[CERPEN] Genting Bocor

Apakah sekarang rumah ini menjadi tempat milik kami berdua?

Sudah cukup lama aku tinggal sendirian di tempat ini. Genting yang bocor, pintu yang engselnya sudah tak berfungsi, lantai yang tidak berkeramik, jendela yang sedikit retak, bahkan dinding yang lembap dan berjamur. Sejujurnya, aku tidak takut berada sendirian di sini. Sebab, aku sudah terbiasa dengan keadaan yang mungkin menurut orang lain aku begitu menyedihkan.

Jika seseorang mempertanyakan bagaimana caranya aku bertahan dengan keadaan demikian aku akan menjawab seadanya. Tidak begitu mudah untuk bertahan sejauh ini. Dari keadaan sebelumnya yang tidak separah sekarang, ketika aku mencoba untuk memperbaiki semuanya, satu persatu kembali rusak dan tidak berfungsi. Oleh karena itu, aku tidak ingin terlalu memaksa dengan memperbaikinya kembali. Aku biarkan begini saja. Ya, setidaknya aku masih bisa hidup baik-baik saja.

Pernah suatu waktu aku mencoba memperbaiki sendiri pintu engsel pintu yang rusak. Aku mencoba perbaiki agar tidak ada lagi sembarang orang yang masuk. Aku berusaha dengan apa yang aku bisa agar engsel pintu dapat kembali berfungsi. Aku berhasil. Sialnya, itu tidak bertahan lama. Ada sesuatu yang membuat engsel itu kembali rusak. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Yang jelas sejak saat itu aku biarkan saja.

Ketika hujan turun jangan tanyakan bagaimana keadaanku. Tentu saja atap gentingku yang bocor tidak mampu menampu hujan yang turun. Aku berusaha mencari tempat yang lebih aman agar tubuhku tidak basah. Biasanya aku berlindung di dekat lemari baju, di sana aman. Lagi-lagi, aku sudah terbiasa dan aku tidak apa-apa.

Hujan sudah mulai reda. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Sebenarnya bisa saja dia langsung masuk karena pintu engsel yang rusak. Tapi, dia memilih untuk mengetuk terlebih dahulu. Sudah jelas dia pasti orang baru. Seseorang yang sebelumnya belum pernah mengenaliku. Saat perlahan kutarik dan kubuka pintu ternyata laki-laki kira-kira seumuranku sedang berdiri dengan tersenyum. Dia membawa sebuah tas yang aku sendiri tidak bisa menebak apa isinya. Saat itu aku tidak langsung berani bertanya siapa dan apa urusan dia karena aku terlalu terkejut. Tiba-tiba saja dia masuk tanpa permisi dan mengecek semua kondisi yang ada. Dia membuka tas yang dia bawa dan mengeluarkan peralatan-peralatan.

Aku bingung sebenarnya siapa dia dan apa yang sedang dia lakukan. Mengapa dia mencoba memperbaiki semuanya yang rusak? Apakah dia ditugaskan seseorang atau ini insiatif dia sendiri? Jika inisiatif dia sendiri, mengapa aku tidak mengenalnya? Apakah dia salah masuk atau dia memang mengenaliku? Aku sungguh tidak mengerti.

Laki-laki itu terus sibuk memperbaiki yang rusak. Aku sudah berusaha menghentikan gerakannya, tetapi dia tidak menggubrisku. Jadi, akan aku biarkan dahulu sampai dia selesai.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

--

Setelah beberapa waktu lamanya aku menunggu, dia menghampiriku. Dia mengatakan bahwa akan kembali lagi. Dia akan membawa peralatan yang lebih lengkap dan tentunya sesuai dengan kebutuhan untuk memperbaiki apa pun yang rusak. Belum sempat aku bertanya dia sudah pergi. Entah, laki-laki itu terlihat begitu dingin. Bahkan, senyum yang kulihat di depan tadi sudah tidak ditunjukkan ketika berbicara kepadaku.

Aku mencoba melihat beberapa yang rusak. Benar saja, beberapa telah dia perbaiki dengan sempurna. Bahkan, engsel pintu utama pun sudah dia perbaiki. Artinya, sejak saat itu tidak ada orang yang bisa sembarang keluar masuk kesini. Aku merasa bingung sekaligus senang dan terus berusaha mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Apakah laki-laki itu memang berniat baik atau justru dia memiliki niat jahat kepadaku?

Setelah dia pergi rasanya aku menjadi lebih baik dari sebelumnya. Aku merasa sedikit damai dan tentu saja aku tidak perlu khawatir ketika hujan turun karena atap genting sudah tidak bocor lagi. Hari-hari terus aku lewati dengan kehadirannya yang datang dan pergi untuk memperbaiki segalanya yang rusak. Aku tidak banyak bicara, begitu pula dengan dia. Selama di dalam dia hanya berurusan dengan pekerjaannya tanpa menghiraukan aku sebagai si pemilik rumah. Entah, rasanya aku sudah mulai terbiasa dengan sikapnya.

Semenjak kehadirannya dan apa yang telah dia lakukan rasanya tempat ini menjadi sangat hangat dan begitu menentramkan. Kekosongan dan kesendirian yang selama ini ada pada diriku membuatku perlahan menjadi tidak terbiasa dengan hal itu. Aku menganggap hadirnya memberikan suasana baru yang sebelumnya belum pernah aku rasakan. Padahal, kami belum sempat berkenalan. Hal tersebut tentu saja tidak menjadikan kami akrab.

Bisa kau bayangkan tempat yang tadinya begitu banyak kerusakan dan kebocoran kini menawarkan kenyamanan. Jika kau bertanya kenyamanan seperti apa yang aku maksud, aku tidak bisa menjelaskannya. Yang jelas, kenyamanan ini membuatku menganggap bahwa dia seperti pemilik baru tempat ini. Aku tidak tahu apakah dia juga menganggap demikian? Apakah sekarang rumah ini menjadi milik kami berdua?

Baca Juga: [CERPEN] Suara dalam Cermin

Alifiana Nurul Fadhilah Photo Writer Alifiana Nurul Fadhilah

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Kidung Swara Mardika

Berita Terkini Lainnya