Ekspor Benur Dibuka, KIARA: Semua Mau Jadi Neyalan Tangkap Lobster

Ada perubahan sosial-budaya masyarakat pesisir

Jakarta, IDN Times- Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menilai Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan 12/2020 yang mengizinkan ekspor benih lobster atau benur, berbahaya bagi tatanan sosial-budaya di pesisir laut.

Alasannya, banyak nelayan yang sebelumnya menangkap ikan lebih memilih untuk menjadi nelayan tangkap benur. Ada pula petani yang tidak memiliki latar belakang melaut beralih profesi menjadi nelayan tangkap benur.

“Permen KKP 12/2020 ini memberikan dampak luar biasa. Menariknya, negara ini menerbitkan izin nelayan untuk menangkap benur. Yang terjadi di Lombok, ada kuota berapa ratus ini KTP-nya dikumpulin sama KKP kemudian diurus izinnya (untuk jadi nelayan tangkap benur),” kata Susan kepada IDN Times, Minggu (19/7/2020).

Baca Juga: Panen Kritikan Ekspor Benih Lobster, Edhy: Saya Tidak Antikritik

1. Verifikasi dinilai dilakukan secara sembarangan

Ekspor Benur Dibuka, KIARA: Semua Mau Jadi Neyalan Tangkap LobsterKKP melepasliarkan 95.610 benih lobster (Dok. KKP)

Menurut Susan, KKP tidak melakukan verifikasi dengan ketat. Hal ini berbahaya karena nelayan yang sejak awal berkecimpung di dunia lobster, bisa saja tidak mendapatkan kuota.

“Yang kami amati, ada orang dari gunung yang dulunya berkebun, karena melihat lobster sebagai peluang baru, maka mereka alih profesi jadi nelayan tangkap benur,” sambung dia.

Lebih jauh, peraturan ini membuka peluang untuk mengeksploitasi benur di alam. Ketika benur nantinya langka di laut, maka hal itu mengancam keseimbangan ekosistem.

“Nelayan takut kalau ada eksploitasi besar-besaran, kalau itu terjadi nanti ada rantai makanan yang hilang. KKP hanya mengatakan kalau ada sumber daya yang bisa dieksploitasi tapi tidak mempertimbangkan rantai makanan di situ. Ini belum termasuk dampak ekologi dari penangkapan ya,” tutur dia.

2. KIARA yakin akan banyak peraturan yang diterabas

Ekspor Benur Dibuka, KIARA: Semua Mau Jadi Neyalan Tangkap LobsterKKP melepasliarkan 95.610 benih lobster (Dok. KKP)

Dalam Permen yang dikeluarkan pada 5 Mei 2020 itu, diterangkan bahwa eksportir benur mendapat pengawasan ketat dari tahapan penangkapan benih hingga pelepasliaran (restocking) ke alam. Kendati terkesan ideal, Susan pesimis bila pengawasan bisa berjalan sesuai aturan yang berlaku.

Ungkapan itu didasari atas minimnya penyuluh perikanan di daerah. Dia mencontohkan Jarowaru di Lombok, Nusa Tenggara Barat yang hanya memiliki dua penyuluh, padahal di daerah tersebut ada lebih dari 50 pembudi daya lobster.  

Selain itu, Susan juga mengkritisi Pasal 5 yang mewajibkan eksportir harus melakukan siklus panen minimal satu kali supaya bisa mendapat kuota ekspor. Jika hal itu dijalankan, maka ekspor benur harusnya baru berjalan delapan bulan hingga satu tahun mendatang, sesuai masa tumbuh lobster.

Untuk diketahui, sudah ada beberapa perusahaan yang tercatat telah melakukan ekspor benur ke Vietnam, yaitu PT Aquatic SS Lautan, PT Tania Asia Marina, dan PT Royal Samudra Nusantara.

“Coba dari 31 diizinkan KKP, apa ada dari mereka yang budi daya? itu kan masih ghoib? Bahkan, KKP mengatakan, 25 persennya adalah perusahaan baru. Artinya, dia belum pernah melakukan budi daya,” tambahnya.

3. Harga yang ditetapkan terlalu kecil bagi nelayan

Ekspor Benur Dibuka, KIARA: Semua Mau Jadi Neyalan Tangkap LobsterIDN Times/ Muchammad

Adapun aturan turunannya, eksportir atau pembudi daya wajib membeli lobster dengan harga minimal Rp5.000 dari nelayan tangkap. Bagi Susan, angka itu terlalu merugikan nelayan. Dia juga menyoroti relasi kuasa antara nelayan tangkap dan pembudi daya atau eksportir.

“Dari Rp5.000 kemudian dijual (diekspor) dengan harga Rp25 ribu hingga Rp35 ribu. Terlepas dari ada gap angka yang cukup tinggi, konteksnya itu adalah relasi antara buruh dengan penguasaha. Kecuali kalau nelayan ini didorong untuk melakukan budi daya dengan mekanisme koperasi,” jelasnya.

Pada akhirnya, Susan menyebut Permen KKP 12/2020 ini hanya menguntungkan segelintir pihak. Terlebih, pihak-pihak yang satu partai dengan Menteri KKP Edhy Prabowo.

“Permen ini adalah putaran kolusi yang ujungnya kepentingan politik. Gak bisa Edhy bilang kalau ada tiga orang temannya itu yang kebetulan. Gak ada kata kebetulan dalam mengeluarkan kebijakan,” tutur dia.

4. Edhy bantah Permen dibuat untuk menguntungkan pengusaha Gerindra

Ekspor Benur Dibuka, KIARA: Semua Mau Jadi Neyalan Tangkap LobsterIDN Times/ Muchammad

Sebagaimana diketahui, laporan Majalah Tempo mengungkap ada sejumlah politisi Partai Gerindra yang mendapat kuota ekspor benur, di antaranya adalah Rahayu Saraswati dan Hashim Djojohadikusumo.

Ketika rapat Komisi IV DPR RI, Menteri KKP Edhy Prabowo membantah bahwa peraturan yang dia keluarkan menguntungkan rekan-rekannya. Sekalipun ada pengusaha dari Gerindra, Edhy menjamin jumlahnya tidak signifikan.

“Kalau ada yang menilai ada orang Gerindra, kebetulan saya orang Gerindra, tidak masalah, saya siap dikritik. Tapi coba hitung berapa yang diizinkan, mungkin tidak lebih dari 5 orang. Yang memutuskan juga bukan saya, tim. Surat pemberian izin itu tidak dari menteri, tapi dari tim,” kata Edhy, Senin 6 Juli 2020.

Baca Juga: Menteri KKP: Udang Vaname Lampung Diminati Pasar Dunia

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Rochmanudin
  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya