Hari ini terasa lebih berat dari biasanya. Langit mendung menggantung sejak siang, membuat suasana murung. Bosku marah-marah lagi, dan orang-orang di kereta makin hari makin beringas. Tapi, ada hal lain yang lebih menggangguku. Sepanjang perjalanan pulang dari kantor, pikiranku terus memutar ulang kejadian tadi pagi.
Aku masih bisa mendengar suara adik perempuanku, Rani, yang meninggi saat meminta uang untuk membeli merchandise grup K-Pop favoritnya. Katanya, hanya dia di antara teman-temannya yang belum punya merchandise itu. Aku bilang tidak bisa, gajiku bulan ini sudah menipis karena biaya obat Ibu. Tapi Rani tetap bersikeras dan tak henti menggerutu selama bersiap-siap ke sekolah.
Lalu, ada Dimas, adik laki-lakiku yang juga meminta uang lebih. Ia bilang untuk mencetak tugas dan fotokopi, tapi gelagapan saat kutanya tugas apa. Sudah bisa ditebak, ia pasti hanya ingin mentraktir pacarnya. Aku sudah berkali-kali bilang, jangan pacaran sebelum punya modal sendiri. Tapi ia selalu ngotot kalau itu bukan pacarnya, hanya teman dekat. Dikiranya aku anak kemarin sore yang bisa dikelabui begitu saja. Saat aku hanya memberinya uang saku dengan jumlah seperti biasa, Dimas pun ikut bersungut-sungut.
Di antara semua itu, ada Ibu. Duduk lemah di sofa ruang tamu, menolak saat aku bilang lebih baik berbaring saja. Sesekali beliau terbatuk-batuk sambil mencoba menegur sikap adik-adikku. Kata dokter, Ibu hanya flu ringan. Tapi, sejak Ayah tiada dua tahun lalu, setiap gejala kecil pada Ibu terasa seperti ancaman besar. Aku tahu aku terlalu cemas. Tapi, siapa lagi yang akan menjaga mereka kalau bukan aku?
Setelah menyusuri jalan dengan penerangan seadanya, aku tiba di depan rumah. Aku menarik napas panjang sambil membuka pagar. Aku sempat berpikir untuk berjalan lebih lama, menunda kepulangan, menunda menghadapi adik-adikku yang masih membuatku kesal. Tapi aku tahu, lari tidak akan menyelesaikan apa pun. Lagipula aku sudah capek, dan aku ingin tahu keadaan Ibu.
Seraya aku melangkah ke depan pintu, aku mulai mencium aroma sup hangat. Lampu ruang tamu menyala, dan suara tawa pelan terdengar dari dalam. Aku pun membuka pintu, dan pemandangan itu membuatku terdiam. Rani duduk di karpet, memijat kaki Ibu dengan lembut. Dimas di sebelah Ibu, menyuapi beliau dengan sendok kecil sambil sesekali bercanda. Ibu mengunyah dengan mata berbinar meski tubuhnya masih lemah. Mereka bertiga kompak menoleh dan menyambutku dengan senyuman.
Aku masih berdiri di ambang pintu, tak mampu berkata apa-apa. Semua kekesalan tadi pagi, semua keluhan dan rasa lelah, seketika luluh. Hilang entah ke mana. Yang tersisa hanya rasa haru yang mengalir pelan dalam dada.
"Eh, Mbak Mila sudah pulang. Ayo makan, Mbak, supnya masih hangat," kata Rani sambil tersenyum lembut. Dimas lalu menimpali dengan candaan usil khasnya, "Duduk, Mbak. Jangan malu-malu, anggap aja rumah sendiri."
Aku tertawa kecil dan mengangguk, lalu duduk di dekat mereka. Rani menyendokkan nasi dan sup ke mangkuk, sementara Dimas menuangkan air untukku. Tidak ada permintaan maaf, tidak ada penjelasan. Tapi tidak masalah, aku tidak membutuhkannya. Kalau dipikir-pikir, kata maaf belum tentu membuatku luluh. Lebih baik seperti ini. Karena cinta tak selalu tentang ucapan. Ia bisa hadir dalam pijatan lembut, dalam suapan kecil, dalam senyuman yang menghapus luka.
Adik-adikku tidak sempurna. Tapi, aku pun tidak. Sejak kecil, kami tidak selalu akur, tapi selalu ada. Suatu saat nanti, kami akan berpisah dan hidup masing-masing. Tapi aku akan terus mengusahakan yang terbaik bagi mereka, dan aku yakin bahwa mereka juga begitu. Seperti yang dulu Ayah pernah bilang, kami tidak boleh lupa bahwa kami berada di tim yang sama.
Malam itu, kami makan bersama. Tidak mewah, tidak tanpa masalah. Tapi saat melihat wajah Ibu yang sudah lebih segar, serta Rani dan Dimas yang sesekali cekikikan, aku tahu aku tak akan menukar momen ini dengan apa pun.
Dan aku percaya, kami akan baik-baik saja.