Mengenal Pinjaman Nisbah Tinggi, dari Sejarah hingga Rumus Hitungnya

Salah satu contohnya adalah kredit pemilikan rumah

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan nasabah tinggi ialah pinjaman hipotek yang jumlahnya mendekati nilai barang yang digunakan yang nisbahnya dari 80 persen. Biasanya agunan yang bernisbah tinggi tersebut diasuransikan, misalnya pinjaman hipotek di Indonesia adalah pinjaman untuk kredit pemilikan rumah.

Pinjaman nisbah tinggi atau pinjaman rasio tinggi adalah pinjaman dengan nilai pinjaman yang nominalnya relatif tinggi dan sebagai jaminannya menggunakan properti. Pinjaman nisbah tinggi ini akan memberikan beban dengan suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan pinjaman yang nisbahnya rendah.

Berikut penjelasan tentang pinjaman nisbah tinggi, mulai dari sejarah hingga rumus perhitungannya di bawah ini. Simak sampai selesai agar paham, ya.

1. Sejarah pinjaman nisbah tinggi

Mengenal Pinjaman Nisbah Tinggi, dari Sejarah hingga Rumus HitungnyaIlustrasi menghitung uang (Shutterstock/Herwin Bahar)

Pada 1920-an, masyarakat membeli rumah dengan uang yang mereka kumpulkan hingga cukup untuk membeli rumah. Bukan dengan datang ke bank dan melakukan pinjaman.

Namun, kemudian hadirlah sebuah perusahaan yang memberikan pinjaman uang kepada masyarakat yang ingin membeli rumah, lalu meminta masyarakat untuk membayar pinjaman tersebut dengan cara mencicil selama periode tahun yang sudah ditentukan.

Walaupun demikian, pinjaman yang diberikan hanya setengah dari nilai rumah atau properti yang mereka jual. Sekitar akhir 1920, bank ikut memberikan pinjaman dengan rasio tinggi mencapai 80 persen dari nilai rumah yang ingin dibeli dan bermunculan asuransi hipotek swasta untuk melindungi bank.

Pada 1930, semua berakhir ketika masyarakat banyak menjadi pengangguran serta banyak bank dan perusahan yang bangkrut. Kemudian, kongres memberlakukan home owners loan corp yang menjamin setiap rasio dan hipotek pada pinjaman turun sampai 15 persen.

Administrasi Perumahan Federal (FHA) dan lembaga lainnya membuat uang muka jatuh hingga satu digit bahkan mencapai 0 persen untuk membuat kemajuan dalam kepemilikan rumah di masyarakat.

Hingga akhirnya pada 2007-2008, sistem pinjam nisbah tinggi berubah ketika krisis hipotek pada tahun 2008 terjadi. Pada tahun 2007 banyak kasus gagal bayar yang meningkat secara tajam dalam pinjaman nisbah tinggi yang tercatat sebagai resesi paling parah dalam beberapa dekade.

Hal ini terjadi karena pada pertengahan 2000-an banyak lembaga yang memberikan suku bunga rendah kepada peminjam untuk kepemilikan rumah, sehingga menyebabkan banyak debitur yang lalai dan memiliki kredit yang buruk. Menyebabkan gelembung real estat meledak, sehingga banyak sekali peminjam yang tidak bisa membayar hutang subprime mereka.

Baca Juga: Apa Itu Nisbah Laba terhadap Modal dan Cara Perhitungannya 

2. Tentang pinjaman nisbah tinggi

Mengenal Pinjaman Nisbah Tinggi, dari Sejarah hingga Rumus Hitungnyailustrasi angsuran rumah (pexels.com/RODNAE Productions)

Seperti yang sudah disebutkan di atas, umumnya pinjaman dengan nilai rasio terhadap pinjaman atau LTV yang tingginya melebihi 80 persen akan termasuk pinjaman nisbah tinggi.

Jaminan yang diberikan kepada pinjaman nisbah tinggi dilihat dari persentase jumlah pinjaman terhadap nilai properti yang akan dibeli. Pinjaman nisbah tinggi sering dikaitkan dengan pinjaman hipotek.

Karena rasio pinjaman melebihi 80 persen, maka pihak yang memberikan pinjaman tersebut meminta kompensasi dengan membayarkan bunga yang lebih tinggi, apalagi ketika nilai kredit peminjam rendah. Salah satu hal yang menyebabkan ini terjadi karena tingkat resiko yang lebih tinggi dibandingkan pinjaman konvensional.

Pinjaman nisbah tinggi biasanya diberikan kepada kredit pemilikan rumah. Para peminjam yang tidak sanggup membayar uang muka dengan jumlah yang besar, yang umumnya dipatok 20 persen dari nilai properti, maka mereka harus meminjam pinjaman dengan rasio tinggi yaitu diatas 80 persen rasio LTV-nya.

3. Batasan dan pentingnya pinjaman nisbah tinggi

Mengenal Pinjaman Nisbah Tinggi, dari Sejarah hingga Rumus HitungnyaIlustrasi nasabah berdiskusi tentang asuransi (Shutterstock/PR Image Factory)

Bank memiliki hak untuk menolak dalam meminjamkan uang kepada para nasabah yang nilainya tidak layak dalam kategori standar bank tersebut. Rasio LTV yang lebih tinggi dapat membuat uang muka terhadap pemilikan rumah lebih rendah, sehingga meningkatkan rasio peminjam jauh lebih tinggi dari sebelumnya.

Bank juga berhak untuk meminta tingkat bunga yang lebih tinggi dari bunga dipasar karena pinjaman yang mereka berikan merupakan pinjaman nisbah tinggi.

Secara teoritis pinjaman nisbah tinggi memiliki rasio LTV tertinggi hingga 100 persen. Dengan hal ini, maka peminjam sama sekali tidak memberikan uang muka, dana yang diberikan untuk membeli properti merupakan uang dari pinjaman nisbah tinggi tersebut.

Namun, dalam praktiknya hal tersebut jarang terjadi karena resiko yang dihadapkan peminjam sangat tinggi. Banyak lembaga yang tidak menawarkan hipotek dengan rasio LTV tinggi, setiap lembaga menentukan batas atas yang berbeda dari setiap program hipotek yang mereka terapkan.

Persyaratan dan batasan akan ditambahkan untuk mengurangi resiko yang tinggi kepada para pemberi pinjaman. Adapun pinjaman nisbah tinggi diberlakukan karena pentingnya menanggulangi tingkat risiko tinggi terhadap pinjaman. 

Ketika peminjam lalai pada pinjamannya, bank harus menjual properti tersebut untuk cukup membayar kembali pinjaman. Pemberi pinjaman pun perlu membeli asuransi hipotek untuk melindungi pinjamannya.

Baca Juga: Mengenal Nisbah Jumlah Modal untuk Perusahaan 

4. Rumus pinjaman nisbah tinggi

Mengenal Pinjaman Nisbah Tinggi, dari Sejarah hingga Rumus Hitungnyailustrasi deviasi (Pexels/RODNAE Productions)

Rumus untuk menghitung pinjaman nisbah tinggi ini menggunakan Loan to Value (LTV). Walaupun sebenarnya tidak ada formula tertentu untuk menghitungnya.

Para pemberi pinjaman wajib terlebih dahulu menghitung  rasio pinjaman kepada nilai dan situasi peminjam apakah dapat mendapatkan pinjaman melebihi rasio LTV 80 persen.

Rumusnya sebagai berikut:

Rasio LTV = Jumlah Hiptek / Nilai Properti yang dinilai

Cara menghitungnya adalah rasio LTV dihitung dengan membagi jumlah yang nantinya akan dipinjam dengan nilai properti yang akan dibelinya. Lipat gandakan hasilnya dengan 100 untuk membuat persentase.

Jika nilai pinjaman setelah uang muka anda melebihi 80 persen dari LTV, maka pinjaman tersebut termasuk kategori pinjaman dengan nasabah tinggi.

Itulah informasi tentang pinjaman nisbah tinggi. Contoh dari pinjaman nisbah tinggi di Indonesia adalah kredit pemilikan rumah (KPR) yang dalam pengajuannya memang membutuhkan banyak persyaratan khusus. Semoga bermanfaat.

Baca Juga: Mengenal KPR FLPP, Syarat hingga Cara Pengajuannya

Topik:

  • Rizna Hidayah
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya