Ilustrasi hacker (unsplash.com/@hackcapital)
Salah satu faktor yang menjadikan Indonesia sasaran empuk bagi serangan siber adalah pesatnya digitalisasi, terutama selama pandemik. Penetrasi pengguna internet tercatat sampai 67 persen populasi dengan penetrasi pengguna smartphone sebesar 60 persen.
Sebagai salah satu ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki 202 juta pengguna internet. RI berkontribusi sekitar 70 miliar dolar AS terhadap ekonomi digital nasional pada 2021, dengan 146 miliar dolar AS diproyeksikan pada 2025.
Percepatan digitalisasi itu tentu berpengaruh ke perbankan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lantas menerbitkan dua regulasi guna mendukung akselerasi digital sektor perbankan, yaitu POJK Nomor 12/POJK.03/2018 tentang Penyelenggaran Layanan Digital oleh Bank Umum dan POJK 38/POJK.03/2016 tentang Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum.
Dua regulasi itu kemudian yang menjadi acuan bagi perbankan di Indonesia untuk pelan-pelan melakukan transformasi secara digital. Namun, ekonom sekaligus peneliti Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Nailul Huda, menyebut pandemik COVID-19 telah mengakselerasi digitalisasi perbankan akibat permintaan yang begitu besar.
“Jadi, perbankan berlomba-lomba mengembangkan layanan digitalnya termasuk dalam hal keamanan sibernya,” ujar Huda kepada IDN Times, Minggu (25/6/2023).
Namun, menurut dia, pesatnya percepatan tersebut, belum diimbangi dengan sistem keamanan siber yang mumpuni. Huda mengatakan sejumlah bank belum siap 100 persen untuk menangkal serangan siber. Menurut pengamatannya, sistem keamanan siber perbankan di Indonesia masih cukup tertinggal.
“Jadi masih sering terjadi kebocoran data maupun pembobolan sistem perbankan.,” katanya.
Menurutnya, porsi besar alokasi belanja untuk IT masih diimplementasikan untuk infrastruktur layanan, belum ke sistem keamanan. "Terlebih untuk bank yang baru mengembangkan layanan digitalnya. Mereka akan fokus ke layanan digital tapi masih minim ke keamanan sibernya. Kecuali mereka kerja sama dengan pihak ketiga,” beber Huda.
Sejumlah bank punya bantahan tersendiri atas asumsi tersebut.
PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) atau BSI yang baru saja kena serangan siber, mengaku meningkatkan anggaran untuk penguatan dari sisi teknologi informasi (TI) tahun ini. BSI menyiapkan belanja modal alias capital expenditure (capex) sebesar Rp580 miliar untuk meningkatkan layanan dan kualitas infrastruktur digital BSI.
"Terus terang ini dua kali lipat dari tahun sebelumnya. BSI berkomitmen memperkuat sistem digitalisasi dan keamanan data yang ditunjukkan dengan peningkatan alokasi belanja untuk IT dan digital tahun ini," kata Wakil Direktur Utama BSI, Bob Tyasika Ananta.
Sementara itu, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) atau BNI mengaku menyiapkan anggaran khusus untuk sektor teknologi informasi (TI) demi menjaga kepercayaan nasabah.
Dana itu diklaim mumpuni, dianggarkan dalam belanja modal (capex) pada 2022, yang tercatat 3 persen dari pendapatan kotor atau revenue. Anggaran TI dan digitalisasi itu termasuk untuk pengembangan kapasitas hardware maupun software.
"Kami menggunakan capex TI untuk pengembangan fitur-fitur yang relevan dengan kebutuhan layanan perbankan digital nasabah kami sebagai bank digital dengan keunggulan bisnis global," kata Corporate Secretary BNI, Mucharom.
Ada juga PT Bank Sinarmas Tbk (BSIM) yang telah menggelontorkan 35 juta dolar AS atau sekitar Rp522 miliar sebagai investasi yang sudah masuk dalam belanja modal atau capital expenditure (capex) selama tiga tahun.
"Investasi yang sudah kami keluarkan sudah termasuk untuk IT system juga ya. Untuk totalnya kurang lebih di angka 30 sampai dengan 35 juta dolar AS," kata Direktur Digital Banking Bank Sinarmas, Soejanto Soetjijo. Anggaran itu termasuk untuk peningkatan layanan digital hingga keamanan data nasabah.