[CERPEN] Puisi Senja yang Terabaikan

Ketika langit menyimpan cerita yang terlupakan

Di sebuah kota kecil yang tersembunyi di antara bukit dan hamparan sawah, hiduplah seorang pemuda bernama Arka. Arka adalah pemuda pemimpi, penuh dengan rindu dan kecintaan pada senja. Setiap hari, dia akan menyelinap ke tepi bukit, duduk di bawah pohon tua, dan menikmati indahnya senja yang terperangkap di langit.

Suatu hari, di sela-sela langkah kaki ringan Arka, dia bertemu dengan sehelai buku tua yang terabaikan. Sampulnya yang kusam dan halamannya yang rapuh tak dapat menyembunyikan keindahan yang terkandung di dalamnya. Pada halaman-halaman pertama, Arka menemukan puisi-puisi indah yang seolah diciptakan untuk senja itu sendiri.

Puisi itu membesarkan hati Arka. Dia merasa seakan menemukan teman sejati dalam kata-kata yang terhampar di depannya. Ia membaca puisi itu di bawah pohon tua, sementara senja perlahan merangkul langit dengan warna-warni keemasan. Puisi senja yang terabaikan itu memberikan warna baru pada langkah-langkah Arka.

Namun, seperti halnya senja, kebahagiaan Arka juga tidak abadi. Pada suatu pagi yang mendung, Arka menemukan bahwa buku tua itu telah hilang. Panik melanda, dan setiap langkahnya mencari buku itu seperti menyusuri kehampaan. Dia bertanya-tanya, siapa yang mungkin mengambilnya, atau apakah buku itu sendiri memiliki kehidupan yang tak terduga.

Dalam pencariannya yang putus asa, Arka menemui seorang perempuan tua di pasar kota. Perempuan itu, dengan senyuman penuh kebijaksanaan, menyodorkan kembali buku itu ke tangan Arka. Dia mengatakan bahwa buku itu telah dipinjam oleh cucunya yang jauh lebih muda. Sang cucu, Sinta, juga seorang pecinta senja dan puisi.

Arka dan Sinta pun menjadi teman. Mereka berdua, terikat oleh kecintaan pada senja dan puisi yang pernah terabaikan. Di bawah pohon tua, mereka saling berbagi kata-kata yang mengalir dalam puisi dan mengalun dalam senja. Kini, buku tua itu menjadi saksi bisu dari pertemanan yang tak terduga; menghidupkan kembali puisi senja yang pernah terabaikan.

Setiap senja, Arka dan Sinta menyambut matahari terbenam dengan penuh syukur. Mereka tahu bahwa tak ada yang abadi, termasuk senja itu sendiri. Namun, mereka juga menyadari bahwa dalam setiap akhir, terdapat keindahan baru yang menanti di balik langit senja yang tenang. Seiring waktu, puisi senja yang pernah terabaikan itu menjadi kisah hidup yang diwarnai oleh ketidakpastian dan keajaiban.

Baca Juga: [CERPEN] Jejak Kecil di Tepi Pantai 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Fiqrah Risar Photo Verified Writer Fiqrah Risar

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Kidung Swara Mardika

Berita Terkini Lainnya