[CERPEN] Sang Nakhoda

Kisah di penghujung tahun

Perjalananku dimulai di sebuah kapal yang hendak berlayar mengarungi samudra, dari dermaga satu ke dermaga lainnya. Saat mentari hendak menyapa bumi, nakhoda berujar, "Kita berada di kapal besar. Aku di sini, sebagai nakhoda tidak akan menjadi otoriter dalam menakhodai. Kesepakatan dan mufakat adalah jalan terjal yang harus kita lewati".

Dermaga satu, berhasil kami lewati. Menginjak pada dermaga kedua, gesekan antara keinginan nakhoda dan keinginan awak kapal mulai menghangat. Nakhoda ingin terus berlayar, namun sang awak kapal, hasil analisisnya mengharuskan kami berhenti, bersandar sejenak. Ada badai besar yang bisa saja meluluhlantahkan kapal ini jika kami terus berlayar. Karena awak adalah awak. Nakhoda adalah nakhoda yang memiliki kemudi sepenuhnya. Hingga yang awak kapal analisis pun terjadi. Kapal ini mulai oleng diterjang badai. Awak kapal satu per satu mulai berguguran.

Pada dermaga ketiga, kebutuhan kami akan penunjang kapal sangat besar. Akibat badai yang menerjang, mengharuskan kami merekrut awak baru dan logistik baru. Seorang awak kapal dengan posisi sebagai Kepala bidang Kajian internal Kapal berujar, "Kita harus mencari yang memiliki kualifikasi sesuai kebutuhan. Jangan asal comot, harus dipastikan bahwa mereka siap berlayar hingga dermaga terakhir".

Namun, entah apa yang dipikirkan sang pemilik kemudi, dia memasukkan siapa pun yang dia kehendaki. Tiga di antara awak kapal baru adalah mereka yang memiliki kualifikasi yang dibutuhkan dalam kapal ini. Ketiga orang inilah yang akan mengambil peran penting di pelabuhan terakhir.

Perjalanan dimulai kembali dengan awak kapal baru yang mengisi posisi-posisi yang tak terisi. Menuju pelabuhan keempat, banyak awak yang terjun meninggalkan kapal. Mereka berdalih tak kuasa menahan berat beban yang dihasilkan dari keputusan sang nakhoda, yang katanya tidak otoriter dan siap melalui jalan mufakat.

Sebelum sampai dermaga, nakhoda mengusulkan untuk merekrut awak kapal baru. Ini hal yang ditakutkan oleh sang awak yang duduk di bidang kajian internal. Dia menolak itu dan mengusulkan untuk merekrut di dermaga keempat. Namun, nakhoda mengambil kebijakan dengan berdalih "kita kekurangan kekuatan untuk berlayar".

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Sang awak berujar dengan hasil analisisnya, perjalanan ke dermaga keempat tidak begitu sulit. Kita hanya melewati perairan dangkal dan gelombang tenang. Kembali lagi di sini siapa yang memiliki kemudi seutuhnya. Hingga bersandar di dermaga keempat, kapal memiliki awak yang baru.

Setelah beristirahat dan menguji awak kapal baru dengan ujian yang ringan, kapal mulai berlayar menuju dermaga kelima, dermaga yang akan memisahkan awak kapal dengan sang nakhoda. Saat berlabuh di dermaga kelima, kapal harus sudah memiliki nakhoda baru. Sang awak kapal atas posisinya sebagai kajian internal, mengusulkan untuk segera menentukan siapa yang akan diusung oleh internal.

Sebelum dari para penumpang ada yang mengusulkan diri untuk menjadi nakhoda. Rapat demi rapat, pleno demi pleno tak satu pun dari internal yang diusung untuk menggantikan nakhoda. Hingga pada saatnya tiba, terjadilah dualisme dukungan kepada tiga awak kapal yang disebutkan di awal, yang menjadi awak kapal berpotensi untuk menggantikan.

Awak pertama pengalaman yang mumpuni, baik selama berlayar maupun saat bersandar. Penghargaan demi penghargaan diraih, tak salah jika sang kepala bidang kajian internal mengusulkan awak ini maju menggantikan nakhoda lama. Awak kedua pengalaman mumpuni, kemampuan luar biasa dan jadi usungan sang nakhoda. Yang ketiga, berpotensi untuk maju namun terjadi intervensi kepadanya dari sang pemilik kebijakan. Dia mengundurkan diri.

Tepat pada bulan Desember, puncak dari ketidakpastian kebijakan nakhoda, terjadi hal-hal di luar nalar manusia. Gesekan demi gesekan. Bukan antara awak, tetapi awak dengan nakhoda. Banyak awak yang tutup mulut karena takut dengan sang kemudi. Intervensi demi intervensi terjadi kepada penumpang maupun awak kapal pertama yang diusung. Hingga pada puncaknya, mengalah adalah jalan terbaik untuk sang awak kapal itu. Kekalahannya bukan tanpa perjuangan dan kekuatan bukti atas apa yang terjadi. Tetapi memendamnya demi keberlangsungan kapal adalah jalan terjal yang harus dipilih.

Baca Juga: [CERPEN] Teruntuk Ia yang Kutitipkan Luka

Arief Taupiqurrohman Photo Writer Arief Taupiqurrohman

Pecinta senja, penikmat kopi.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Indiana Malia

Berita Terkini Lainnya