Bandung, kota dengan jantung hujan,
menyimpan lukaku di setiap kabut yang turun perlahan.
Langitnya bagai kaca retak,
mencerminkan wajah yang tak lagi kembali.
Aku berjalan di lorong-lorong waktu,
di mana senyummu dulu seperti matahari di utara.
Kini hanya angin Cihampelas
yang menyibak rambutku tanpa arti.
Rinduku jadi bunga liar
di sela tembok tua Braga,
mekar tanpa disapa,
layu tanpa sempat dimiliki.
Bandung pun mengajarkanku:
bahwa cinta bisa jadi gunung,
tinggi, megah, penuh janji—
namun tetap bisa luluh
oleh gemetar bumi yang tak terlihat.
Dan aku,
tinggal serpihan kabut di atas Lembang,
menunggu reda
yang tak kunjung tiba.