Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kesalahan Berpikir yang Buat Kamu Bisa Rungkad di Dunia Investasi

ilustrasi bangkrut (pexels.com/robertbogdan)
ilustrasi bangkrut (pexels.com/robertbogdan)
Intinya sih...
  • Menaruh semua uang di aset yang punya risiko tinggi, seperti saham gorengan atau cryptocurrency yang volatil, bisa membuat investor rungkad karena pasar sangat dinamis.
  • Membeli di harga puncak berisiko besar mengalami kerugian saat harga terkoreksi, sebaiknya masuk ketika harga sedang murah atau undervalued.
  • Membeli aset digital dengan berutang atau menggunakan margin beresiko untuk berinvestasi dapat membuat investor rungkad karena tidak mampu menanggung kerugian.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Investasi adalah cara terbaik untuk mencapai kebebasan finansial. Tapi apa jadinya jika keinginan untuk meraih kebahagiaan dalam segi keuangan akhirnya berujung dengan penderitaan karena kamu mengalami rungkad atau hancur (bangkrut).

Banyak investor pemula yang terjebak pada pola pikir keliru, baik karena dorongan emosi maupun karena ingin cepat mendapatkan keuntungan. Padahal, investasi memerlukan strategi matang, disiplin, dan kesabaran.

Beberapa kesalahan umum dalam berpikir bisa membuat seseorang kehilangan modal dalam waktu singkat, mulai dari menaruh semua dana di aset berisiko, hingga berutang demi membeli instrumen tertentu. Kesalahan-kesalahan ini sebaiknya dipahami sejak awal agar perjalanan investasi tetap sehat.

Berikut lima kesalahan berpikir yang paling sering terjadi dan patut dihindari saat berinvestasi!

1. Menaruh semua uang di aset yang punya risiko tinggi

ilustrasi berinvestasi (freepik.com/wirestock
ilustrasi berinvestasi (freepik.com/wirestock

Salah satu kesalahan fatal adalah menaruh seluruh modal di satu jenis aset berisiko, seperti saham gorengan atau cryptocurrency yang volatil. Pola pikir all in muncul karena rasa percaya diri berlebihan atau keyakinan harga akan terus naik. Namun kenyataannya, pasar sangat dinamis dan tidak ada yang bisa menjamin keuntungan dalam jangka pendek.

Diversifikasi adalah kunci untuk mengurangi risiko. Dengan menempatkan dana di berbagai instrumen, seperti obligasi, reksa dana, emas, dan saham, potensi kerugian bisa ditekan. Kesalahan all in sering membuat investor rungkad karena ketika harga jatuh, tidak ada cadangan lain yang bisa menyelamatkan portofolio.

2. Membeli di harga puncak

ilustrasi berinvestasi (freepik.com/wirestock
ilustrasi berinvestasi (freepik.com/wirestock

Banyak orang merasa ketinggalan ketika melihat aset tertentu sedang naik pesat, sehingga buru-buru membeli di harga puncak. Fenomena ini sering disebut FOMO atau Fear of Missing Out yang biasanya dipicu oleh tren media sosial atau cerita keuntungan dari orang lain. Sayangnya, membeli ketika harga sudah melambung tinggi berisiko besar mengalami kerugian saat harga terkoreksi.

Pola pikir seperti ini harus diubah menjadi strategi berbasis analisis. Investor bijak lebih baik masuk ketika harga sedang murah atau undervalued, bukan ketika pasar sudah euforia. Mengandalkan emosi dan ketakutan tertinggal justru menjebak dalam kerugian yang sulit dipulihkan.

3. Membeli aset digital dengan berutang

ilustrasi cryptocurrency (pexels.com/cryptocrow)
ilustrasi cryptocurrency (pexels.com/cryptocrow)

Menggunakan utang demi membeli aset digital adalah kesalahan serius. Beberapa orang berpikir harga kripto akan terus naik sehingga keuntungan bisa menutupi bunga pinjaman. Padahal, volatilitas kripto sangat tinggi, dan harga bisa turun drastis hanya dalam hitungan jam. Jika hal itu terjadi, beban cicilan tetap harus dibayar meski investasi merugi.

Berutang untuk investasi sebaiknya dihindari, apalagi pada instrumen berisiko tinggi. Prinsip yang sehat adalah menggunakan dana dingin, yaitu uang yang memang siap dialokasikan untuk investasi tanpa mengganggu kebutuhan pokok. Dengan begitu, tekanan mental dan finansial bisa diminimalkan.

4. Menggunakan margin beresiko untuk berinvestasi

ilustrasi terjerat utang (pixabay.com/Hasan)
ilustrasi terjerat utang (pixabay.com/Hasan)

Margin trading memungkinkan investor membeli aset lebih banyak daripada modal yang dimiliki, dengan meminjam dari broker. Sekilas, cara ini terlihat menguntungkan karena potensi profit berlipat ganda. Namun, risikonya jauh lebih besar karena jika harga bergerak berlawanan, kerugian juga bisa berlipat.

Banyak investor yang akhirnya rungkad karena tidak mampu menanggung kerugian dari margin call. Bahkan modal awal bisa habis dalam waktu singkat. Menggunakan margin sebaiknya hanya dilakukan oleh trader berpengalaman dengan strategi matang, bukan oleh pemula yang masih belajar.

5. Mengabaikan rencana jangka panjang

ilustrasi berinvestasi (freepik.com/wirestock
ilustrasi berinvestasi (freepik.com/wirestock

Kesalahan berpikir lain yang sering terjadi adalah fokus pada keuntungan instan tanpa memperhatikan tujuan jangka panjang. Banyak yang ingin cepat kaya dalam sekejap, sehingga melupakan prinsip dasar investasi seperti compound interest atau pertumbuhan stabil. Akibatnya, keputusan yang diambil lebih bersifat spekulatif dibanding rasional.

Investasi seharusnya diarahkan pada pencapaian keuangan masa depan, misalnya dana pensiun, pendidikan, atau pembelian rumah. Dengan memiliki rencana jangka panjang, setiap langkah bisa lebih terukur dan risiko kerugian bisa ditekan. Tanpa perencanaan, investasi mudah berubah menjadi perjudian.

Kesalahan berpikir dalam investasi sering kali lebih berbahaya daripada kerugian pasar itu sendiri. Rasa serakah, takut ketinggalan, atau ingin cepat kaya menjadi pemicu utama keputusan yang merugikan. Mulai dari all in di aset berisiko, membeli di harga tinggi, berutang untuk kripto, hingga menggunakan margin tanpa persiapan adalah jebakan yang perlu dihindari.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us