Cerita Lengkap Awal Mula Luhut Terlibat Urusan Tes PCR GSI

Anak buah Luhut buka-bukaan soal layanan PCR GSI

Jakarta, IDN Times - Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves), Septian Hario Seto membeberkan awal mula keterlibatan Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan dalam layanan PCR GSI Lab.

"Saya merasa saya harus menulis mengenai hal ini. Saya akan cerita dari awal, sehingga teman-teman bisa memahami perspektif mendesaknya kita akan kebutuhan tes PCR yang terjangkau dalam pandemik ini," kata Septian dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/11/2021).

Septian mengatakan keterlibatan Luhut bermula ketika dia mengetahui mahalnya harga tes PCR di Indonesia, dan hasilnya keluar berhari-hari kemudian. Hal ini dinilai bisa memperlambat proses penanganan COVID-19, dan kasus baru bisa melonjak.

"Bersama istri saya menuju salah satu rumah sakit di Jakarta untuk melakukan tes PCR ini. Belakangan saya ketahui, biayanya cukup mahal waktu itu, kalau tidak salah mencapai kisaran 5-7 juta untuk satu orang. Hasilnya dijanjikan 3 hari, namun setelah 5 hari baru keluar. Alhamdulillah negatif hasilnya," tutur Septian.

Septian pun melaporkan kondisi tersebut kepada Luhut, dan mengusulkan agar pemerintah membantu pengadaan PCR. Namun, bantuan tersebut akan sulit terealisasi jika mengandalkan APBN.

"Kalau mengandalkan anggaran pemerintah, akan butuh waktu lama untuk bisa menambah kapasitas PCR ini, dari proses penganggaran, tender, sampai kemudian sampai pembayaran. Saya cukup yakin soal ini berdasarkan pengalaman 5 tahun lebih di pemerintahan," ucap dia.

Baca Juga: Profil GSI Lab, Bisnis PCR yang Disebut-sebut Terlibat dengan Luhut

1. Luhut mulai berdonasi untuk pengadaan PCR

Cerita Lengkap Awal Mula Luhut Terlibat Urusan Tes PCR GSIMenko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (ANTARA/HO-Kemenko Kemaritiman dan Investasi)

Setelah itu, Luhut pun memerintahkan Septian untuk mencari produsen alat tes PCR, untuk kemudian didonasikan ke beberapa fakultas kedokteran (FK) universitas di Indonesia untuk menyediakan layanan tes PCR, dan digunakan untuk penelitian lain.

Terkait anggarannya, Luhut pun menghubungi teman-temannya untuk berdonasi dalam pengadaan alat tes PCR. "Di sinilah kemudian proses pencarian PCR ini kita mulai," tutur Septian.

2. Kampus-kampus dapat donasi alat tes PCR

Cerita Lengkap Awal Mula Luhut Terlibat Urusan Tes PCR GSIIlustrasi pembayaran (IDN Times/Aditya Pratama)

Kemudian, Septian menghubungi dekan di sejumlah FK, seperti FK Universitas Indonesia (UI), FK Universitas Padjajaran (Unpad), FK Universitas Gadjah Mada (UGM), FK Universitas Airlangga (Unair), FK Universitas Udayana, dan FK Universitas Sumatra Utara (USU) terkait donasi alat tes PCR yang akan diberikan Luhut dan teman-temannya.

"Beberapa ada yang merespon dengan cepat, namun beberapa ada yang tidak merespon sama sekali, mungkin dianggapnya prank kali, ya. Para dekan tersebut kemudian mengenalkan saya kepada PIC masing-masing," ucap Septian.

Setelah itu, Septian berkenalan dengan Wakil Dekan FK UI, Anis; Wakil Dekan Unpad, Lia; Wakil Dekan Universitas Diponegoro (Undip), Happy; Institute of Tropical Disease Unair, Inge; Lia dari USU; dan Ova dari UGM.

"Mereka itulah yang kemudian mengajarkan saya lebih detail mengenai tes PCR ini, alat-alat apa saja yang diperlukan, serta rekomendasi merek yang bagus. Berdasarkan diskusi dengan mereka, waktu itu diputuskan bahwa kita akan beli alat PCR dari Roche," tutur Septian.

3. Uang donasi Luhut cs mulai direalisasikan buat beli PCR

Cerita Lengkap Awal Mula Luhut Terlibat Urusan Tes PCR GSIIlustrasi Uang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Setelah mendapatkan rekomendasi, Septian melakukan pemesanan alat tes PCR merek Roche, perusahaan asal Swiss. Ternyata, Septian mengetahui bahwa Budi Gunadi Sadikin, yang kala itu masih menjabat sebagai Wakil Menteri BUMN ternyata juga ditugaskan membeli alat tes PCR.

Untuk itu, Septian pun mengajak Kementerian BUMN untuk membeli alat tes PCR merek Roche bersama-sama agar tak berebutan pasokan alat tes PCR. Sayangnya, meskipun sebagian instrumen tes dan reagen datang bertahap, pihaknya sulit mendapatkan Viral Transport Medium (VTM) yang berfungsi untuk menampung hasil swab.

"Long story short, berbagai perintilan barang itu bisa kita dapatkan dan lab-lab di berbagai fakultas kedokteran itu bisa mulai melakukan tes. Namun, karena proses ekstraksinya masih manual, masing-masing lab paling hanya bisa melakukan 100-200 tes per hari. Jauh dari target yang kita minta yaitu 700-1000 tes per hari," ujarnya.

Permasalahan belum usai di situ. Septian mengaku alat ekstraksi RNA yang dipesan dari Roche tidak bisa didapatkan karena pasokan terbatas dan diperebutkan oleh negara-negara lain.

Baca Juga: Luhut Tegaskan Tak Ambil Untung meski Terlibat di Bisnis PCR GSI Lab 

4. Anak buah Luhut beli instrumen PCR dari China

Cerita Lengkap Awal Mula Luhut Terlibat Urusan Tes PCR GSIMenteri koordinator bidang kemaritiman dan investasi, Luhut Pandjaitan (www.instagram.com/@luhut.pandjaitan)

Karena alat ekstraksi RNA dari Roche tak bisa didapatkan, Septian mendapat rekomendasi merek Qiagen dari Jerman. Namun, menurut dia alat ekstraksi RNA dari Jerman itu tak bisa digunakan karena menggunakan closed system, artinya hanya bisa digunakan dengan reagen yang diproduksi mereka sendiri.

Beberapa bulan kemudian, dia pun mendapat rekomendasi ekstraksi RNA dan reagen dari sebuah perusahaan bioteknologi dari China. Menurutnya, produk dari China tersebut harganya lebih murah dibandingkan yang lain.

"Alat ekstraksi RNAnya harganya lebih murah, kira-kira 1/10 dari harga alat ekstraksi yang diproduksi Qiagen, meskipun kapasitasnya 1/3. Begitu juga harga reagen untuk ekstraksi RNA-nya," tutur dia.

"Dengan suplai dari Tiongkok ini, kita bisa memberikan donasi lebih banyak alat PCR dan ekstraksi RNA kepada lab-lab kampus itu. Awal Juni, barang-barang ini mulai datang ke Indonesia," sambungnya.

5. Luhut diajak dirikan GSI Lab

Cerita Lengkap Awal Mula Luhut Terlibat Urusan Tes PCR GSILayanan tes PCR di GSI Lab (instagram.com/gsilab.id)

Seiringan dengan proses mencari alat tes PCR, salah satu teman Luhut mengajak untuk berpartisipasi dalam pendirian laboratiorium tes COVID-19 dengan kapasitas 5 ribu tes per hari, dan bisa melakukan genome sequencing. Namun, Septian mengatakan dirinyalah yang membujuk Luhut untuk ikut mendirikan laboratorium tersebut, dan Luhut mengiyakan.

"Maka tanpa pikir panjang, Pak Luhut menyampaikan ke saya, 'kita bantu lah to mereka ini'. Akhirnya melalui Toba Sjahtera (yang memiliki dana untuk kebutuhan ini), Pak Luhut ikut mendukung pendirian lab tersebut. Maka lahirlah GSI, setelah itu, kami tidak monitor lagi mengenai GSI ini," kata Septian.

PT Toba Sejahtra sendiri tercatat mengantongi 242 lembar saham senilai Rp242 juta di PT GSI. Ketika publik menyoroti keterlibatan Luhut dalam layanan PCR GSI, Septian langsung melaporkan ke Luhut. Namun, Luhut justru mengaku tak ingat PT Toba Sejahtra punya saham di GSI.

Meski begitu, dia memastikan Luhut dan pemegang saham lain tak pernah meraup untung dari bisnis lab PCR GSI Lab, karena PT GSI bertujuan melakukan kegiatan sosial, khususnya untuk penanganan COVID-19.

"Di dalam perjanjian pemegang saham GSI, ada ketentuan bahwa 51 persen dari keuntungan harus digunakan kembali untuk tujuan sosial. Oleh karena itu, sampai detik ini tidak ada pembagian keuntungan seperti dividen kepada pemegang saham," ucap Septian.

"Hasil laba yang lain digunakan untuk melakukan reinvestasi terhadap peralatan atau kelengkapan lab yang lain (salah satunya adalah untuk melakukan genome sequencing). Perlu diketahui, ketika diawal operasi GSI ini menggunakan fasilitas tanah dan bangunan secara gratis yang diberikan oleh salah satu pemegang saham," sambungnya lagi.

Baca Juga: Heboh Bisnis PCR, Pemerintah Janji Evaluasi Harga secara Berkala

6. Anak buah bantah ada conflict of interest dalam keterlibatan Luhut di GSI

Cerita Lengkap Awal Mula Luhut Terlibat Urusan Tes PCR GSILayanan tes PCR di GSI Lab (instagram.com/gsilab.id)

Luhut sendiri menjabat sebagai Koordinator PPKM Jawa-Bali. Oleh sebab itu, Luhut punya andil dalam penetapan syarat perjalanan jarak jauh, seperti syarat PCR atau Antigen di seluruh moda transportasi.

Septian mengatakan posisi Luhut tersebut ternyata memicu penilaian conflict of interest. Namun, dia memastikan syarat perjalanan itu diputuskan sesuai analisis perkembangan mobilitas masyarakat, bukan demi menguntungkan bisnis PCR GSI.

"Kondisi pada saat GSI didirikan saat itu membutuhkan keputusan yang cepat terkait peningkatan kapasitas tes PCR ini. Kemudian, ketika Pak Luhut menjadi koordinator PPKM Jawa Bali, setiap keputusan yang diambil didasarkan kepada usulan kami atas analisis data dan situasi, sehingga kondisi CPVID-19 di Jawa-Bali bisa lebih baik," tutur Septian.

"Tidak ada sedikit pun keraguan dalam hati saya terkait hal ini. Tidak ada satupun keputusan yang diambil oleh Pak Luhut yang kami usulkan, karena mengedepankan kepentingan GSI, termasuk usulan mengenai PCR untuk penumpang pesawat," sambung dia.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya