[CERPEN] Janji di Stasiun Jember

- Seorang pria meninggalkan Stasiun Jember setelah berjanji akan kembali.
- Pria tersebut merasa marah harus kembali ke Jakarta dan meninggalkan kekasihnya di Jember.
- Keduanya saling berjanji untuk bertemu lagi dan memangkas jarak di antara mereka.
Sinar matahari dan udara sejuk menyertaiku menuju pintu masuk stasiun itu. Stasiun Jember, stasiun yang membuatku jatuh hati sejak pijakan kaki pertama 5 hari lalu. Namun, pagi ini aku tidak suka melihatnya. Di sebelahku, Dian melangkah pelan. Mulutnya terkunci sejak kami berangkat dari penginapan. Ia bukan sedang marah, aku tahu. Ia hanya takut air matanya akan jatuh saat mulai berbicara.
Kalau ada yang marah, mungkin itu aku. Marah pada waktu yang berlalu begitu cepat. Marah pada jadwal kereta yang tak bisa ditawar. Marah pada fakta aku harus kembali ke Jakarta, ke kehidupan normal di rumah bersama keluarga. Tidak masuk akal, memang. Tapi, sejak kapan cinta masuk akal?
Di ruang tunggu, kami masih terdiam. Aku memainkan tiket di tanganku, melipat dan membukanya kembali berulang-ulang. Beberapa kali aku melirik Dian. Tatapannya lekat ke lantai di depannya, tapi aku tahu ia tidak melihat apa pun. Entah sudah berapa menit kami duduk saat aku akhirnya mendengar suaranya, lirih dan sedikit serak.
"Nanti kamu beneran ke sini lagi kan?"
Matanya tak berpaling, masih lurus menatap ke depan. Aku menghela napas, mencoba tersenyum sembari meraih tangannya yang dingin.
"Aku janji, ini bukan yang terakhir," kataku, entah untuk yang ke berapa kalinya sejak kemarin. Ingatanku kembali ke momen malam tadi saat Dian memelukku erat sambil berlinang air mata. Ia berkali-kali bertanya apakah aku akan kembali, apakah aku kapok jauh-jauh datang menemuinya. Berkali-kali pula aku berjanji. Tidak masalah buatku. Kalau aku harus mengucap seribu janji untuk meyakinkannya, aku akan melakukannya.
Dian mengangguk pelan. Ia masih tidak mau menatapku, meski mataku tak lepas dari wajahnya. Aku menggenggam tangannya sedikit lebih erat. Ia membalas, meski dengan sedikit bergetar. Tekadnya untuk tidak menangis sungguh luar biasa, mungkin ia malu menangis di depan umum. Karena itulah aku menahan diri untuk tidak memeluknya. Aku hanya menggeser tubuhku lebih dekat.
"Sayang..." panggilku pelan.
Dian menoleh. Akhirnya kami bertatapan lagi, tapi hanya sebentar karena ia segera berpaling.
"Aku suka jember. Rasanya lebih enak di sini, terutama karena ada kamu." Aku tersenyum lebar, mencoba menghangatkan suasana. Dian tidak menoleh, tapi aku tahu ia bisa melihat senyumanku dengan ekor matanya. Ia pun tersenyum, tidak seriang biasanya, tapi tulus.
Tiba-tiba, pengumuman kedatangan kereta mengagetkan kami. Aku mendengarnya dengan jelas, kereta Sri Tanjung dengan tujuan akhir Stasiun Gubeng, Surabaya. Itu keretaku. Aku melihat jam untuk memastikan. Pukul 09.39, tidak salah lagi.
Aku menghela napas sambil berdiri. Dian diam sebentar sebelum ikut berdiri. Aku mengangkat ranselku dari lantai dan memakainya, lalu menatap Dian sekali lagi.
"Nanti kita ketemu lagi ya," kataku sambil tersenyum. Itu bukan salam perpisahan, tapi peneguhan janji. Lalu aku meraih Dian dan memeluknya. Tubuhnya kaku, tapi tidak masalah. Aku hanya ingin merasakan kehangatannya sekali lagi sebelum berangkat. Ketika aku melepasnya, matanya berkaca-kaca. Namun, ia masih bisa menahan air matanya dan tersenyum. Ah, Dianku, kamu memang perempuan tangguh.
Saat melangkah ke peron, aku menengok dan melihatnya sekali lagi melalui kaca. Ia berdiri diam di sana, tapi matanya seolah ingin menyusulku. Aku melambai, dan ia membalas. Aku berjanji dalam hati bahwa ini bukan terakhir kali aku melihat wajahnya secara langsung. Setelah mengucap janji itu, barulah aku berbalik dan melangkah masuk gerbong.
Seraya aku duduk dan menyamankan diri, mataku lekat menatap keluar jendela. Aku tidak bisa melihat Dian lagi dari sini, tapi setiap detail wajahnya masih jelas. Tak lama kemudian, stasiun mulai bergerak. Atau mungkin akulah yang bergerak, menyusuri rel bersama kereta ke Surabaya, lalu lanjut ke Jakarta. Aku menghela napas, menyadari jarak kami mulai menjauh dan akan terus menjauh. Tapi aku tahu, ada saatnya aku akan memangkas jarak lagi.
Aku tahu, aku akan kembali.