[CERPEN-AN] Satu Hari yang Akan Selalu Kuingat

Tidak akan kubiarkan siapa pun melepas genggaman tangan kami

LUCA

“Hai, Miracle, selamat pagi.”

Tubuhku seketika membeku seiring riak di dada. Seketika itu pula darah menyapu wajahku. Kurasa, pipiku sudah menghangat menyadari siapa pemilik suara itu.

“Bagaimana tidurmu semalam?”

Male sudah duduk santai di mejaku. Menatapku hangat dengan senyum kecil di sudut bibir. Aku cuma mampu menatapnya sejenak, lalu refleks mengedarkan pandanganku ke setiap penjuru kelas. Berharap tidak ada yang menatap kedekatan kami dengan kening berkerut, tatapan bingung, atau mencibir yang kerap aku terima.

Sesungguhnya, aku sendiri tidak peduli seberapa besar pengaruhnya pada perasaanku mengingat hal itu sudah menjadi bagian dari hari-hariku. Tanpa sadar desahan halus lolos dari bibirku.

Seraut wajah yang tidak pernah manis sedikit pun melintas di hadapanku. Raut wajah yang selalu masam, tanpa senyum, kadang datar, selalu ketus, dan menyimpan segunung amarah yang siap meletus bila aku ada di dekatnya. Sosok yang seharusnya menjadi sandaranku, tempat aku berbagi banyak hal, keluh kesahku, kegembiraanku, juga kesedihanku. Sosok itu tidak pernah memberikan sedikit pun waktu dan kesempatan itu untukku. Perlakuan yang melukai hati. Sangat melukai hati. Secara perlahan merenggut rasa percaya diriku. Membuat aku merasa tidak berarti apa pun.

“Mama bilang, seharusnya Kakak Mama titipkan di panti asuhan. Mama menyesal telah membesarkan Kakak,” cemooh Minka setiap kami bertengkar karena hal kecil. Anehnya, Mama selalu saja menyalahkan aku, meskipun Minka yang salah.

“Andai itu terjadi, mungkin aku akan menjadi anak tunggal dan menguasai semuanya. Tidak perlu berbagi apa pun dengan Kakak. Kakak memang pembawa sial. Mama sering mengatakan itu kalau sedang marah dan menggerutu di kamar.”

Aku  selalu  kelu  dan  merasakan  sesuatu  yang mengiris di sudut hati. Terlalu sering Minka melontarkan kata-kata melukai itu. Sejak kami kecil. Mungkin karena dia menyadari dan melihat bagaimana perlakuan timpang Mama terhadapku. Bahkan, secara terang-terangan Mama juga selalu membandingkan aku dengan Minka. Tentu saja selalu Minka yang terbaik dan mendapat pujian.

Apa  pun  yang  aku lakukan  tidak  ada  yang  bisa  menyenangkan hati Mama. Tidak ada yang bisa membuat Mama terkesan atau bangga. Bagi Mama, aku sosok yang tak kasatmata. Ah, bukan. Aku lebih memilih sebagai sosok yang tak kasatmata daripada harus menerima celaan, kata-kata ketus menusuk hati, bahkan kemarahan Mama tanpa tahu apa kesalahanku. Bagi Mama, aku sosok yang tidak pernah gagal membuat perasaannya terluka dan meluap karena perasaan benci dan dendam setiap melihatku. Sesuatu yang sulit aku terima dan mengerti sampai kini. Ada akar pahit yang tumbuh di hati Mama dan Mama biarkan tumbuh pula di hatiku.

“Mulai lagi deh melamun,” usik Male mengembalikan aku pada realita.

“Berhenti memanggilku Miracle,” protesku lirih dengan suara tertahan.

“Aku menyukainya. Buatku kamu adalah keajaiban. Mengenalmu pun suatu keajaiban,” jawabnya serius. Masih dengan senyumnya yang hangat serta tatapan teduhnya yang tidak pernah gagal melumpuhkan hatiku.

Kepalaku tertunduk. Dia selalu membuat perasaan dan mataku menghangat. Selalu begitu. Sejak pertama aku mengenalnya. Hanya kepada dia aku berani membuka sedikit hatiku. Dia juga yang perlahan mampu menumbuhkan rasa percaya diriku yang pernah lesap entah ke mana. Setidaknya, aku merasa memiliki seseorang yang peduli dan menyadari keberadaanku. Seseorang yang tidak pernah melontarkan kata-kata melukai hati atau memasang wajah benci dan tatapan sinis bila ada di dekatku.

“Aku tidak mengerti, bagaimana bisa kamu lahir dari rahimku  sementara ikatan hati di antara kita tak ada? Setiap melihatmu, hanya amarah dan luka yang aku rasakan.”

Kalimat dingin bernada ketus yang kerap terlontar dari mulut Mama kembali terngiang di ingatanku. Kata-kata itu tidak pernah gagal menghadirkan aliran dingin yang menyergapku. Sejak itu aku menyadari bahwa aku hanya mimpi buruk buat Mama. Salahku jugakah bila suami kedua Mama, ayah Minka pun pergi meninggalkan Mama untuk selamanya?  Mama membiarkan  akar  pahit  itu tumbuh semakin kuat di hatinya. Menguasai semua ruang di hati Mama.  

Apa Mama tahu, separah apa kata-kata yang terlontar telah membuat aku kehilangan rasa percaya diriku? Berada di antara orang yang tidak peduli, sekalipun itu keluarga sendiri, orang-orang yang seharusnya ada untukku, membuat duniaku terasa hening  dan sempit. Sulit bagiku untuk memercayai seseorang. Membuatku tidak berani melangkah karena merasa tidak ada yang akan mendukung dan bangga denganku. Aku merasakan semua itu karena Mama dan Minka.

Kata-kata ketus, tajam bernada celaan, serta raut wajah Mama yang selalu memberengut setiap tatapan kami bertemu, tidak pernah gagal membuat dadaku menyempit seketika. Perasaan bahwa kehadiranku hanya membuat Mama terluka, kadang menimbulkan pikiran jahat tumbuh di kepalaku. Menggerogoti hatiku. Membuatku tersudut di tempat gelap. Sendiri dan tak seorang pun menginginkanku dan menyadari keberadaanku, membuatku ingin menghilang dari dunia ini.

Bagaimana bisa seorang ibu yang melahirkanku tega melukai hatiku? Bukankah aku buah cinta Mama dengan lelaki yang seharusnya aku panggil Papa, seandainya lelaki itu tidak mengkhianati dan meninggalkan Mama sejak aku dalam kandungan. Tentang kepahitan hidup dan luka yang aku miliki, kepada siapa aku bisa membaginya?

MALEAKHI

Ini untuk ke sekian kalinya aku mencoba berbincang akrab dengannya. Entah dorongan apa yang membuat aku tertarik dan membiarkan mataku selalu tertuju padanya. Selalu padanya. Sejak kami menghuni kelas yang sama, 11 IPA 2.

Aku tersenyum sendiri ingat reaksi Luca saat aku meminta nomor WA-nya. Tidak seperti biasanya ia menatapku cukup lama. Antara bingung, tidak percaya, dan mungkin juga curiga.

“Untuk apa?”

“Kalau malam aku tidak bisa tidur, aku punya seseorang yang bisa aku hubungi,” ujarku konyol.

“Apa?” Alis mata Luca hampir bertaut. Ia masih menatapku bingung.

“Ayolah, aku tahu kamu pun tipe orang yang tidak bisa tidur cepat. Tidak bisakah kita chatting daripada pikiran melayang enggak jelas?” pintaku dengan nada berseloroh. Aku sengaja mengatakan kekonyolan itu agar kami tidak merasa canggung karena mata pelajaran bahasa Indonesia mengharuskan kami berkolaborasi membuat cerpen. Ajaibnya, aku merasa senang bisa satu kelompok dengan Luca.

Luca, nama yang unik menurutku. Terdengar aneh saja orang tuanya memberikan nama itu kepadanya. Andai aku tidak mencari tahu artinya, aku pasti menyesalkan keputusan orang tuanya menyematkan nama itu. Sebab, teman-teman sekelas cenderung mengartikan lain. Bahkan, aku pun sempat mengaitkan namanya dengan seberapa dalam luka hati yang ia sembunyikan dalam kebisuan dan wajah sendunya.

Sesuatu yang benar-benar menggangguku dan memenuhi isi kepalaku. Aku tahu–setelah mengenalnya lebih dekat–Luca tumbuh bersama kesepian, luka hati, serta kabut yang tidak pernah seorang pun berusaha menghalaunya dari mata gadis itu.

Bagiku, Luca begitu berbeda. Selalu menyendiri, banyak menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan, tidak suka keramaian, dan bisa dibilang tidak pernah bersuara bila tidak ditanya. Ia seakan tidak peduli dengan sekelilingnya. Bahkan, sikap atau pandangan aneh dan enggan teman-teman sekelas pun tidak ia pedulikan. Aku tidak bisa menyalahkan mereka karena Luca sendiri yang menciptakan jarak itu, membatasi dirinya. Tidak seorang pun ia izinkan mendekatinya.

Raut sendu Luca dengan kabut di matanya mengusik nuraniku dan membuat aku ingin merengkuhnya. Perasaan asing yang membuat aku tidak mampu mengendalikan diri ingin selalu menyapanya, berbincang dan mengenal dia lebih dekat lagi, serta menjadi bagian dari hari-harinya. Entahlah, kurasa ada yang salah dengan diriku. Mungkin hatiku.

Kadang aku berpikir, bahkan tak habis pikir, bagaimana bisa seorang anak mengalami luka batin yang begitu dalam karena orangtuanya? Bukankah keluarga adalah rumah pertama yang seharusnya memberi kenyamanan, perasaan aman, dan perasaan bahwa diri si anak itu berharga, meskipun orang di luar sana tidak menghargainya. Saat seorang anak menerima penolakan dari orang tuanya, apa lagi yang membuat anak tersebut merasa layak untuk hidup?

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Mengalami penolakan dari orang-orang terdekat, apalagi orang tuanya sendiri, tentu saja kenyataan yang melukai hati. Kadang, membuat orang yang mengalaminya merasa tidak berharga lagi. Perasaan tidak berharga ini yang kerap membuat seseorang memilih bunuh diri,” ungkap Mama saat aku bertanya tentang sikap Luca.

“Pelaku bullying ini juga sebenarnya memiliki masalah psikologis. Apa sekolah memberimu tugas menulis tentang bullying yang akhir-akhir ini marak terjadi?”

Aku menggeleng.

“Ini tentang seseorang, Ma.” Entah mengapa, wajahku terasa memanas.

Mama menatapku penuh selidik.

“Seseorang yang membuatmu tidak berhenti memikirkannya dan tersipu bila membicarakannya. Hmmm, kapan kamu akan mengenalkannya pada Mama?” Mama mengerlingkan matanya.

“Bukan begitu. Nanti Mama akan mengerti setelah mengenalnya. Setahuku, dia juga tertarik masuk psikologi. Aku bilang saja kalau Mama seorang psikolog klinis,” kilahku sembari menyeringai.

“Ajak dia kemari. Siapa tahu kami bisa menjadi partner yang baik dalam segala hal. Ya, mungkin nanti. Kamu masih harus kuliah dan bekerja juga, ‘kan?” goda Mama.

LUCA

"Kita menang. Cerpen kita akan dibuat lagu,” sambut Male begitu kami keluar kelas. Senyum lebar tersungging di bibirnya.

“Maksudmu?” Aku menatap Male bingung. Sejak kami satu kelompok dalam tugas bahasa Indonesia, kami menjadi lebih dekat. Tepatnya, Male selalu punya cara jitu membuat aku merasa nyaman berteman dengannya. Tanpa aku sadari, aku sudah berbagi banyak cerita tentang keluargaku kepadanya.

“Cerpen kolaborasi kita tentang senja dan fajar pagi. Aku sudah minta izin  Bu Dame sebelum mengirimkannya ke Penakata. Ternyata, cerpen kita lolos dan terpilih untuk dibuat lagu, Luca,” cerocos Male sembari menyodorkan ponselnya kepadaku.

“Aku sudah tanya Kak Textratis, beberapa tulisanmu pun bisa kamu kirim ke sana. Tulisanmu rapi dan menyentuh karena kamu menulisnya dari hati.”

Aku masih bengong.  Di ponsel Male ada cerpen kolaborasiku dengan Male.  Namun, hanya namaku yang tertera di sana.

“Maleakhi Nahum Prawiro, tolong jelaskan padaku, apa arti semua ini?” sentakku tidak sabar dan semakin bingung melihat sikap Male yang penuh semangat.

“Aku minta maaf karena telah lancang membuat akun dengan nama kamu di Penakata. Itu sebuah komunitas menulis di mana aku bergabung di dalamnya. Aku hanya ingin kamu menyadari, kamu punya sesuatu yang membanggakan. Kamu istimewa dengan caramu.”

“Aku ....”

“Jangan pernah merasa tidak berarti. Jangan pernah menutup diri dan terpuruk. Seperti namamu, kamu bisa menjadi cahaya, pembawa cahaya. Aku harap dengan tulisanmu, kamu akan menjadi penuntun bagi orang-orang yang merasa tersesat sepertimu. Yakini itu, Luca Agatha,” Male sepertinya tidak memedulikan keherananku. Namun, semua kata-kata Male membekas dalam di sanubariku. Menghangatkan hatiku. Aku merasa, niat Male berteman denganku tulus.

“Oya, kamu tahu? Aku rasa tidak butuh waktu lama bagiku untuk menyukaimu. Bagaimana ini?” Male menggaruk kepalanya dengan mimik konyol.

What?! Aku mendelik. Namun, tak urung mukaku memanas mendengarnya.

“Hari ini jadwal kamu berbincang dengan Mama,” Male selalu pandai mengalihkan pembicaraan.

***

“Kebahagiaan itu bukan karena orang lain, tetapi ada dalam dirimu sendiri. Jangan menggunakan ukuran kebahagiaan orang lain untuk diri sendiri,” Tante Alma menatapku lekat. Sorot matanya teduh dan menenangkan. Sesuatu yang tidak pernah aku temui pada mata Mama. Sekarang aku mengerti bagaimana Male tumbuh menjadi sosok yang hangat dan peduli.

“Buka hatimu. Dunia di luar sana begitu luas. Sibukkan dirimu dan berprestasilah. Hati yang gembira adalah obat untuk hati yang luka dan semangat yang patah. Akan selalu ada seseorang yang peduli keberadaanmu. Kamu harus ingat itu, Luca. Semuanya bisa kamu mulai dari dirimu sendiri,” Tante Alma meraih tanganku dan menggenggamnya seolah mengatakan bahwa ia percaya aku mampu melakukannya.

Aku akan mengambil kesempatan itu, Tante, janji hatiku.

Aku bersyukur karena Tante Alma melahirkan seorang Maleakhi Nahum Prawiro. Dia, satu yang peduli keberadaanku dia antara banyak orang yang memilih tidak peduli akan kesepianku, luka batinku, perasaan diri tidak berharga, tersisih, dan dibenci. Satu hari yang akan selalu aku ingat, di mana Male mengulurkan tangannya dan melihatku tanpa tatapan aneh dan bibir mencibir. Dia ada saat aku merasa tersesat. Itu sudah cukup bagiku.

Aku hanya butuh satu orang saja untuk membuat aku bangkit, berdiri, dan mengembalikan rasa percaya diriku. Aku percaya kehadirannya dalam hidupku pun suatu keajaibanku. Satu hari yang mengubah hidupku dan aku yakin bisa mengubah hidup banyak orang lain dengan kondisi sepertiku. Bagaimana penindasan lewat kata-kata kerap terjadi dalam keluarga sendiri. Hanya butuh satu orang untuk peduli dan menerima keberadaan kita bahwa kita layak dan berharga.

MALEAKHI

Sejak pertama melihat dan mengenalnya aku berjanji. Aku akan membuatnya percaya bahwa akan selalu ada seseorang yang peduli padanya. Aku tidak akan membiarkannya tersesat. Aku akan menggenggam tangannya dan tidak akan aku biarkan siapa pun melepas genggaman tangan kami.

Aku ingin menjadi rumahnya. Tempat ia pulang dan beristirahat dari pergulatan hati dan kesesakan hidup. Aku bersedia memberikan sepasang bahuku untuknya bersandar. Menghapus air matanya, meyakinkan dia bahwa Tuhan selalu memberikan rancangannya yang terbaik dan tidak akan membiarkannya jatuh sampai tergeletak. Bila saat itu tiba dan Tuhan izinkan, aku berharap waktu tetap berpihak padaku.***

Sukabumi, 12 – 15 April 2019

Baca Juga: [CERPEN-AN] Waktu

Ana Lydia Photo Verified Writer Ana Lydia

God's plan is always more beautiful than our desire

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya