“Kenapa, sih, dulu kita nggak menikah saja?”
Aku terdiam mendengar pertanyaannya. Matanya menatapku lekat.
“Tiap minggu kita duduk di sini, berbagi keluhan mengenai pasangan kita. Do we truly love our spouse?” ia melontarkan pernyataan dan pertanyaan sekaligus.
Aku menghela napas sambil menghempaskan punggung di sandaran bangku. Ia benar. Setiap Minggu pagi kami bertemu di kafe mungil ini untuk saling menumpahkan keluh kesah terhadap pasangan kami masing-masing. Kami sama-sama sudah menikah selama 10 tahun. Artinya, pertemuan ini setidaknya sudah terjadi selama 520 kali. Aku merasa keluh kesah bersama inilah yang membuat kami sama-sama bertahan di rumah tangga masing-masing. Aku yang lelah terus menerus disalahkan oleh suamiku di rumah. Dia yang tak tahan dengan istrinya yang terus menerus menuntut materi meski ia sudah mencapai posisi senior manager di perusahaan elektronik ternama.
“Gue bener-bener capek sama si Lila. Duit lagi, duit lagi. Mau lakinya jadi presiden direktur juga bakal ada kurangnya terus. Kenapa, sih, dia nggak bisa mandiri kayak lu? Kerja, punya penghasilan sendiri, bisa meringankan beban suami, bahkan orang tua. Bermanfaat pula ilmu lu buat orang banyak. Nggak cuma alasan sibuk antar jemput anak, tapi sambil nunggu anak-anak sekolah dia nongkrong di kafe mahal ngabisin duit gue!” ia mulai menumpahkan lagi keluh kesahnya.
“Heh, yakin lu mau punya istri kayak gue? Paling lu bakal sama aja kayak si Bara. Ngeluh gue nggak pernah masak lah, nggak pernah becus beresin rumah, lah. Padahal, tiap pagi juga sarapan gue yang buatin. Pokoknya apa-apa gue mulu yang salah!” aku pun ikut menyemburkan uneg-unegku.
“Kalau gue mau istri bekerja, ya nggak mungkin, lah, gue nuntut lu masak,” dia berkata sambil menatapku lagi.
Aku memalingkan pandanganku ke jendela di sampingku. Tatapannya selalu membuatku lemah. Sejak dulu, sejak kami sama-sama duduk di bangku kuliah.
Pandanganku menangkap sepasang muda-mudi yang bergandengan tangan di trotoar. Mereka tampak berbagi earphone nirkabel berdua sambil mendengarkan lagu bersama. Sesekali mereka tampak saling tatap dan bernyanyi bersama.
“Hei, lihat deh, mereka kayak kita dulu,” sahutku sambil menunjuk ke arah trotoar. Ia menatap arah yang ditunjuk, lalu tersenyum.
“Bedanya, dulu kita pakai Walkman, earphone kabel, dan splitter,” gelaknya. Kami pun tertawa bersama. Masa-masa indah itu kembali terlintas di benakku.
***
Aku duduk bersila di sudut gedung berbentuk segi delapan. Angin sejuk Kota Bandung di pagi hari berhembus menemaniku. Masih 2 jam sebelum kuliah dimulai. Kuhabiskan waktuku dengan membaca komik Harlem Beat sambil mendengarkan lagu "This Love" dari Maroon 5 yang mengalun dari Walkman hitamku. Datang lebih pagi, menghirup udara segar, baca komik sambil mendengarkan lagu, adalah saat yang berharga bagiku. Namun, waktuku yang tenang itu tiba-tiba buyar ketika sosok lelaki kurus berambut ikal muncul di hadapanku sambil tersenyum cengengesan.
“Ngapain lu datang pagi-pagi?” tanyaku heran melihat kawanku yang satu ini tiba-tiba muncul.
“Eh, gue pinjam tugas lu, dong. Gue yakin punya lu pasti udah beres. Gue belum kelar, nih,” jawabnya cepat.
Aku menatapnya sebal. Kebiasaan kawan-kawan lelakiku adalah, menyalin tugasku. Aku yakin, setelah ini tugas yang kubuat dengan rapi semalam suntuk akan berputar ke kawan-kawan yang lain hingga akhirnya kembali kepadaku dalam keadaan lusuh. Tak jarang lembar tugasku terkena percikan kopi atau kesundut rokok sehingga terpaksa aku harus menyalin ulang tugasku sendiri.
“Buruan, gue sengaja datang pagi-pagi sampai belum mandi, nih. Sebelum tugas lu dipinjam anak-anak lain,” ucapnya memaksa.
Aku raih sejilid kertas dari ransel dan kuberikan padanya. Sigap dia mengambil dan segera ikut duduk bersila di sampingku sambil menyiapkan kertas dan pena. Sebelum mulai menyalin, ia meraih salah satu earphone dari telingaku dan memasangkan di telinganya. Aku mendelik protes.
“Oh, Maroon 5. Besok gue bawain kaset Linkin Park, deh! Biar semangat gitu pagi-pagi,” ucapnya tanpa menghiraukanku. Ia pun mulai menulis sambil menganggukkan kepalanya mengikuti irama lagu.
Dio namanya. Sejak kami berkenalan di masa orientasi mahasiswa baru, ia menjadi salah satu kawan terdekatku. Alasan utamanya, karena kami memiliki selera musik yang sama. Kami sering saling pinjam kaset dan mendengarkan lagu bersama-sama, seperti hari ini. Dio juga pelahap berbagai jenis buku. Berkunjung ke toko buku setiap minggu adalah wajib bagi kami. Bukan untuk membeli buku, tapi untuk menumpang membaca buku yang belum bisa kami beli.
Suatu hari, Dio tersenyum lebar menghampiriku sambil membawa benda hitam yang tampak seperti kabel.
“Apa itu?” tanyaku heran.
“Ini namanya splitter atau pemisah kabel audio,” jawabnya sambil meraih Walkman hitam milikku. Ia menyambungkan benda mungil itu pada Walkman milikku. Ternyata, benda itu berfungsi untuk membagi suara dari sumbernya melalui dua buah adapter, yang kemudian dapat disambungkan pada dua buah earphone yang berbeda. Dio menancapkan earphone milikku dan miliknya di masing-masing adapter.
“Nah, sekarang kita bisa mendengarkan musik bersama dengan earphone masing-masing,” ucap Dio sambil tersenyum lebar.
Aku bersorak girang dan memeluknya. Mendengarkan musik bersamanya sangat aku sukai dan pemisah kabel audio ini seakan menjadi solusi agar kami tidak perlu lagi berbagi satu earphone berdua. Kami pun memasang earphone masing-masing dan mulai memutar kompilasi lagu dari kaset milik Dio. Lagu "Twenty Something" dari Jamie Cullum mengalun. Kami mendengarkan lagu bersama sambil berjalan kaki dari kampus kami di Jalan Ganesha, menyusuri Jalan Dago yang rindang, menuju sebuah toko buku besar di Jalan Merdeka. Hawa sejuk Kota Bandung menemani langkah kaki kami yang mengayun seiring dengan irama lagu yang mengalun. Sambil berjalan kaki, Dio menggerakkan jari-jarinya seolah ia memainkan piano. Aku menggoyangkan bahuku mengikuti irama. Kami berdendang dan bergoyang bersama. Berjalan kaki menjadi tidak terasa melelahkan, bahkan kami menikmatinya. Setibanya di toko buku, kami membaca sambil mendengarkan musik bersama. Tenggelam dalam fantasi diksi dan lantunan irama.
Rutinitas ini terus berlangsung saat kami memulai karier di Jakarta. Kantor kami berada di gedung yang sama dan rumah kos kami berdekatan. Praktis, pulang kantor berjalan kaki sambil mendengarkan lagu bersama menjadi aktivitas kami sehari-hari. Pun saat kami menyusuri jalanan Jakarta menggunakan bus. Kami duduk berdampingan sambil mendengarkan lagu bersama. Walkman hitamku sudah bertransformasi menjadi iPod sehingga lebih banyak lagi jenis lagu yang dapat kami dengarkan bersama. Saat hari mulai gelap, kami bergandengan tangan melewati gedung-gedung pencakar langit ibukota yang sibuk memancarkan polusi cahaya. Denting piano dan suara merdu Alicia Keys menemani langkah kami bersama, menikmati senja.
Aku tidak bisa mengingat dengan pasti kapan aktivitas rutin kami itu berhenti. Mungkin saat aku mulai dekat dengan Bara, lelaki yang kubanggakan karena ia tidak minder pada wanita karier. Atau kala Dio sibuk mendekati Lila, sosok perempuan yang menurutnya paling pantas menjadi ibu bagi anak-anaknya. Hari berlalu dengan berbagai kesibukan dan kehidupan percintaan kami masing-masing. Aku menikah dengan Bara dan Dio menikah dengan Lila. Rutinitas berbagi lagu bersama berganti menjadi pertemuan seminggu sekali di kafe favorit kami di bilangan Jakarta Selatan. Kami saling berbagi kisah indah kehidupan awal pernikahan, kebahagiaan saat memiliki anak, kemudian berkembang menjadi keluh kesah anak tantrum dan uang sekolah mahal, hingga berujung pada saling menumpahkan kekesalan pada pasangan masing-masing yang kami anggap terlalu banyak menuntut.
20 tahun pertemanan kami mengalir layaknya alunan musik yang kami putar bersama. Kami tidak pernah saling mempertanyakan perasaan masing-masing. Aku tidak pernah bertanya pada diriku sendiri, apakah aku mencintai Dio. Pun dengan Dio, ia tidak pernah menyampaikan perasaannya kepadaku. Kami menikmati pertemanan ini layaknya kami menikmati musik. Semua mendadak indah dan tidak terasa membosankan saat musik mulai berdendang di telinga kami. Jenuh, lelah, dan gundah mendadak hilang. Ya, semua mendadak menyenangkan saat aku bersama Dio.
***
“Mungkin karena ketika bareng lu, semua hal selalu jadi menyenangkan…” ucapku tiba-tiba. Dio memalingkan wajahnya dari jendela dan menatapku.
“Maksudnya?” ia bertanya.
“Tadi kan lu nanya, kenapa kita dulu nggak menikah saja…” ucapku menggantung. Dio masih menatapku. Menunggu ucapanku selanjutnya.
“Menurut gue kita nggak mungkin menikah karena kalau kita bareng itu selalu menyenangkan, Dio. Seperti saat kita jalan kaki berdua berbagi musik pakai splitter. Dunia yang melelahkan mendadak berubah menjadi indah. Sama lu itu begitu. Selalu indah, selalu senang, padahal kan menikah itu…”
“Ada dukanya. Menikah nggak selalu indah dan gue nggak bisa membayangkan kalau harus menghadapi duka bareng lu,” sahut Dio menyambung ucapanku. Sebuah jawaban yang sama dengan apa yang selalu ada di benakku. Pertemanan kami terlalu indah dan menyenangkan. Seindah lagu-lagu yang kami dengarkan bersama. Aku tidak ingin keindahan ini rusak hanya karena ada lagu sumbang di antara kami berdua.
Kami bertatapan cukup lama, hingga akhirnya kami tersenyum dan tertawa bersama.
Dio mengeluarkan splitter, menyambungkan pada iPhone miliknya, lalu berucap, “Mau dengar playlist baru gue nggak? Dijamin lupa lu sama si Bara yang ngeluh mulu sama masakan lu.”
Aku terbahak sambil memasang earphone milikku. Irama ceria dan suara seksi Yura Yunita pun mengalun di telinga kami. Kami berdendang dan bergoyang bersama. Kali ini, kami tidak mendengarkan musik sambil berjalan kaki. Namun, kami berbagi lagu sambil duduk berhadapan untuk saling meringankan beban masing-masing.