Ganjar Ungkap Ancaman Emisi Gas Rumah Kaca dari PLTU

Ganjar ungkap pentingnya beralih ke energi hijau

Jakarta, IDN Times - Gubernur Jawa Tengah (Jateng), Ganjar Pranowo, mengatakan emisi gas rumah kaca (GRK) dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara berbahaya bagi lingkungan. Dia mengatakan, emisi GRK dari batu bara yang digunakan pada PLTU merupakan salah satu penyebab perubahan iklim.

"Kenapa saya contohkan Wadas? Itu bukan cuma untuk pengairan dan pengendalian banjir, buat energi. Ini contoh. Dari pada kita, maaf batubara kita banyak. Banyak orang kaya karena batu bara. Tapi kalau itu tak digeser segera, maka kita akan alami kerusakan yang lebih parah. Emisi gas buangnya pasti akan bahaya," kata Ganjar dalam diskusi panel di acara Rakernas APEKSI 2023, Kamis (13/7/2023).

1. Penggunaan energi hijau di Indonesia masih rendah

Ganjar Ungkap Ancaman Emisi Gas Rumah Kaca dari PLTUProyek PLTA Batangtoru berkapasitas 510 MW (IDN Times/Prayugo Utomo)

Ganjar mengatakan, penggunaan energi hijau di Indonesia masih rendah. Dilihat dari daftar Green Future Index, Indonesia bahkan menduduki peringkat ke-70 dari 76 negara. Green Future Index adalah daftar 76 negara yang mampu mengembangkan masa depan rendah karbon dan berkelanjutan bagi ekonomi dan masyarakat.

"Posisi Indonesia pada Green Future Index, itu di urutannya 70 dari 76 negara. Lumayan ya, maksudnya tidak terakhir, 70 dari 76 negara. Dan ini nilainya kira-kira 3,68. Indonesia nilainya terpaut cukup jauh dari rata-rata GFI, dunia. Maka PR-nya besar," ucap Ganjar.

Baca Juga: Watsons Komitmen Kurangi GRK hingga 50,4 Persen di 2030

2. Indonesia harus bisa implementasi bursa karbon

Ganjar Ungkap Ancaman Emisi Gas Rumah Kaca dari PLTUilustrasi jejak karbon industri (unsplash.com/@chrisleboutillier)

Menurut Ganjar, salah satu solusi untuk mengendalikan emisi GRK adalah penerapan perdagangan karbon atau carbon trading. Dikutip dari situs resmi ICDX, perdagangan karbon lebih memungkinkan dan lebih mudah untuk diimplementasikan daripada regulasi yang langsung membatasi dan mengenakan pajak pada emisi karbon.

Regulasi langsung akan lebih mahal dari segi anggaran dan membatasi ruang gerak pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh industri. Di sisi lain, jika mampu menerapkan perdagangan karbon, maka keseriusan Indonesia dalam menangani perubahan iklim dapat dilihat dunia.

"Posisi terakhir dalam Presidensi ASEAN, mestinya Indonesia bisa menyuarakan carbon trade. Carbon trading ini sebenarnya bisa kita jadikan, sehingga barat menghormati kita. Kemudian, tidak hanya menunjuk kita selalu salah, tidak," tutur Ganjar.

3. Pengambilan air tanah juga sebabkan perubahan iklim

Ganjar Ungkap Ancaman Emisi Gas Rumah Kaca dari PLTUSejumlah pekerja pelabuhan mendorong motor mereka yang mogok saat menerobos banjir limpasan air laut ke daratan atau rob yang merendam kawasan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, Selasa, 24 Mei 2022. (ANTARA FOTO/Aji Styawan)

Selain dari hasil emisi GRK, Ganjar juga membahas perubahan iklim yang diakibatkan oleh penurunan muka tanah atau subsidensi tanah (land subsidence). Dia mengatakan, perlu ada ketegasan dari pemerintah daerah (Pemda) untuk melarang pengambilan air tanah demi mencegah subsidensi tanah tersebut. Namun, banyak tantangan yang akan dihadapi, seperti suap.

"Jangan izinkan! saya berkali-kali, jangan izinkan. Maka sering kali tata ruang musuhnya adalah tata uang, alasan investasi atau disuap. Maaf, ini saya bicara terbuka. Maka pada saat itu ketika kita tidak menata ruang dengan sangat baik, land subsidence akan terjadi," kata Ganjar.

Baca Juga: 8.517 Ton FABA PLTU Holtekamp Berhasil Dimanfaatkan Masyarakat Papua

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya