[PROSA] Kenapa Harus Aku?

Berbicara tentang kehilangan

“Kenapa ayahku pergi lebih dulu? Aku tak bisa melihat ibuku hancur. Kami tak siap hidup tanpa ayah.”

“Kenapa orang tuaku sudah lebih dulu menghadap-Mu?"

“Ketika aku sudah menemukan seseorang yang selalu menemaniku, kenapa mereka malah pergi meninggalkan?”

“Lebih baik dari awal kita tidak perlu saling mengenal dan nyaman jika akhirnya berpisah di ujung jalan.”

“Kenapa aku harus merasakan kehilangan?”

Pertanyaan-pertanyaan tersebut pasti kerap terlontar ketika kamu merasa kehilangan. Rasanya belum siap untuk merelakan apa yang hilang. Ingin menangis, lagi dan lagi marah dan kesal pada keadaan. Bahkan, sampai kamu tak siap menjalani hidup. Orang yang selalu menjadi penyemangatmu pergi, orang yang menjadi tumpuan kebahagiaanmu hilang, dan orang yang selalu menemanimu kini tak ada lagi di sisi.

Kamu pun menangis di pojok kamarmu sembari memegang suatu barang kenangan tentangnya. Sampai air matamu jatuh pada sebuah barang yang kau genggam. Tak peduli dengan omongan orang yang menyuruhmu ke luar kamar. Kamu hanya ingin sendiri bersama kenangan itu. Meluapkan semua kesedihanmu, menangis tersedu, sampai matamu terlihat sembab. Hingga akhirnya kamu lelah menangis, kamu sandarkan tubuhmu sejenak di tembok, dan matamu terpejam.

Mimpi membawamu pada masa lalu. Dan dalam mimpi itu terlihat dirimu bersamanya. Berjalan melewati sebuah perdesaan yang asri dengan pemandangan gunung di sekelilingnya dan sungai yang mengitarinya. Dia berada di depan, kamu di belakang hanya mengikutinya. Senyum di wajahmu terukir saat itu. Kamu melihat sebuah bunga dan ingin memberikan bunga itu kepadanya.

Kamu berbalik arah sebentar untuk mengambil bunga itu dan dia masih berada di depan menunggu. Saat kamu kembali mengarahkan tubuhmu ke depan menatapnya. Tak kamu dapati dia di sana, menghilang begitu saja tanpa berpamitan, tanpa memberi tahu ingin pergi ke mana. Di situ kamu kebingungan, berjalan di sekitar untuk kembali menemukannya, tetapi pada akhirnya kamu tak lagi berjumpa dengannya.

Suara ketukan pintu terdengar semakin keras. Suara itu terus menusuk telingamu. Seketika matamu yang tadinya terpejam, kini kembali terbuka secara perlahan. Kamu masih menggenggam barang itu dan menyadari ternyata apa yang di mimpi tadi benar-benar terjadi. Rasanya energimu sudah habis. Tak ada lagi kuasa yang bisa membuatmu bangkit berdiri sekadar membuka pintu kamar yang kamu kunci. Dirimu merasa tak ingin bertemu dengan siapa-siapa dulu; tak ingin melakukan apa pun. Kamu hanya ingin sendiri meratapi peristiwa yang baru saja kamu alami.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Terdengar suara seseorang yang memanggil namamu dan memintamu untuk ke luar. Kamu tetap tidak peduli, kamu tak menggubris suara itu sedikit pun dan tetap menyendiri. Kamu pun kembali melanjutkan tidurmu berharap mendapatkan mimpi yang indah. Mimpi yang membuatmu kembali bertemu dengannya dan mimpi yang membuatmu lupa akan sedihmu saat ini. Kamu terus mencoba untuk kembali tidur. Namun, mimpi yang datang bukan tentangnya sehingga kamu memutuskan cukup memejamkan matamu tanpa larut dalam mimpi.

Kamu merasa ingin melupakan dunia sejenak dan larut dalam kesedihanmu. Tak ada yang mampu menghalangimu untuk bersedih. Semuanya tak mempan membuatmu bahagia. Lagi dan lagi kamu benar-benar hanya ingin sendiri. Tak ingin ditemani siapa pun, kecuali kenangan yang membawamu ke masa lalu. Saat kamu masih bisa duduk berdua di sampingnya, bercerita tentang rumitnya dunia, berbagi tawa, makan bersama, hingga tak terasa waktu dengan cepat membuat semua cerita selesai.

Ceritamu dengannya belum benar-benar selesai. Tapi, takdir tiba-tiba merampas semuanya, membawanya pergi, menghancurkan mimpi-mimpimu dengannya, dan seketika membuat tubuhmu yang tadinya tangguh menjadi sangat rapuh. Rasanya sangat menyesakkan. Dadamu benar-benar terasa penuh sampai air mata yang ingin kamu tumpahkan tak lagi tersisa.

Terlihat mendung di wajahmu, kusam, kelam, pucat, tetapi kamu tetap tidak peduli. Tangisan masih terus mengalir deras dari kelopak matamu. Di saat yang bersamaan, tiba-tiba hujan datang seolah langit juga merasa sedih atas dukamu. Suasana semakin terasa sendu. Sejuknya angin semakin mendukungmu untuk terus merasakan pilu.

Terdengar suara jendela yang menutup dengan keras. Kamu pun yang tadinya terdiam menatap kosong ke arah dinding langsung terkaget dan mengalihkan pandanganmu ke jendela. Lalu, kamu melangkah perlahan ke arah jendela untuk menutupnya. Terlihat sekilas beberapa butiran air hujan yang jatuh di kaca jendela. Kamu terus menatapnya dan memilih untuk mengambil sebuah kursi lalu duduk menyaksikan pertunjukkan air oleh semesta.

Kamu sandarkan pundakmu yang terlihat sangat lelah, lalu terlihat seolah memasrahkan semua beban yang ada di batinmu sembari sesekali mengusap air matamu yang mongering di pipi. Kamu terus melihat ke luar memandang air yang turun, merasakan kesejukannya lalu kembali hanyut dalam suasana sendu. Di bawah langit yang sangat mendung, hatimu masih berkabung dan air matamu masih membendung. Suasana benar-benar sangat mendukung.

Beberapa menit sudah kamu duduk di balik jendela menatap hujan sembari merenung. Tiba-tiba hujan telah reda. Langit yang tadinya kelabu kini kembali membiru. Mentari yang tadinya menghilang kini kembali datang. Sekarang, aku mau kamu juga seperti itu. Menjadi hujan? Tidak tidak. Aku hanya ingin kamu belajar makna di baliknya.

Kesedihan yang sebelumnya kamu peluk sangat erat biarkanlah untuk pergi bersama hujan dan meninggalkan sebuah senyuman keikhlasan. Tidak harus seketika dan tiba-tiba, perlahan saja, semua butuh proses. Jadikanlah perjalanan dari kesedihan menuju kebahagiaan sebagai sebuah metamorfosa kehidupan, sebuah metamorfosa yang menjadikanmu menjadi sosok yang lebih dewasa dan lebih siap untuk menghadapi semua hiruk pikuk dunia.

Kini, cobalah untuk tersenyum. Jika masih berat untukmu, coba untuk berhenti menyesali dan menangisi seseorang yang sudah pergi. Bukankah kamu sudah sangat puas menangis sebelumnya? Bukankah air matamu sudah banyak tertumpahkan? Bukankah energimu sudah kamu habiskan untuk menciptakan sebuah tangisan? Tidak lelahkah kamu terus memanggul duka? Bukannya apa-apa, aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa tak baik terus-terusan terpuruk di situasi terburuk.

Bukannya mendapat kelegaan jangka panjang, tetapi kamu malah terus terjebak dalam lingkaran kesedihan yang membuat terus berputar tanpa arah yang jelas. Terus kembali pada kejadian yang membuatmu rapuh, hanyut, dan larut di dalamnya hingga kamu tak tahu lagi harus pergi ke mana. Apa kamu mau seperti itu terus? Yang membuat hatimu terus tergerus dan menyebabkan semuanya pupus. Aku rasa tanpa harus mendengar jawabanmu secara langsung, aku sudah tahu isi hatimu. 

Baca Juga: [PROSA] Singgah yang Selangkah

Adira Putri Aliffa Photo Verified Writer Adira Putri Aliffa

A full time learner in life | Instagram: adiraaliffa & perahuteduh, twitter: @deardir1

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Kidung Swara Mardika

Berita Terkini Lainnya