Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi menerima gaji (pexels.com/Defrino Maasy)

Intinya sih...

  • Pengeluaran harus disusun berdasarkan skala prioritas

  • Pola menabung harus konsisten meski jumlahnya kecil

  • Gaya hidup harus disesuaikan dengan kapasitas finansial

Banyak orang mengira bahwa investasi hanya bisa dilakukan jika memiliki penghasilan besar, sementara yang bergaji UMR sering kali merasa harus memilih antara kebutuhan pokok atau menabung. Padahal, dengan strategi yang tepat, gaji UMR pun tetap bisa dialokasikan untuk kebutuhan jangka pendek dan panjang. Termasuk di dalamnya dana darurat, yang sebenarnya bukan hanya untuk mereka yang berpenghasilan tinggi, melainkan penting bagi siapa pun yang ingin punya pegangan saat situasi tidak terduga datang.

Investasi dan dana darurat bukan soal besar kecilnya pemasukan, melainkan soal pengelolaan. Bukan berarti semua orang harus memaksa diri hidup irit tanpa menikmati hidup, tapi lebih pada cara menyiasati arus kas agar tetap punya ruang bernapas. Gaji UMR yang saat ini rata-rata berkisar antara 2 hingga 5 juta rupiah per bulan di berbagai kota di Indonesia, tentu menantang jika digunakan untuk membangun dua hal sekaligus. Namun bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Berikut beberapa pendekatan yang bisa dipertimbangkan agar gaji UMR bisa investasi dan punya dana darurat secara realistis.

1. Pengeluaran harus disusun berdasarkan skala prioritas

ilustrasi pengeluaran (pexels.com/Ahsanjaya)

Langkah paling awal dan krusial adalah menata ulang pos pengeluaran berdasarkan kebutuhan yang benar-benar penting. Prioritaskan biaya hidup esensial seperti makan, transportasi, dan tempat tinggal, baru setelah itu sisihkan untuk dana darurat dan investasi. Hindari pengeluaran yang tidak mendesak meski tampak kecil, karena dalam jangka panjang pengeluaran seperti itu justru menggerus stabilitas keuanganmu.

Dengan membiasakan membuat rencana pengeluaran bulanan, kamu jadi bisa melihat pola konsumsi dan mencari celah yang bisa ditekan. Contohnya, jika pengeluaran makan di luar cukup besar, kamu bisa mulai membawa bekal. Penghematan dari pos itu bisa dialokasikan untuk dana darurat. Kuncinya bukan memangkas segalanya secara ekstrem, tapi menyusun ulang berdasarkan urgensi dan dampaknya terhadap kestabilan keuangan.

2. Pola menabung harus konsisten meski jumlahnya kecil

ilustrasi menabung (pexels.com/Joslyn Pickens)

Banyak orang merasa menabung hanya efektif jika bisa menyisihkan nominal besar. Padahal, konsistensi lebih penting dibanding jumlah. Jika kamu bisa rutin menyisihkan Rp20 ribu setiap hari kerja, maka dalam sebulan sudah terkumpul sekitar Rp400 ribu. Itu sudah cukup signifikan untuk mulai membangun dana darurat.

Dana darurat idealnya setara 3 hingga 6 kali pengeluaran bulanan. Dengan target itu, menabung sedikit demi sedikit bisa jadi lebih realistis dibanding menunggu ada sisa uang besar. Pilih media simpan yang tidak mudah diakses agar kamu tidak tergoda menggunakannya untuk hal yang sebenarnya tidak mendesak. Poin utamanya bukan besarannya, tapi rutinitasnya.

3. Gaya hidup harus disesuaikan dengan kapasitas finansial

ilustrasi gaya hidup (pexels.com/Alexandra Maria)

Salah satu penyebab sulitnya menabung dan berinvestasi adalah gaya hidup yang melebihi kemampuan finansial. Ini bukan berarti kamu tidak boleh menikmati hidup, tapi penting untuk menyesuaikan gaya hidup agar tidak memaksakan diri. Misalnya, jika nongkrong tiap akhir pekan membuat pengeluaran membengkak, kamu bisa memilih untuk bertemu teman sebulan sekali atau mencari opsi hiburan yang lebih hemat.

Menjalani hidup sesuai kemampuan bisa membantu menjaga stabilitas jangka panjang. Bandingkan dengan terus-menerus merasa harus ikut tren demi terlihat sejalan dengan lingkungan sosial, padahal kondisi finansial belum memungkinkan. Dengan menyadari batas kemampuan, kamu jadi lebih tenang dalam menyusun prioritas dan membentuk kebiasaan keuangan yang sehat.

4. Investasi harus disesuaikan dengan profil risiko dan modal awal

ilustrasi investasi (pexels.com/Liza Summer)

Investasi tidak harus dimulai dengan nominal besar. Beberapa instrumen seperti reksa dana atau emas digital bisa dimulai dari Rp10 ribu. Yang terpenting adalah memahami profil risiko dan memilih instrumen sesuai dengan kondisi keuangan. Jika kamu belum punya dana darurat, jangan langsung memilih investasi dengan risiko tinggi, karena saat butuh dana mendesak, kamu bisa rugi besar.

Memulai investasi dari skala kecil membantu membangun pemahaman sambil tetap melindungi kestabilan pengeluaran harian. Setelah dana darurat terkumpul dan arus kas mulai stabil, barulah kamu bisa mempertimbangkan instrumen dengan potensi imbal hasil lebih tinggi. Proses ini perlu waktu, tapi lebih aman ketimbang terburu-buru mengambil keputusan hanya karena ikut-ikutan tren.

5. Informasi keuangan harus diakses dari sumber yang kredibel

ilustrasi uang (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Salah satu kendala yang sering dihadapi oleh pekerja bergaji UMR adalah kurangnya akses atau pemahaman soal literasi keuangan. Banyak yang akhirnya mengambil keputusan hanya berdasarkan saran teman atau konten media sosial tanpa verifikasi. Padahal, strategi keuangan seharusnya disesuaikan dengan kondisi pribadi, bukan berdasarkan standar orang lain.

Mulailah dengan mengikuti kanal edukasi finansial yang dikelola oleh institusi terpercaya. Ikut webinar gratis, baca buku, atau dengarkan podcast seputar pengelolaan uang. Dengan informasi yang akurat, kamu bisa menyusun langkah yang lebih masuk akal, terukur, dan sesuai dengan situasi kamu sendiri. Literasi keuangan adalah pondasi untuk membuat keputusan yang lebih cerdas, bukan sekadar ikut arus.

Menjalani hidup dengan gaji UMR memang penuh tantangan, tetapi bukan berarti tidak bisa memiliki dana darurat maupun mulai berinvestasi. Dengan strategi yang sesuai kapasitas dan disiplin dalam pengelolaan, gaji UMR bisa investasi dan punya dana darurat, kok. Kuncinya adalah konsistensi, realistis terhadap kondisi, dan mau belajar agar keputusan keuangan yang diambil tidak merugikan diri sendiri di masa depan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team