[CERPEN] Teman Berdialog

Sebab, setiap kita butuh sosok yang berkenan mendengarkan

Dani berlari menuju sebuah gedung pencakar langit yang belum selesai. Kakinya seolah enggan berhenti sebelum ia menemukan tempat yang sesuai kehendak hatinya. Dani lantas duduk di pinggir bangunan, membiarkan kakinya menggantung diterpa angin. Matanya melihat hamparan tata kota yang sama sekali tak teratur. Bukannya lebih tenang, pikiran Dani malah semakin tak menentu.

Dalam keadaan serba sulit tersebut, air mata Dani menetes. Ia teringat dengan kejadian barusan yang belum bisa ia percaya telah terjadi. Linda, orang yang selama ini menjalin hubungan dengan Dani, begitu entengnya menyuapi laki-laki lain di hadapan Dani; bahkan di hadapan seluruh teman kelasnya.

Air mata Dani terus mengucur, ia menunduk dalam. Dani lantas bicara pada diri sendiri, “Untuk apa aku terus menangisi orang yang sama sekali tak peduli padaku?”.

Tangan Dani tergenggam erat, seperti menyiratkan rasa ingin balas dendam yang besar. Namun, Dani mencoba mengendalikan dirinya. Ia menarik napas panjang, lalu melepaskannya. Dadanya sedikit lega setelah melakukan hal tersebut.

Entah apa yang mendorongnya, Dani tiba-tiba mengambil selembar kertas dari tasnya, kemudian mulai menulis. Selepas menulis, Dani lalu melipat kertas tersebut menjadi pesawat terbang. Ia menatapnya sejenak, kemudian menerbangkannya. “Terbanglah! Semoga engkau jatuh di tempat yang tepat!” ucap Dani.

*****

Setiap hari Dani selalu datang ke tempat tersebut, sepulang sekolah, sendiri. Ia juga selalu menulis, tapi kali ini ia simpan sendiri. Seminggu sudah ia menjalani rutinitas barunya tersebut, hingga suatu ketika Linda menyapanya.

“Dani!”

Mendengar itu Dani berhenti melangkah, tapi ia tak sedikit pun menoleh karena ia sudah tahu betul itu suara Linda. Dani pun tak menjawab sama sekali.

“Maafin aku, ya!”

Dani tahu dari intonasinya bahwa ucapan tersebut bukan cerminan ketulusan. “Bilang aja, mau apa? Gak perlu sungkan!” ucap Dani tanpa menoleh ke belakang.

Linda terkejut mendengar jawaban Dani tersebut, ia tak menyangka Dani bisa dengan mudah membaca gelagatnya. “A... anu Dan, ini, tentang tugas fisika, aku...”, belum selesai Linda bicara, Dani memotongnya.

“Oh, itu, gampang! Tunggu aja nanti jam 3 di depan cafe biasa kita ketemuan dulu,” Dani lalu meninggalkan Linda yang masih keheranan.

Meski masih bertanya-tanya, Linda tetap menuruti apa yang dikatakan Dani. Sebab, Dani yang ia kenal selama ini adalah sosok yang selalu menepati janji. Linda datang ke cafe yang dimaksud Dani pada jam 3 kurang 10 menit. Tak lama menunggu, Linda melihat Dani yang masih memakai seragam sekolah.

Mata Linda terus menatap sosok Dani yang perlahan mendekat, tapi Dani sepertinya tidak melakukan hal yang sama pada Linda. Mata Dani seolah enggan menatap Linda. Setelah dekat, Dani lalu memberikan sebuah kertas yang berisi jawaban tugas fisika. Linda kian heran dengan apa yang dilakukan Dani tersebut. Dengan agak ragu, Linda menengadahkan tangannya, menerima kertas dari Dani.

“Dan! Aku...”

“Maaf! Sekarang aku sedang nggak ada waktu," Dani lalu pergi meninggalkan Linda.

Linda tak bisa berbuat banyak untuk merespons apa yang barusan dilakukan Dani. Lagi-lagi Linda hanya terdiam keheranan. Nuraninya kian merasa bersalah. Bersamaan dengan semakin jauhnya sosok Dani, hujan setetes demi setetes jatuh mengguyur bumi. Linda pun bergegas pulang.

*****

Esok harinya, sepulang sekolah Linda kembali menghampiri Dani. Linda yang melihat Dani tampak tergesa-gesa, cepat-cepat berteriak memanggil untuk menghentikan langkahnya.

“Dani, tunggu!”

Dani menghentikan langkahnya. Tapi sama seperti sebelumnya, ia tak menoleh sedikit pun. Dani terdiam menunggu kalimat selanjutnya dari Linda.

“Anu... yang kemarin...makasih, ya!” Linda menunduk, nadanya terasa ia sedang tak enak hati pada Dani.

Namun, lagi-lagi Dani tak menanggapi. Ia hanya diam, kemudian melangkah pergi meninggalkan Linda tanpa sepatah kata pun terucap. Dani menuju gedung pencakar langit yang belum selesai seperti biasanya.

Sesampainya di sana, Dani kebingungan sekejap karena ia melihat seorang perempuan di sana. Padahal, selama ini yang datang ke sini hanya Dani seorang. Namun, Dani berusaha tak menghiraukan perempuan tersebut. Mungkin dia juga sedang mencari ketenangan seperti dirinya.

Saat Dani hendak duduk, perempuan itu tiba-tiba melontarkan kalimat. “Terima kasih banyak, ya!”

Dani kebingungan, ia melihat sekeliling. Tak ada siapa-siapa di sana selain dirinya sendiri dan perempuan itu. Dani lalu bertanya pada perempuan tersebut. “Apa kau bicara denganku?”.

“Jelas! Siapa lagi? Di sini hanya ada kita berdua kan?” jawab perempuan tersebut.

“Tapi, terima kasih untuk apa? Aku bahkan baru melihatmu sekarang," Dani masih kebingungan.

Perempuan tersebut lantas menoleh pada Dani. Kini, Dani bisa melihat dengan jelas paras cantiknya. Perempuan itu tersenyum pada Dani. “Bukannya kamu, ya, yang menulis ini?”

Perempuan itu menunjukkan selembar kertas berisi tulisan. Kertas tersebut juga sangat jelas terdapat bekas pola lipatan pesawat.

Dani mencoba mengingat-ingat, matanya fokus tertuju pada kertas itu. Dani kemudian mendekat, mengambil pelan kertas itu dari tangan perempuan tadi. Ia kemudian membaca isinya.

Akhirnya, ia sadar bahwa itu adalah tulisannya ketika ia dicampakkan dengan semena-mena oleh Linda. “Bagiamana kau bisa tahu ini tulisanku? Dan, bagaimana kau menemukan kertas ini?” pikiran Dani dipenuhi banyak pertanyaan.

Perempuan itu kembali tersenyum, ia lantas menceritakan kronologinya. “Waktu itu aku berjalan sendiri, kabur dari rumah. Aku berniat hendak mengakhiri hidupku...”

Perempuan itu menunduk dan terdiam sejenak, ada satu hal yang sepertinya begitu membebaninya. Namun, Dani berusaha untuk tidak menginterupsi ceritanyanya.

“Ketika aku sudah berdiri di tengah rel kereta, pesawat kertasmu tiba-tiba menabrak dahiku. Entah apa yang saat itu mendorongku membuka lipatan pesawatmu. Aku kemudian membaca tulisanmu. Ia membuatku tersadar dan mencegahku dari upaya bunuh diri. Sekali lagi, terima kasih ya!”

“Tunggu! Tapi bagaimana bisa kau tahu bahwa aku yang menulisnya?” Dani masih bertanya-tanya.

“Oh, itu, gampang saja. Pertama, pesawat kertas ini pasti diterbangkan dari tempat yang tinggi. Memang cukup banyak gedung tinggi di sini, tapi yang belum selesai dikerjakan hanya gedung ini. Dan, tidak mungkin pesawat kertas itu diterbangkan oleh orang-orang yang berada di gedung-gedung tinggi yang telah selesai itu. Aku merasa sangat yakin bahwa pesawat kertas itu dilemparkan dari gedung ini. Kedua, dari tadi aku di sini tak ada satu orang pun yang datang selain dirimu. Jadi, bisa disimpulkan bahwa penulis sekaligus orang yang menerbangkannya adalah dirimu," papar perempuan itu pada Dani.

“Masuk akal juga penjelasanmu," Dani tersenyum.

Perempuan itu balik tersenyum pada Dani. Namun, ia kemudian berpamitan. “Ya sudah! Niatku hari ini hanya ingin berterima kasih padamu. Aku pulang dulu," perempuan itu lantas pergi meninggalkan Dani. Sebelum sosoknya benar-benar lenyap dari pandangan Dani, Dani berteriak padanya.

“Tunggu!” Perempuan itu berhenti, lalu menoleh pada Dani. “Kalau boleh tahu, siapa namamu?”.

“Sinta. Namamu?” perempuan itu balik bertanya.

“Dani.” Mereka berdua lantas saling melempar senyum sejenak, dan Sinta pun kemudian pergi.

*****

Keesokan harinya, ketika Dani mendatangi gedung pencakar langit itu, Sinta ternyata kembali berada di sana. Dani kemudian mendekati Sinta, duduk di sampingnya.

“Udah dari tadi?” sapa Dani.

“Baru sebentar, kok”, Sinta tersenyum pada Dani. Selepas itu, suasana hening sejenak, Dani kebingungan hendak membicarakan topik apa. Akhirnya, Dani pun memberanikan diri untuk bertanya pada Sinta.

“Oh, iya! Kamu kemarin sempat bilang kalau kamu punya niatan bunuh diri. Jika boleh tahu, apa sebabnya?”

Suasana masih hening, Sinta terdiam. Matanya terlihat berkaca-kaca, tapi ia seperti berusaha menahan air matanya agar tak menetes. Sinta kemudian menarik napas dalam.

“Keluargaku benar-benar berantakan. Ayahku seorang pecandu alkohol. Hal itu kemudian selalu memicu pertengkaran antara dirinya dengan ibuku. Mereka setiap hari beradu mulut, mereka seolah tak peduli sama sekali dengan diriku. Dalam kondisi seperti itu, aku benar-benar tertekan. Aku merasa hidupku benar-benar tak berguna. Aku sempat berpikir untuk apa hidup? Bukankah jika aku mati, semua akan tetap sama saja? Jadi, daripada aku menjalani hidup yang malah membuatku depresi, lebih baik aku mati saja. Namun, selepas membaca apa yang kamu tulis, sudut pandangku berubah.”

Dani terdiam sebentar mendengar cerita Sinta, ia merasa bersalah karena telah mengingatkan Sinta akan hal yang membuat dirinya tertekan. “Ma... Maaf! Aku gak tahu tentang itu!” ucap Dani pada Sinta.

“Gak papa, aku malah merasa lebih lega ada yang berkenan mendengarkan ceritaku. Sekali lagi, terima kasih ya! Kalau kamu sendiri, apa penyebab kamu menulis itu?” Sinta penasaran.

“Ah, itu! Itu... lupakan sudah. Gak penting juga kok,” Dani memberi senyum palsu pada Sinta, dan Sinta menyadari hal itu.

“Oh, ayolah! Cerita aja! Aku gak akan menghakimi kamu kok, beneran. Aku merasa kita berdua sama-sama pernah berada di titik yang membuat kita berpikir bahwa hidup kita tak ada gunanya. Jadi, aku sedikit-banyak tahu lah apa yang kamu rasakan. Ayo, cerita!” paksa Sinta.

Dani tersenyum mendengar kalimat Sinta barusan. Ia lantas berkenan untuk bercerita.

“Sebenarnya... aku menulisnya karena waktu itu nuraniku benar-benar terasa diinjak-injak. Seorang wanita yang selama ini menjalin hubungan denganku dengan gampangnya menyuapi laki-laki lain di depanku, bahkan di depan seluruh siswa di kelas. Dan, ia melakukan itu tanpa rasa bersalah sedikit pun,” Dani terdiam, belum mau melanjutkan ceritanya.

“Kalau boleh tahu, siapa nama perempuan itu?” tanya Sinta.

Belum sempat Dani menjawabnya, tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah belakang mereka berdua.

“Dani!” begitu suara itu terdengar.

Dani dan Sinta lantas menoleh pada asal suara. Ternyata sosok yang memanggil Dani barusan adalah Linda.

Baca Juga: [CERPEN] Andai Aku Cinderella

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Mohammad Azharudin Photo Verified Writer Mohammad Azharudin

Anak muda biasa yang suka belajar

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Indiana Malia

Berita Terkini Lainnya