New Normal: Sengkarut Kelas Menengah vs Kelas Bawah

Kelas bawah mendesak new normal diterapkan sesegera mungkin

Jakarta, IDN Times - Di tengah pandemik COVID-19 yang belum pasti kapan berakhir, pemerintah mulai menerapkan new normal atau kenormalan baru--atau biasa disingkat sebagai normal baru. Ini dilakukan agar roda ekonomi kembali berjalan. Kegiatan industri, pusat perbelanjaan, dan aktivitas di luar ruangan mulai dibuka kembali, secara bertahap, dengan memperhatikan protokol kesehatan.

Untuk keluar rumah, masyarakat diharuskan memakai masker, membawa hand sanitizer, membiaskan cuci tangan, hingga jaga jarak. Menurut Tim Pakar Gugus Tugas COVID-19, Wiku Adisasmito, kedisiplinan terhadap protokol kesehatan adalah kunci untuk mencegah gelombang kedua virus corona di masa transisi normal baru.  

“Apakah akan ada second wave? Pasti, jika kita tidak disiplin. Virus ini sangat berbahaya, tapi simple menanganinya, yakni jika protocol kesehatan dijalankan, maka tidak ada tempat bagi virus ini menginfeksi manusia,” kata Wiku kepada IDN Times, Rabu (24/6).

Pemerintah bisa saja meyakinkan publik untuk tidak khawatir dengan normal baru. Tapi, hasil survei Indikator Politik Indonesia yang diselenggarakan pada 16-18 Mei 2020 menunjukkan bahwa 50,6 persen responden sepakat bila pembatasan sosial berskala besar (PSBB) terus diperpanjang hingga COVID-19 bisa diatasi. Ketika ditanya apakah kesehatan atau ekonomi yang lebih diprioritaskan, mayoritas 60,7 persen responden mendesak pemerintah agar fokus kepada perkara kesehatan.

Sebaliknya, jajak pendapat yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 18-20 Juni 2020 justru menggambarkan bahwa masyarakat sudah siap berdamai dengan corona. Dari 81 persen responden yang mengetahui soal normal baru, ternyata 79 persen mendukung supaya normal baru diberlakukan saat ini.

Hanya 14 persen (sekitar 11 persen dari populasi) yang berharap normal baru ditunda. Mayoritas 58 persen dari mereka mengatakan, normal baru sebaiknya ditunda hingga kasus positif COVID-19 menurun. Disusul 13 persen responden yang ingin normal baru ditunda hingga 1 bulan ke depan, 9 persen (3 bulan ke depan), 6 persen (2 bulan ke depan), 4 persen (beberapa minggu lagi), 2 persen (lebih dari 3 bulan), 2 persen (seminggu lagi).

“Mayoritas, 80 persen setuju dengan pemerintah memulai kebijakan transisi menuju kehidupan normal baru walau kasus penularan COVID-19 belum menurun. Kemudian, mayoritas 92 persen setuju dengan kebijakan pemerintah yang melonggarkan aturan bekerja di luar rumah, tentu dengan protocol kesehatan,” kata Direktur Komunikasi SMRC, Ade Armando, dalam rilis survei yang berlangsung pada Kamis (25/6).

1. Persepsi kelas menengah versus kelas bawah

New Normal: Sengkarut Kelas Menengah vs Kelas BawahIlustrasi pasar (IDN Times/Rochmanudin)

Terlepas dari perbedaan metodologi, periode, dan sampel survei, meski keduanya menunjukkan hasil yang berbeda, ada persamaan persepsi kelas menengah dan kelas bawah mengenai PSBB serta normal baru dalam dua survei tersebut yang perlu diamati.

Pada survei Indikator Politik Indonesia, dari 50,6 persen responden yang mendukung PSBB dilanjutkan, 59,7 persennya adalah responden dengan pendapatan Rp2 juta hingga Rp4 juta. Bagi responden yang berpenghasilan lebih dari Rp4 juta, sekitar 57,1 persen mendukung PSBB dilanjutkan.

Berdasarkan tingkat pendidikannya, mayoritas 67,5 persen pendukung PSBB dilanjutkan adalah responden yang kuliah. Disusul oleh 53,9 persen responden lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).

Selain itu, dari 60,7 persen responden yang mendesak pemerintah agar lebih fokus pada kesehatan, ternyata 69,5 persennya adalah responden yang berpenghasilan lebih dari Rp4 juta. Disusul oleh responden dengan penghasilan Rp2 juta hingga Rp4 juta mencapai 67,5 persen. Untuk tingkat pendidikannya, 80,4 persen responden yang kuliah berharap pemerintah lebih fokus pada penanganan kesehatan daripada ekonomi.

Komposisi demografi yang sama juga ditemukan pada SMRC. Responden yang mendukung normal baru diberlakukan saat ini berdasarkan tingkat pendidikannya adalah lulusan Sekolah Dasar (SD) sebesar 83 persen, Sekolah Tingkat Lanjutan Pertama (SLTP) sebesar 79 persen, SLTA sebesar 82 persen, dan Perguruan Tinggi sebesar 68 persen.

Berdasarkan pendapatannya, responden yang penghasilannya kurang dari Rp1 juta per bulan sebanyak 83 persen mendukung normal baru. Disusul oleh 82 persen responden yang berpenghasilan Rp1 juta hingga Rp2 juta rupiah, 78 persen responden dengan penghasilan Rp2 juta hingga Rp4 juta, dan 74 persen responden dengan penghasilan Rp4 juta.

“Warga dengan pendidikan dan pendapatan lebih rendah cenderung lebih banyak yang menilai kebijakan kehidupan normal baru sebaiknya diberlakukan saat ini,” tutur Ade.

Dia menambahkan, “warga dengan pekerjaan sebagai sopir/ojek (90 persen), pedagang kaki lima (85 persen), buruh (84 persen), dan yang berpenghasilan harian cenderung lebih banyak yang menilai normal baru diberlakukan saat ini.”

SMRC yang menjajaki pendapat dari 1.978 responden melalui telepon dengan tingkat kepercayaan 95 persen ini mengkonfirmasi bahwa mayoritas warga terdampak COVID-19. Secara garis besar, 71 persen responden mengatakan kondisi ekonomi tahun ini lebih buruk dari tahun lalu.

Baca Juga: Menkeu Beri Stimulus bagi Kelas Menengah, Voucher Makan dan Berwisata

2. Privilese kelas menengah

New Normal: Sengkarut Kelas Menengah vs Kelas Bawahfeb.ui.ac.id

Mantan Menteri Ekonomi RI Chatib Basri menjelaskan, temuan SMRC menunjukkan kelas menengah memiliki privilese dibanding kelas bawah di tengah situasi pandemik. Dia bahkan berkelakar menjadi pengangguran ketika negara memaksa kita untuk berdiam diri di rumah adalah “berang mewah”.

“Karena hanya orang kaya yang bisa nganggur. Kalau mereka yang miskin pasti akan kerja. Mereka yang tidak memiliki kemewahan itu akan mengambil pekerjaan apapun,” kata dia dalam webinar bersamaan rilis survei SMRC.

Lelaki yang karib disapa Dede ini memaparkan, kelas menengah cenderung memiliki tabungan hasil pendapatan bulanan yang mereka terima. Sementara, kelas bawah tidak memiliki tabungan karena mereka dibayar harian, sehingga berdiam diri di rumah berarti tidak memiliki uang untuk membeli makanan.

Permasalahannya, Indonesia kurang mampu memberikan jaminan sosial yang menyeluruh supaya “memaksa” warga kelas bawah untuk berdiam diri di rumah. Hal seperti juga terjadi di Brasil, Meksiko, dan India, yaitu negara dengan jumlah penduduk besar namun jaminan sosial yang lemah.

Dosen ekonomi Universitas Indonesia (UI) itu membandingkan dengan Swedia, yang tanpa karantina wilayah (lockdown) tapi warganya bisa untuk tetap di rumah menghindari kerumunan.

“PSBB dan lockdown hanya akan efektif kalau negara mampu kasih social protection. Itulah kenapa di Swedia gak ada lockdown tapi penduduk tinggal di rumah, karena jaminan sosial di negara itu sangat baik. Ketika orang tinggal di rumah diminta oleh pemerintah, implikasinya orang harus dibayar. Kalau tidak, orangnya gak akan bisa dikontrol,” kata dia.

Dede menambahkan, “karena mayoritas di Indonesia adalah kelas informal, maka secara logika tinggal di rumah lebih mahal, karena itu kelompok menengah ke bawah memilih bekerja. Mereka (kelas menengah) punya tabungan jadi agak bisa diperpanjang (PSBB), tapi mereka (kelas bawah) gak punya tabungan, maka mereka gak punya pilihan menunda new normal.”

3. Menjaga daya beli calon kelas menengah

New Normal: Sengkarut Kelas Menengah vs Kelas BawahIlustrasi Mall (IDN Times/Zulkifli Nurdin)

Temuan SMRC lainnya adalah optimisme warga mengenai keadaan nasional setahun ke depan. Secara angka, memang hanya 34 persen responden yang melihat ekonomi tahun depan cenderung membaik dibandingkan tahun ini. Catatan lainnya, 27,1 persen berpendapat akan lebih buruk dan 20 persen lainnya mengatakan tidak ada perubahan. Hal yang menarik adalah optimisme bulan ini lebih baik dari Mei lalu, yaitu 27 persen.

Optimisme warga untuk keadaan ekonomi rumah tangga juga mencatatkan temuan positif. Ada sekitar 44 responden yang berpendapat ekonomi rumah tangga tahun depan akan lebih baik dari tahun ini. Sementara, yang menilai lebih buruk dan jauh lebih buruk sekitar 23 persen. Tentunya angka optimisme bulan ini lebih baik dari bulan lalu, yaitu 29 persen.

“Warga secara umum memang masih kurang optimistis melihat kondisi rumah tangga dan nasional ke depan. Namun, dibanding temuan bulan lalu, optimisme warga sekarang dalam melihat kondisi ekonomi ke depan terlihat sedikit menguat,” terang Ade, yang juga dosen komunikasi UI.

Menurut Dede, optimisme terhadap kondisi ekonomi mendatang merupakan respons positif masyarakat terhadap skema normal baru yang telah dipersiapkan pemerintah. Namun, dia mengingatkan bila permasalahan sesungguhnya dari pandemik ini baru terlihat pada awal 2021 nanti.

Salah satu kunci supaya optimisme masyarakat bisa terwujud tahun depan adalah pemerintah harus menjaga daya beli kelas menengah. Jika tidak, skema bantuan yang diberikan kepada pelaku usaha di masa pandemik ini bisa jadi sia-sia.

“Sekarang yang UKM kreditnya bisa dikasih bantuan. Setelah enam bulan baru tahu, itu balik gak uangnya, bisa jalan gak bisnisnya. Kalau sekarang masih bisa diperpanjang sama pemerintah kreditnya. Tapi nanti Maret (2021) dia betul-betul harus bayar. Dalam kondisi ini, gak bisa dukungannya penurunan bunga. Kenapa? Karena permintaan kredit drop,” terang dia.

Dia melanjutkan, “kenapa orang gak minta kredit? Karena orang gak ada yang beli barangnya. Ngapain minta kredit baru kalau gak bisa produksi karena gak ada permintaan. Jadi yang pertama kali di-induce adalah permintaannya dulu, kalau permintaan gak ada, maka dunia usaha gak akan expand.”

Pada titik inilah Dede menyarankan supaya pemerintah memberikan perluasan terhadap bantuan langsung tunai (BLT) bagi kelas menengah. Artinya, kebijakan fiskal juga harus menjangkau kelas menengah. Bila tidak diimpelementasikan, Dede khawatir situasi Indonesia seperti Tiongkok hari ini.

“Masalahnya BLT pemerintah adalah untuk kelompok miskin, padahal yang diminta tinggal di rumah bukan hanya yang miskin, makannya butuh perluasan kepada lower-middle income. Yang terjadi di Tiongkok, new normal, produksi balik, tapi barangnya gak ada yang beli karena orang gak ada yang, akhirnya bisnis gak kembali,” papar dia.

Menjaga daya beli, sambung Dede, bermanfaat supaya masyarakat tidak hanya membeli kebutuhan pokok. Ungkapan itu juga ia pakai untuk menjelaskan kenapa pasar lebih ramai daripada mal di tengah normal baru. Selain pasar didominasi oleh kelas bawah yang penghasilannya harian, pasar juga menjadi tempat di mana kebutuhan pokok setiap masyarakat tersedia.

“Orang ke mal bukan untuk primary good, mereka datang untuk hiburan. Yang saya khawatir dari mal adalah yang datang gak banyak tapi cost-nya (untuk mal) besar. Karena mereka gak punya uang untuk beli, akhirnya gak berapa lama dia (mal) dengan sendirinya akan tutup lagi,” terang dia.

Pertanyaannya adalah apakah harus seluruh kelas menengah yang mendapat bantuan fiskal dari pemerintah? Menurutnya, BLT harus diprioritaskan kepada apa yang disebut oleh World Bank sebagai aspiring middle class (calon kelas menengah).

Mereka adalah kelompok masyarakat yang beranjak dari kelas bawah menuju kelas menengah. Biasanya berpenghasilan Rp3 juta hingga Rp4 juta per bulan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan RI, jumlah aspiring middle class mencapai 120 juta penduduk.

Menteri Ekonomi Sri Mulyani juga mengakui bahwa kelas masyarakat inilah yang secara garis besar menentukan supply and demand di pasar.  

“Kelas menengah sangat suka gaya hidup yang  experience, mencari makanan yang sehat, minuman yang sehat, ini menimbulkan market. Dengan lifestyle seperti itu membentuk market yang luar biasa, kalau ada demand maka supply merespon,” jelasnya sebagaimana dikutip dari laman kemenkeu.go.id.

Menurut Dede, pemerintah setidaknya harus mengalokasikan anggaran sekitar Rp90 hingga Rp120 triliun supaya kelas menengah, terkhusus aspiring middle class, bisa menjaga daya belinya. Sekalipun mereka tidak belanja di mal, selama mereka memiliki uang, maka mereka masih bisa belanja melalui berbagai platform digital.

“Idealnya pemerintah bisa kasih uang kepada universal basic income, tapi tidak mungkin pemerintah melakukan itu. Yang bisa dilakukan adalah memberikan bantuan kepada aspiring middle class,” tutur Dede.

Di situs Kemenkeu, Dede juga memberikan perhatian lebih kepada kelompok ini dengan menyebutnya sebagai agent of change.  

“Yang mendorong perekonomian itu adalah permintaan. Kelas menengah itu sebagai profesional complainer, Tidak ada yang lebih hebat dari kelas menengah kalau complain. Ini sebetulnya bagus, untuk membuat Ibu Sri Mulyani kerja lebih keras. Kelas menengah akan menjadi agent of change karena dia akan memaksa pemerintah untuk bekerja lebih baik lagi,” kata dia.

New Normal: Sengkarut Kelas Menengah vs Kelas BawahIDN Times/Arief Rahmat

Baca Juga: Chatib Basri: Kelas Menengah Juga Perlu Dapat Bansos

4. Wacana bantuan fiskal yang disiapkan pemerintah

New Normal: Sengkarut Kelas Menengah vs Kelas BawahIlustrasi insentif (IDN Times/Arief Rahmat)

Wacana untuk memberikan bantuan fiskal kepada kelas menengah juga tengah dipersiapkan pemerintah. Berdasarkan penuturan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu, rencananya bantuan tersebut akan disalurkan pada kuartal III dan IV tahun ini. 

"Ke depan, mulai memikirkan untuk perluasan stimulus konsumsi kelas menengah, terutama akan sangat diperlukan kalau kuartal III akan ada pergerakan ekonomi, apalagi di kuartal IV," kata Febrio dalam video conference, Rabu (13/5).

Bantan akan disalurkan melalui berbagai sektor. Untuk sektor pariwisata dan konsumsi, alokasi bantuannya mencapai Rp30,1 triliun. Di sektor pariwisata, ada diskon tiket pesawat ke sejumlah destinasi wisata serta insentif pajak hotel/restoran sebesar Rp3,8 triliun.

Bakal sektor perumahan, pemerintah akan memberikan bunga dan bantuan uang untuk MBR senilai Rp1,3 triliun. Terakhir, stimulus untuk penguatan aggregate demand di sektor pariwisata juga diberikan dalam bentuk voucher makanan online senilai Rp25 trilin.

“Kalau kuartal III nanti sudah gak sabar jalan-jalan, nanti sudah ada niat jalan-jalan, akan dibuat stimulus pariwisata, restoran, dan transportasi. Mudah-mudahan terlihat di kuartal III dan IV untuk mendorong konsumsi,” terang Febrio.

Baca Juga: Meningkatkan Daya Beli Rakyat Gak Cukup Diskon, Tapi Juga Perlu Bansos

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Anata Siregar
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya