[CERPEN] Surga Kedua

Aku ingin tersesat di surga yang lain

Apa manusia akan masuk ke dalam surga yang lain bila surganya sudah terbagi? Atau mungkin di surga tak ada lagi rasa cemburu sebab kau tak hanya berbagi lelakimu dengan wanita lain, melainkan juga para bidadari.

Aku membayangkannya, setiap hari, setiap waktu, dan setiap malam sebelum mataku benar-benar terpejam, atau mungkin terpejam untuk selama-lamanya.

Aku memikirkan tentang lelakiku yang tak pernah bisa menemaniku setiap malam. Aku memikirkan tentang senyum teduh wanitanya kala menyapaku di pagi hari sembari membawa secangkir teh atau kopi. Aku memikirkannya, tentang haruskah aku pergi dari surga yang terasa seperti neraka. Yang tak ubahnya membakarku perlahan dengan cemburu.

Hujan masih mengguyur kota, dan secarik kertas berwarna kekuningan masih ada di genggamanku. Aku tak beranjak dari kursi anyaman di teras depan, memandangi rintik air yang berjatuhan, juga suara gemericik yang membisik lembut. Duniaku telah runtuh, benar-benar diluluhlantakkan oleh keegoisanku atau keegoisannya seminggu lalu. Semua kisah ini telah berakhir, juga surga yang katanya bakal ada aku, lelakiku, dan wanita itu. Wanita yang namanya terus ia sanjung-sanjung. Wanita yang membuatnya rela beribadah hanya pada akhir pekan saja. Wanita yang telah tinggal setahun lamanya di satu atap yang sama denganku, namun tak memiliki keyakinan yang sama tentang Tuhan.

"Jika kamu tidak bisa menghormatiku, buat apa hubungan ini kita pertahankan!" bentak lelakiku pagi itu. Kata-katanya masih mengiang di telingaku.

Tak ada yang aku lakukan selain melepaskannya pergi, bahkan secara agama kami telah resmi bercerai sejak ia putuskan meninggalkan Tuhannya. Tuhan yang ia yakini kebenarannya sedari masih di buaian.

Aku menyeka ujung mataku, menghela napas berat berkali-kali yang tak juga meredakan sesakku. Semuanya sudah berakhir. Benar-benar telah berakhir. Dan kurasa besok atau lusa, atau beberapa hari ke depannya aku dapat pulang yang sebenar-benarnya pulang. Memeluk semua rindu yang telah kupendam sejak melajang.

***

"Fatma, kita menikah besok, bagaimana?"

Aku menatap gerak bibirnya tanpa sekalipun melirik kedua matanya barang sedikit.

"Kita bangun istana untuk kita. Kamu mau?"

Hening. Hanya suara semilir angin yang mampu menjawab semua pertanyaannya. Aku tak bisa melakukan apa pun selain berbaring di ranjang ruang rawat inapku, menunggu waktu penghabisan sembari mendengarkannya bercerita setiap kali berkunjung. Dan hari ini, ia tak lagi bercerita. Ia bertanya tentang sesuatu yang tak bisa kujawab meski hanya dengan isyarat mata.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Baiklah, aku anggap itu adalah jawaban setuju."

Setelah memberi jawaban untuk pertanyaannya sendiri, Sayid pergi. Sebaris senyum sendu tergambar di wajahnya. Ia juga melambaikan tangan padaku sebelum menutup pintu.

***

Pernikahan berlangsung sederhana seperti yang ia katakan kemarin. Ayah, Ibu, juga beberapa saudaraku serta keluarga dan teman-teman Sayid hadir. Mereka mengisi ruangan di luar ruang rawat inapku. Aku melihat semuanya dari jendela kaca.

"Hari ini kita akan menikah," bisiknya lantas keluar.

Di luar, di depan ayahku serta disaksikan penghulu juga yang lainnya, ijab kabul terucap dari mulut Sayid yang tak bisa kudengar sama sekali. Aku hanya bisa mendengar suara mesin di ruangan ini. Suara yang tak ubah melodi kerinduan terhadap Tuhan. Suara yang harusnya juga terdengar oleh lelakiku setelah aku berjuang setengah tahun lamanya atas kanker yang terus menggerogoti hatiku yang sudah masuk stadium akhir. Suara yang tak pernah diperkirakannya untuk didengar.

Entah bagaimana selanjutnya, aku hanya mendapati semua wajah-wajah di luar ruang rawat inapku tampak semringah yang setengah-setengah. Mereka bahagia bercampur dengan takut dan luka. Tak lama Sayid masuk kembali ke ruanganku.

Tidak dengan setelan hitamnya. Tidak pula dengan kopiahnya. Dia masuk seperti biasa mengenakan baju dan penutup kepala hijau yang disediakan perawat. Duduk di sampingku dan menggenggam erat tanganku untuk pertama kalinya.

"Sekarang, kamu adalah istriku," ucapnya diiringi oleh isak yang terdengar saru.

Aku masih terdiam. Sulit rasanya tersenyum dikarenakan alat yang terpasang di mulutku. Bahagia, haru, juga sedih bercampur menjadi satu, membuat degup jantungku berdetak tak keruan. Berdetak sangat indah, sampai akhirnya aku tak lagi bisa merasakan detak itu selepas Sayid membantu melantunkan kalimat syahadat.

Tuhan, aku pulang. Entah aku harus berbagi surga dengan yang lainnya atau tidak. Aku tahu, kini waktunya aku menunggu. Menunggunya pulang dan tiba di dermaga dengan sauh yang ia kayuh atas nama-Mu. (*)

Baca Juga: [CERPEN] Bapakku Manusia Kayu

Lily Rosella Photo Verified Writer Lily Rosella

Penulis kumcer "Iblis Pembisik" (2019)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya