RI Bisa Tekor Rp400 Miliar per Tahun dari Nikel, Ini Penyebabnya

Pemerintah diminta lebih serius mengawasi

Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan ada potensi kerugian hingga Rp400 miliar per tahun dari produksi bijih nikel. Penyebabnya adalah kisruh antara penambang nikel dengan pemilik pabrik pemurnian (smelter) terkait harga patokan mineral (HPM).

Kisruh itu awalnya bersumber dari perbedaan penghitungan kandungan nikel antara penambang dengan surveyor dari pemilik pabrik pemurnian (smelter).

Faisal mengatakan kasus tersebut telah terjadi sejak 2020 di Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng). Dia mengatakan penambang menetapkan kandungan nikel sebesar 1,87 persen, sementara surveyor menetapkan kandungannya hanya 1,5 persen.

Baca Juga: Nomor 1 di Dunia, RI Bisa Raup Rp59 T dari Nikel jika Bikin Baterai EV

1. Kasus HPM nikel berpotensi bikin negara rugi

RI Bisa Tekor Rp400 Miliar per Tahun dari Nikel, Ini PenyebabnyaIlustrasi Tambang (IDN Times/Aditya Pratama)

Faisal menjelaskan kasus yang terjadi di Morowali itu berpotensi merugikan negara. Pasalnya, jika kandungan nikel yang ditetapkan surveyor lebih rendah, maka HPM juga lebih rendah, hingga pada akhirnya penerimaan negara dari royalti juga lebih rendah.

"Ini kan berarti ada perbedaan 0,37 persen. Lalu dihitung dengan HPM dan nilai tukar rupiah pada 2020 dan dikalikan dengan total produksi di 2020 kalau tidak salah sekitar 14 juta ton, maka total kerugian negara dari berkurangnya penerimaan royalti ini bisa setara Rp400 miliar per tahun kalau mengacu ke kasus 2020," kata Faisal dalam webinar CORE Indonesia, Selasa (12/10/2021).

2. Potensi kerugian dari nikel setara 10 persen APBD Sulteng

RI Bisa Tekor Rp400 Miliar per Tahun dari Nikel, Ini PenyebabnyaIlustrasi Uang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Faisal mengatakan potensi kerugian Rp400 miliar per tahun itu setara 10 persen APBD Sulteng. Selain itu, dia mengatakan kerugian negara bisa saja lebih besar, karena yang dia sebutkan baru dari kekurangan royalti saja.

"Ini baru dari royalti saja, belum dari pos-pos lain, dan ini baru dari 1 tempat saja kasus di Morowali, Sulawesi Tengah," ujar Faisal.

Selain itu, Faisal juga menemukan adanya kerugian negara aktivitas ekspor bijih nikel pada 2016. Padahal, saat itu pemerintah melarang ekspor bijih nikel.

"Ternyata di 2016 data dari China tercatat masih mengimpor bijih nikel sebesar 4 juta dolar AS dari Indonesia meskipun dari data di Indonesia tidak menunjukkan ada ekspor bijih nikel. Kalau kita hitung dengan berbagai macam asumsi, nilai tukar masih Rp13 ribu, royalti 5 persen berdasarkan UU yang lama, pemerintah merugi sebesar Rp2,8 miliar," kata dia.

3. RI juga berpotensi rugi karena SDA lain

RI Bisa Tekor Rp400 Miliar per Tahun dari Nikel, Ini PenyebabnyaIlustrasi Tambang Batubara (IDN Times/Aditya Pratama)

Selain nikel, CORE Indonesia juga melihat adanya kerugian negara dari produksi sumber daya alam (SDA) lainnya yang tidak dibarengi tata kelola yang baik. Misalnya di 2017, di mana pembangunan smelter molor dari target.

"Di 2017 ada perencanaan dan pembangunan fasilitas smelter di dalam negeri, tapi pembangunannya berlarut-larut sehingga melebihi waktu larangan ekspor. Dan ini tentu saja membawa kerugian bagi negara," ucapnya.

Kemudian, di 2018 terjadi permasalahan terkait perhitungan royalti dan dana hasil produksi batubara (DHPB) yang mencapai 669,08 ribu dolar AS atau setara Rp181,39 miliar.

"Di 2019 juga begitu ada 21 perusahaan yang kurang cermat menghitung iuran PNBP SDA dan juga sampai di tahun terakhir ada permasalahan-permasalahan di mana membawa kerugian bagi negara karena semestinya kita bisa terima PNBP lebih besar," tutur Faisal.

Baca Juga: PLTU Batubara Indramayu Disorot, WALHI Desak Jepang Batalkan Pendanaan

4. Tata kelola minerba harus diperbaiki

RI Bisa Tekor Rp400 Miliar per Tahun dari Nikel, Ini PenyebabnyaIlustrasi Tambang (IDN Times/Aditya Pratama)

Faisal mengatakan nikel adalah hasil tambang yang tidak bisa diperbaharui, harganya tinggi, dan permintaannya juga tinggi. Oleh sebab itu, menurut dia bijih nikel hasil bumi harus dijaga dengan baik agar tidak menyebabkan kerugian negara.

Untuk itu, dia mencatat ada beberapa hal yang harus diperbaiki agar produksi nikel dan SDA lainnya bisa bermanfaat bagi negara.

"Pertama dari sisi pengawasan penerimaan negara, dari pengawasan produksi minerba. Masalah koordinasi antar instansi juga jadi isu bagaimana meningkat kerja sama dengan Kemendag, Kemenhub, Ditjen Bea Cukai. Untuk pengawasan data ekspor, koordinasi dan supervisi dengan KPK, dan penataan fungsi surveyor," ucap Faisal.

Baca Juga: Groundbreaking Smelter Gresik, Jokowi: RI Punya Cadangan Tembaga Besar

Topik:

  • Hana Adi Perdana
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya