produknya melalui beberapa riset, itu yang akan terjadi. Jadi mereka yakin memberikan manfaat dan harganya terjangkau. Kalau di indonesia masih belum, kadang rasionalnya belum penuh walau sudah ada, tapi ke depannya akan seperti itu. Dan ini akan dimotori oleh generasi muda.

Baca Juga: Fakta dan Sejarah Rohto, Awalnya Jualan Obat Sakit Perut 

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya