[CERPEN] Burung Kertas Impian

Kami akan terbang ke angkasa bersama burung-burung itu

”Sepuluh ribu. Lima belas ribu. Dua puluh ribu. Dua puluh dua ribu. Dua puluh tiga ribu. Alhamdulillah hari ini kita dapat uang dua puluh tiga ribu.” Di tepi sungai seorang anak kecil berpakaian lusuh itu merapikan uang dalam genggamannya. Raut wajahnya berbinar-binar. Menandakan dirinya tengah bahagia.

Anak kecil yang lainnya mengangkat tangan sembari melompat-lompat. Senyum mengembang dari bibir mungilnya. “Besok kita harus buat burung kertasnya lebih banyak lagi. Dan kita harus menjual burung kertasnya sedari pagi. Supaya bisa dapat uang lebih banyak.”

“Setujuu. Sekarang kita beli makanan untuk makan malam. Lalu kita beli kertas untuk membuat burung kertas.”

“Ayoo.” Dua anak kecil itu berlarian saling kejar. Tak ingin berada di posisi belakang.

***

Aku berdiri memandang pekatnya kehidupan kota Jakarta. Kini, di tempatku berdiri. Di tepi sungai Ciliwung. Tak seindah dahulu. Air yang dahulu berwarna putih bening kini tak tahu warna apa yang menghiasinya. Perpaduan antara hitam dan cokelat tua yang bercampur dengan warna hijau dari lumut-lumut yang menempel. Sulit untuk dijelaskan.

Ikan-ikan yang dahulu menjadi satu-satunya sumber protein hewani bagi diriku dan keluargaku kini telah terganti oleh plastik-plastik sampah. Udara yang begitu segar berubah menjadi udara tidak sehat yang bercampur dengan bau busuk. Pohon dan batu di pinggiran sungai telah tergerus oleh rumah-rumah penduduk yang berdiri reyot di bantaran sungai.

Byuurr…

Mataku beralih pada sumber suara. Dari arah sana terlihat seorang wanita dengan baju daster kebesaran melongok dari jendela rumahnya. Membawa sesuatu seperti keranjang. Tangannya terulur ke depan memegang keranjang dengan posisi terbalik. Seperti sedang mengeluarkan sesuatu dari keranjang itu. Membuangnya ke sungai yang sudah penuh sesak dengan sampah.

***

“Pak, Bu, ayo dibeli burung kertasnya. Tidak mahal. Hanya seribu saja.”

“Teman-teman ayo beli burung kertas kami. Hanya seribu harganya. Tidak mahal kan?”

Tanpa kenal lelah dua bocah laki-laki itu menjajakan burung kertas buatan mereka. Di perempatan jalan. Taman bermain. Hingga taman kanak-kanak mereka singgahi. Dari matahari mulai menyembulkan sinar di ufuk timur hingga matahari menghilang ditelan malam di ufuk Barat.

“Mah mau burung kertas itu.” Dari dalam mobil anak perempuan berambut dikepang dua itu menunjuk burung kertas yang tengah dijajakan bocah laki-laki itu.

“De. De. Kemari. Ibu mau beli burung kertasnya.” Ucap seseorang yang tadi dipanggil ‘mah’ oleh anak perempuan berkepang dua.

Merasa terpanggil, salah satu bocah laki-laki menghampiri mobil yang ditumpangi anak perempuan berkepang dua. Menyelinap di antara kendaraan-kendaraan yang tengah terhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah. Kaki kecilnya yang ramping dengan cekatan melewati celah antara kendaraan yang satu dengan kendaraan yang lain. Wajahnya bergembira. Senyumnya merekah bak orang tertimpa emas.

“Mau beli berapa Bu?”

“Aku mau dua. Yang warna merah sama biru.”

“Nih, burungnya. Semoga kamu suka.”

“Aku suka banget. Kamu buat sendiri?”

“Aku buat bersama kakakku.”

“Berapa harganya?” Ibu dari anak perempuan berkepang dua itu menyela percakapan mereka.

“Dua ribu, Bu.”

“Oh. Ini uangnya. Kembaliannya ambil saja,” ucap Ibu itu sembari mengulurkan uang pecahan lima ribu rupiah. Lampu lalu lintas berganti warna menjadi oranye. Tak lama kemudian berganti menjadi hijau. Kaca mobil itu tertutup. Perlahan mobil itu berjalan meninggalkan bocah laki-laki itu. Sang bocah laki-laki menoleh ke arah kiri. Mulai menepi ke bahu jalan dengan hati-hati.

***

“Aku capek Kak,” bocah laki-laki yang terlihat lebih muda dari bocah laki-laki lain yang disebut ‘kakak’ olehnya mengeluh.

“Kita istirahat dulu saja. Setelah itu kita lanjutkan lagi.”

Kedua bocah itu pun duduk bersandar di sebuah dinding rumah makan. Meluruskan kedua kaki mereka. Matanya menatap lurus deretan mobil dan motor yang saling berkejaran.

“Kak, aku capek setiap hari harus berjualan burung kertas seperti ini.”

“Kakak juga capek. Kakak juga bosan. Kakak juga jenuh seperti ini terus. Namun apa yang harus kita perbuat untuk memperbaiki kehidupan keluarga kita?”

“Kenapa kita tidak mencuri atau mencopet saja?”

“Keluarga kita memang miskin. Tetapi bukan berarti kita bisa dengan mudahnya melakukan pekerjaan yang tidak halal seperti itu.”

“Jika kita mencopet, tentu saja kita tak akan kepanasan seperti ini. Kita hanya perlu mencopet satu atau dua orang saja. Itu pekerjaan mudah bukan?”

“Kakak tidak suka kamu berbicara seperti itu.” Bocah laki-laki yang menyebut dirinya sebagai kakak bangkit berlalu meninggalkan adiknya yang masih termenung di dinding rumah makan itu. Kembali menjajakan burung kertas buatannya di kerumunan kendaraan yang tengah menanti lampu lalu lintas berganti warna menjadi hijau.

***

”COPEETT.. COPEET..”

Mataku menoleh ke sumber suara. Badanku tergerak untuk berbalik. Menatap sekerumunan manusia berlari berkejaran ke satu arah. Kaki-kaki mereka bergerak ke depan dengan teratur. Bergerak cepat tak ingin tertinggal oleh yang lain.

Aku mengalihkan pandanganku saat merasa ada yang menepuk bahuku. Menoleh ke belakang. Terkejut. Melihat seseorang laki-laki dewasa berdiri tegap tepat di hadapanku. Mengenakan setelan kemeja bergaris vertikal berwarna biru dongker. Tingginya menjulang melewati tinggi tubuhku. Diriku terdiam. Terbengong-bengong. Kucubit lenganku. Kukucek mataku. Kukedip-kedipkan kedua mataku. Sungguh, ini merupakan kejutan untukku.

Tubuhku tergerak mendekati orang di hadapanku. Kuhempaskan tubuhku ke dalam pelukan laki-laki itu. Tak peduli apa yang dibicarakan orang-orang di sekitar kami yang menyaksikan. Berpelukan bak teletubbis di perempatan jalan. Kulampiaskan rasa kangenku terhadapnya. Kupeluk erat dirinya. Seakan tak ingin kembali merasakan kehilangan. Setetes air mataku jatuh meleleh. Segera kuseka dengan telapak tanganku. Tak ingin laki-laki yang kupeluk erat menyadarinya.

“Kamu semakin ganteng saja.”

“Kakak semakin tampan saja.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku lepaskan pelukanku dengan perlahan. Takut tak bisa melakukan hal itu lagi. Kupandangi wajah kakakku. Kutelanjangi setiap lekukan wajahnya yang terlihat sangat dewasa. Sepertinya kakakku melakukan hal yang sama dengan apa yang sedang aku lakukan. Ia terlihat memperhatikanku.

***

“Bagaimana kabarmu?”

“Seperti yang kakak lihat. Aku baik-baik saja. Dan yang pasti aku semakin tampan.” Kuperlihatkan deretan gigiku. Menyengir.

“Kalau kakak bagaimana kabarnya?” kulempar balik pertanyaan kakakku tadi.

“Ya. Sama sepertimu. Keadaanku seperti ini. Seperti yang kau lihat. Semakin bertambah ganteng.” Kembali kusunggingkan senyumku.

“Sudah 15 tahun kita tidak bertemu. Hari-hariku sepi tanpamu.”

“Kakak bisa saja. Hari-hari sungguh ramai dengan ada atau tidak adanya kakak.”

“Sungguh kau ini sangat menjengkelkan. Sikapmu tak pernah berubah sedari dulu.”

“Sikap Kakak pun seperti itu. Selalu ingin terlihat dewasa.”

“Kini aku memang sudah dewasa. Tidak seperti dirimu yang hingga kini masih saja bersikap seperti anak kecil penjual burung kertas.” Ahh.. Aku bingung harus membalas apalagi. Kubungkam suaraku. Memilih untuk diam dari pada melanjutkan pembicaraan konyol ini.

Kuseruput jus jeruk di hadapanku. Kulihat wajah kakakku yang kurindukan. Sedari tadi sudah kusadari kantung di bawah matanya terlihat besar. Apa yang membuatnya kurang tidur? Begitu sibukkah dirinya? Rasa penasaranku membuncah.

“Aku boleh menanyakan sesuatu?”

“Tanyakanlah.”

“Sungguh ini pertanyaan konyol, tetapi tolong jawablah. Apa yang membuat kantung matamu tampak begitu besar? Apakah pekerjaanmu sungguh menyita waktu tidurmu?”

“Hampir saja kulupa. Bagaimana ceritamu sebagai seorang anak kecil penjual burung kertas yang selalu mengeluh bisa sukses seperti orang di hadapanku saat ini?”

“Sifat kakak saat ini bertambah satu. Suka mengalihkan pembicaraan.”

***

“Azzam.. Gilang.. Ibu kalian.” Seorang ibu lari tergopoh-gopoh menghampiri bocah penjual burung kertas.

“Ibu kami kenapa?”

Ibu itu tidak menjawab. Ia menarik lengan kedua bocah itu. “Kalian sebaiknya pulang. Ayoo.”

“Mengapa rumah kami ramai?”

“Ayo masuk.”

Kedua bocah itu memasuki sebuah rumah reyot. Mata mereka menyusuri keanehan yang terjadi dalam ruangan itu. Mengapa banyak sekali orang di sini? Sedang apa mereka? Matanya terpaku saat melihat sebuah meja panjang di tengah ruangan.

Di atas meja itu seperti ada seseorang yang tertutup oleh kain putih dari ujung kaki hingga ujung rambut. Firasat buruk menyergap keduanya. Perlahan kaki mungil mereka mendekati. Mereka bersimpuh di dekat meja. Tangan salah satu bocah itu tergerak untuk membuka kain yang menutupi wajah seseorang yang terbaring di meja. Betapa terkejutnya mereka. Sosok yang mereka cintai kini terbaring lemah tak bernyawa. Tangis mereka pecah.

“Ibu.. Jangan tinggalin Gilang sama ka Azzam. Ibu banguunn.”

“Ibu bangun. Azzam masih butuh Ibu.”

***

“Kita berpisah di sini ya.”

“Kakak harus janji, 15 tahun kemudian kita ketemu di sini lagi. Tanggal 27 Juni jam 11.30.”

“Kakak janji.”

Dua bocah itu mengaitkan kelingking mereka. Lalau berpelukan. Erat. Sangat erat pelukan mereka. Seakan tak mau terpisah walau sesenti saja.

***

Saat itu, 15 tahun yang lalu.

Kehilangan itu sungguh menyakitkan. Membawa luka dalam yang membekas. Setelah kepergian ayah 3 tahun lalu, Ibu banting tulang menghidupi kami. Hingga akhirnya Ibu jatuh sakit. Hal itu mengakibatkan aku dan kakakku harus merelakan waktu bermain kami untuk berjualan burung kertas.

Aku berjalan tanpa arah. Mengikuti saja ke mana langkah kakiku mengarah. Berbekal sebuah tas kumal berisi beberapa potongan baju, aku bertekad ‘aku pasti bisa, aku harus membuktikan itu pada Kak Azzam.’

Berjalan tanpa henti. Ke sana kemari mencari sesuap nasi. Sungguh pekat kehidupan kota Jakarta. Menjadi pengamen di perempatan jalan, di bis kota hingga dari rumah ke rumah sudah kutekuni. Hanya itu pekerjaan yang kuandalkan agar mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan perutku. Emperan toko telah menjadi kasur nyaman bagi tubuhku. Dinginnya malam tak kuhiraukan asal diriku bisa menutup mata melepaskan kelelahan yang menggelayuti tubuhku.

Beberapa tahun berlalu. Aku mulai mencari peruntungan dengan pekerjaan yang lain. Menjadi penjual gorengan yang dititipkan padaku di pasar. Menjadi pencuci piring di salah satu restoran. Hingga usiaku menginjak 17 tahun. Aku melamar di sebuah perusahaan percetakan sebagai petugas kebersihan. Kutekuni pekerjaan itu dengan sikap jujur dan disiplin yang selalu diajarkan orang tuaku.

Dua tahun sudah aku menjadi petugas kebersihan. Atas usul teman-temanku jabatanku diangkat. Aku banyak belajar dari sana. Gaji yang kudapat selalu kusisihkan. Berkat kerja kerasku, kini aku telah mempunyai perusahaan percetakan yang khusus mencetak kertas origami. Kertas yang dahulu selalu aku lipat menjadi burung kertas. Kertas yang menjadi awal karirku untuk berusaha. Aku tak bisa melupakan kertas-kertas itu.

Kakakku, yang dahulu selalu menjadi partner kerja yang baik bagiku, kini telah mempunyai perusahaan travel. Yang melayani berbagai penerbangan dalam dan luar negeri. Penerbangan dengan pesawat yang menggambarkan burung kertas lipatan kami. Kakakku pun tak pernah melupakan burung kertas yang dahulu menjadi penghidupan keluarga kami.

Kini kami, GILANG dan AZZAM. Dua bocah penjual burung kertas di perempatan telah terbang bersama burung-burung kertas itu. Terbang menembus langit kehidupan yang pekat. Mengitari angkasa untuk menjajakan burung-burung kertas impian ke seluruh penjuru dunia.***

Baca Juga: [CERPEN] Langit Senja yang Melukis Luka

Fauziyah Annisa Photo Writer Fauziyah Annisa

wanita biasa yang mulai berkarya melalui tulisan

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya