TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

[CERPEN] Tatapan Asing

Jangan-jangan dia...

Pexels/Eugene Golovesov

Tiga tahun yang lalu aku pindah ke Belgia untuk merawat ibuku yang sudah tua. Sekaligus untuk bekerja sebagai chef di salah satu restoran kecil di Brussel. Restoran yang sampai sekarang masih menjadi tempatku bekerja ini menyediakan berbagai makanan khas Belgia. Selama tiga tahun bekerja, aku sempat mengalami kejadian luarbiasa. Semua berawal dari tatapan asing seseorang.

Tepatnya empat bulan yang lalu saat aku mendapat giliran untuk membuka restoran. Hari itu hari Jumat, hari kesukaanku. Pagi yang lengang dan tenang seperti biasa, tapi entah kenapa muncul aura mencekam di sekitarku. Awalnya aku tidak menyadari seseorang mengamatiku dari sudut jalan yang berjarak kira-kira dua bangunan dari restoran.

Aku masih berada di luar restoran, kukeluarkan kunci pintu dari tasku berusaha menghilangkan pikiran negatif yang bermunculan. Namun tidak membantu sama sekali karena seseorang di sudut jalan itu berjalan semakin dekat ke arahku. Aku tetap berkutat dengan kunci dan gembok di tangan, sialnya aku malah panik.

Masih tidak bisa terbaca maksud orang itu, tapi dari sudut mataku aku bisa tahu gerak geriknya yang mencurigakan. Dia memakai pakaian tebal gelap yang kurasa di dalamnya dia memakai jas hitam. Sepatu pantofelnya hitam mengilat terkena sorotan lampu jalan. Sekilas yang kulihat wajahnya keras tidak ada keramahan,  dan dia masih menatapku. Satu tangannya disembunyikan di saku dalam mantel seolah akan mengambil sesuatu, terlihat lebih mencurigakan. Dia juga tidak berhenti mengecek ponsel dan jam tangannya.

Pasalnya tiga hari lalu terjadi pembunuhan di daerah restoran sekitar subuh-subuh, persis seperti keadaanku saat itu. Kabarnya si pembunuh masih berkeliaran bebas, dan hal itu membangkitkan intuisi parno-ku. Setelah urusanku dengan gembok selesai, aku harus membuka pintu kedua. Segera aku putar kunci di pintu resto, sayangnya kunci yang kupegang malah terjatuh. Aku kalap, orang tersebut semakin dekat. Sepuluh, delapan, enam langkah lagi sampai di hadapanku. Kuambil kunci yang jatuh di depan kakiku dengan bergetar tak karuan. Dan...

Puk! Tangan orang tersebut menepuk pundakku pelan.

“Aaaaa..,” lumayan keras aku berteriak sambil menutup wajahku. Tentu saja kunci yang sudah kupegang terjatuh kembali, “Tolong selamatkan aku, biarkan aku menulis surat kematianku, baru kau boleh membunuhku... Kumohon, kumohon biarkan aku membuka restoran ini dulu.” Aku terus berbicara dengan posisi meringkuk ke bawah.

Mademoiselle [1], maafkan aku mengejutkanmu,” orang tersebut berkata pelan menenangkanku sembari memberikan kunci pintu restoran padaku. “Mademoiselle.” ulangnya sambil mengetukkan jarinya di pundakku. Logat Prancisnya yang kental berhasil membuatku mengangkat wajah dan berdiri perlahan.

Setelah aku mencerna cepat apa yang telah terjadi, aku mulai membetulkan pakaian. “Oh, tidak. Tidak. Aku yang meminta maaf Monsieur [2],” kutundukkan kepala sedikit. Aku meminta maaf padanya atas tuduhanku yang secara tidak langsung menyebutnya pembunuh. “Ada yang bisa kubantu?” kataku masih tersentak dari kepanikan tadi. Dia menatapku diam saja, oh ayolah ada apa dengannya? “Apakah Anda akan mengunjungi restoran kami?” Aku mencoba menawarinya. “Ada menu spesial hari ini.” Imbuhku.

Orang tersebut hanya tersenyum kaku kemudian membalikkan badan dan pergi tanpa sepatah kata pun. “Hei, Tuan! Tunggu dulu! Bisakah lebih sopan?” Teriakanku melontar begitu saja. Ia berbalik sebentar memberi tatapan aneh, sontak aku beringsut takut. Lalu dia melanjutkan berjalan seolah tidak terjadi apa-apa.

-

Dua jam kemudian restoran sudah mulai penuh oleh orang-orang yang ingin menyantap sarapan. Syukurlah aku sudah melupakan kejadian pagi tadi. Tepat sekali sebelum aku mendengar percakapan kecil Chef Rey dan Chef James di sebelahku, aku jadi teringat kembali.

"Kau melihatnya? Orang berjas di depan restoran. Sudah sejak pagi dia di sana." ujar Chef Rey.

"Iya, kenapa tidak masuk saja. Ah, tapi mungkin dia menunggu seseorang." imbuh Chef James sambil lalu.

Tiba-tiba aku cemas, padahal mereka berdua hanya berspekulasi biasa. Aku juga tidak yakin siapa lelaki berjas yang mereka maksud, mana mungkin orang yang sama. Tapi melihat sikapnya tadi sungguh tidak sopan! Aku bersyukur dia tidak masuk ke restoran, aku mendengus kesal.

Otakku mulai mengingat lagi tatapan asing di sudut jalan, membuatku merinding sekaligus jengkel. Teflon di tanganku kubanting pelan di atas kompor. Hal tersebut sangat mengganggu konsentrasiku. Mungkin karena awal hari kesukaanku ini sudah dirusak oleh orang tak dikenal. Sudahlah, lagi pula lelaki itu bukan pembunuh yang berkeliaran. Tapi mengingat senyumnya yang menakutkan itu...

James yang mendengarku menggumam langsung menyela dengan cepat. “Ada apa denganmu Lyzz?” dia melirikku sebentar, “Hati-hati dengan masakanmu, kau akan mengacaukannya,” kata James memperingatkanku.

James adalah seniorku yang punya kumis panjang dan mulus. Meskipun kumisnya kadang menggelikan karena terangkat-angkat saat dia mengoceh, ada kalanya aku menunduk takut. James sangat sensitif terhadap masakan, sedikit kesalahan pada hidangan akan membuat dia cukup lelah marah-marah.

Aku sadar sejak tadi menggerutu sendiri pada seseorang tak dikenal yang kukira pembunuh. Aku pun meminta maaf pada James dan mulai memasak dengan tenang. Menerima pesanan, menyiapkan bahan, memasak, lalu menyerahkan sisanya untuk selanjutnya garnisheeing [3] oleh chef lain yang bertanggung jawab, James. Kegiatan pagi itu terus berlanjut lancar tanpa hambatan sesuai ekspektasiku di hari Jumat. Kesibukan cukup mengindahkanku dari pikiran-pikiran aneh yang melandaku hari itu.

Ting!! Bel pesanan berbunyi lagi.

“Pesanan meja 06 Carbonnades Flamandes [4]!!” Teriakku kepada teman-teman di dapur. Aku menengok sebentar jam dinding di puncak tabel menu restoran, sepertinya shift-ku sebentar lagi usai. Kesibukan yang selalu kulihat di dapur membuatku sejenak penasaran dengan pemesan di meja 06. Menengok dari kaca pintu dapur, aku mencari angka 06 di atas meja dan menemukannya.

Seseorang bertampang seram dan berjas hitam! Tentu aku mengingatnya meski mantelnya sudah ia lepas. Sekarang dia sedang duduk dengan kaku, berkutat dengan tablet. Mengetukkan kakinya kikuk senada dengan alunan musik di restoran. Pemandangan yang buruk. Sungguh mengerikan!

Ah sudahlah, pikirku. “Bagaimanapun dia adalah pelanggan di sini. Aku harus hilangkan pikiran jelekku. Sepertinya aku harus meminta maaf karena meneriakinya tadi pagi.” Setelah James selesai menghias hidangannya, aku mengikuti Dean salah seorang pelayan restoran. Hidangan telah disajikan di atas meja oleh Dean. Aku masih agak jauh di belakang Dean sambil berpikir sepertinya akan nyaman menggunakan bahasa Prancis setelah tahu logat fasih Prancisnya tadi. Sebenarnya aku lebih menyukai bahasa Jerman, tapi kenapa juga kupermasalahkan.

Excusez moi*5” sapaku begitu aku berdiri agak di sampingnya. Dia mendongak sebentar terlihat kaget sepersekian detik lalu sedikit gugup seperti karyawan yang dipergoki bosnya sedang berleha-leha saat bekerja. Seolah berusaha tidak panik, dia sibuk kembali dengan tabletnya. “Monsieur, masih ingatkah dengan saya?” Ujarku sambil membantu Dean meletakkan pesanannya di meja. Dia tetap tak acuh. “Atas kejadian pagi tadi saya mohon maaf. Sungguh.”

Dean mempersilakan si pria berjas untuk menikmati hidangan kemudian dia pergi ke meja sebelah. Sementara aku masih menunggu respon si tuan berjas. Dia menatapku lagi mengingatkanku akan tatapannya yang mengerikan subuh tadi. Honey sbiten [6] di hadapannya sudah beberapa kali diteguk. Tampaknya dia ingin aku pergi. Akhirnya aku sudah tidak tahan tak dihiraukan, aku pun berjalan pergi ke dapur.

Tiba-tiba teriakan seseorang menghentikan langkahku, “Aaaa..” seorang wanita di meja yang baru saja akan ditinggalkan Dean berteriak, kepalaku menoleh ke belakang. Alangkah terkejutnya aku melihat Dean menatapku kesakitan, tangannya mencoba menghalangi tusukan dari seseorang di depannya.

Semua orang di dalam restoran terkesiap melihat kejadian itu. Si tersangka yang tadi duduk di sebelah pria berjas itu kemudian melarikan diri, tapi pria berjas langsung menjegalnya hingga tersangka jatuh tersungkur sebelum menggapai pintu.

Setelah tersangka dibekukan oleh pria berjas, aku segera menghampiri Dean. Sebenarnya aku sendiri panik dengan kejadian barusan, bagaimanapun Dean terluka di depanku. Segera aku lepas apronku untuk menutup luka lebar di tangan kanan Dean. Rasanya segala kecurigaanku tentang pria berjas hilang begitu saja, melihat dia yang baru saja menangkap penjahat.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Polisi segera datang setelah James menelpon, ternyata pembunuh yang berkeliaran di daerah restoran benar telah masuk restoran. Restoran yang seharusnya tutup sampai pukul 8 malam sudah sepi pada pukul 3 sore karena insiden tersebut. Saat ini semua karyawan termasuk pemilik restoran yaitu Monsieur Bross berkumpul di meja kantor selain Dean yang dilarikan ke rumah sakit. Hanya saja ada si pria berjas ikut duduk di samping Chef Rey.

“Teman-teman,” kata Monsieur Bross membuka rapat. “Seharusnya hari ini adalah hari spesial di mana kita kedatangan karyawan baru dari Prancis. Sebelumnya aku minta maaf karena mematikan ponselku sehingga dia harus menunggu lama untuk diperkenalkan.” Monsieur Bross mengangguk kepada pria berjas seakan sudah dimaafkan. Aku sudah lelah untuk terkejut, sejak pagi tadi tenagaku sudah terkuras. Kurasa tidak ada yang lebih mengejutkan lagi selain fakta kejadian mengerikan yang menimpa Dean.

“Perkenalkan Chef baru yang akan menggantikan Chef Rey, Chef Neil.” Orang yang baru saja ditunjuk bangun dari kursinya, ia membungkuk sedikit seperti dirigen yang akan tampil.  Dengan berwajah kusut karena shock, aku tersenyum simpul padanya. Ternyata ada juga yang lebih mengejutkan. Aku tidak tahu alasan Chef Rey berhenti, belum lagi orang berjas itu yang akan menggantikannya. Semua terjadi dengan tiba-tiba pula, membuat kepalaku semakin pening.

Neil memandangku sekilas, aku pun menunduk letih. Aku punya perasaan bahwa dia tidak akan mengungkit masalahku dengannya. Bagus juga untukku, semoga aku bisa betah bekerja dengannya selama hari-hari ke depan.

Beberapa saat kemudian, Chef Rey dapat pesan dari keluarga Dean yang mengabarkan bahwa penjahat akan ditahan, dimintai keterangan atas perbuatannya dan Dean masih dioperasi akibat tusukan tadi. Keluarga Dean bilang akan segera menyelesaikan tuntutan. Setelah huru hara, rapat ditutup. Semua pulang dengan lesu, beberapa akan menengok Dean di rumah sakit. Tentu saja aku salah satunya yang ikut ke rumah sakit, kuharap operasi Dean berjalan lancar.

-

Thank God It’s Friday akan kembali mengisi hari kesukaanku, hari ini ada rapat pagi sekaligus hari terakhir Chef Rey bekerja di restoran. Chef Rey memberi salam perpisahan pada seluruh karyawan di akhir rapat pagi. Selama seminggu itu pula aku mulai terbiasa dengan Neil, sikap dia yang sering membuat salah paham, gelagatnya yang kikuk, cara dia menyampaikan sesuatu pun aku sudah paham. Jadi kesimpulanku adalah dia memang orang seperti itu, orang aneh yang disalahpahami. Tidak ada artinya aku kesal padanya, tentu saja kalau aku memikirkannya bisa merugikan diriku sendiri.

Nein! [7]” kataku, aku menuju kursiku usai rapat. Aku langsung duduk menenangkan James  atas kesedihannya ditinggal Chef Rey. Mereka berdua memang sobat karib selama 5 tahun bekerja di restoran ini. Tidak aneh kalau James bersedih.

“James! Bagaimana kalau kita nanti...” seseorang merebut percakapanku dengan James. Neil merangkul James menjauh dariku seakan mereka sudah lama jadi teman dan mengajaknya bicara tanpa henti. Ternyata dia banyak bicara juga, pikirku. Dia tersenyum ramah padaku di sela-sela pembicaraannya dengan James, membuatku merinding. Malah kurasa aku lebih bisa menangani tatapannya yang mematikan sekarang ini. Mungkin karena ini hari perpisahan dengan Chef Rey, dia jadi agak berubah. Ah orang Prancis satu ini, memikirkan asalnya membuatku jadi rindu dengan kampung halamanku.

-

Sekarang aku baru saja keluar dari kedai kecil pinggir jalan. Lega rasanya dapat libur tiga hari setelah empat bulan bekerja terus menerus satu shift dengan Neil. Sambil duduk aku menyesap latte ice di bangku pinggir jalan. Lagi-lagi aku merasa seseorang sedang mengamatiku. Tatapan tajam yang tidak mungkin dari mata Neil, karena setahuku Neil sedang bekerja sekarang.

Tapi siapa? Sedari tadi sampai sekarang dia hanya berdiri mematung di seberang jalan. Mungkin sesuatu akan terjadi lagi? Ah tidak, mungkin aku terlalu sensitif. Tiba-tiba angin menerpaku, bulu kudukku berdiri teratur. Aku pun memeluk lenganku yang kedinginan, kututupi rapat dengan jaket tipis sembari memberanikan diri melihat orang yang menatapku tajam.

“Riana!” Aku tersentak bangun, ternyata dia teman lamaku dari Prancis.

“Maafkan aku, apa aku tadi menakutimu Lyzz?” tanya Riana sambil tertawa bahagia sembari duduk di sebelahku. Aku dan Riana bercakap-cakap lama, sampai aku tahu Riana sudah mengunjungi ibuku lebih dulu sebelum berjumpa denganku.

“Apa kau masih mencari kakakmu?” tanya Riana hati-hati. “Ibumu bilang dia baru saja dapat kabar tentangnya. Seseorang mengirim paket dan mengaku bahwa dia kakakmu.”

Aku menatap Riana lama, kakakku pergi meninggalkanku dan ibu tiga tahun lalu karena suatu insiden. Ketika itu kita masih tinggal di Prancis yang akhirnya membuatku memutuskan untuk pindah ke Brussel. “Apa yang dia kirim?” tanyaku pada Riana.

“Sebenarnya aku takut kalau itu tipuan, soalnya dia mengirim foto-fotomu saat di tempat kerja.” Aku mengerutkan kening.

Riana mengambil amplop besar dari tasnya, lalu menyerahkannya padaku. Aku mengeluarkan isi amplop itu, beberapa foto! Fotoku di tempat kerja, bahkan dari jarak dekat. Siapa yang melakukannya? Tunggu dulu, dari jarak sedekat ini? Aku mengingat-ingat kejadian di dapur restoran dalam foto yang kupegang. “Neil! Dia yang berada di sini.” Riana mengangkat alis, meminta penjelasanku. “Aku yakin seribu persen bahwa dia yang mengambil fotoku.” Yang ini juga, dan ini, ini juga! Sudah cukup dugaanku.

Aku berhenti pada satu foto, sebuah foto lama. Fotoku dan kakakku waktu usiaku 4 tahun dan dia 7 tahun. Foto itu hanya ada dua ekslempar, satu untukku dan satu lagi kakakku yang membawanya. Sejenak aku merinding, “Mana mungkin dia? Bisa jadi dia hanya dimintai tolong mengambil fotoku. Mana mungkin Neil kakakku??!!”***

 

keterangan :

1 nyonya/nona.

2 tuan/pak.

3 menghias.

4 pasta bersaus bolognaise.                                        

5permisi.

6 minuman tradisional Slavia; campuran air, madu, dan rempah.

7 tidak.

Baca Juga: [CERPEN] Bukan Kekacauan yang Manis

Verified Writer

Jello sp.

//The writer with flowers in mind (✿^‿^)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya