[Cerpen] Masih Aku, dengan Irama yang Baru

Pukul lima pagi. Seperti biasa, alarm berbunyi dengan nada yang sama, nyaring dan mengganggu, seolah-olah berusaha mengingatkan Tara bahwa hari baru telah dimulai, meskipun tubuh dan pikirannya belum siap untuk itu.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah tirai jendela yang belum sepenuhnya terbuka. Di luar, langit masih berwarna biru gelap, dan suara dunia belum terdengar.
Dalam keheningan itulah ia sering bertanya: “Sampai kapan aku akan begini terus?”
Rutinitasnya tak pernah meleset. Bangun pagi, memasak bekal sehat untuk makan siang, bersiap dengan tergesa, lalu berjalan cepat ke stasiun. Di dalam kereta yang penuh sesak, ia berdiri diam di antara lautan tubuh-tubuh yang saling berhimpitan. Tak ada ruang untuk berpikir, bahkan untuk bernapas dengan tenang. Sampai akhirnya ia tiba di kantor, duduk di depan laptop, dan mulai bekerja seperti biasa membuka email, meeting, menulis laporan. Semua berjalan seperti roda mesin yang berputar tanpa henti. Pulang malam, makan, lalu tidur dalam keadaan lelah yang tak sempat ia pahami sepenuhnya.
Pekerjaannya sendiri sebenarnya tidak membuatnya menderita. Ia menyukai tantangan yang datang, merasa puas saat idenya diapresiasi, dan bangga ketika berhasil menyelesaikan project besar. Tapi perlahan-lahan, ia merasa ada sesuatu yang menghilang. Rasa senang itu tidak lagi terasa penuh. Seolah ada ruang kosong di dalam dirinya yang makin hari makin melebar.
Ia mulai merasa tidak terkoneksi dengan siapa pun. Kegiatan yang dulu membangkitkan semangatnya, kini hanya terasa seperti daftar tugas yang harus diselesaikan agar ia bisa tidur tanpa merasa bersalah.
Ia menyadari dirinya berubah. Ia mulai mudah lupa, sulit fokus, dan menjauh dari orang-orang terdekat. Saat akhir pekan tiba, yang dulu ia tunggu-tunggu sebagai momen penyembuhan, kini justru membuatnya cemas. Minggu sore menjadi saat paling menyesakkan karena artinya, besok siklus ini akan berulang lagi.
Dalam keadaan yang samar-samar, Tara mencoba bertahan. Ia memaksakan diri untuk kembali ke kebiasaan lamanya yang sehat: memasak sendiri, berolahraga, mengurangi kafein. Ia mencoba membagi waktu agar semua berjalan seimbang. Tapi semakin keras ia berusaha, semakin ia merasa kehilangan dirinya sendiri. Ia merasa seperti sedang mengejar versi ideal dirinya yang tak kunjung bisa ia gapai. Bahkan tidur pun terasa seperti kemewahan yang mahal.
Sampai akhirnya, di suatu malam yang sepi, saat hanya bunyi jam dinding yang terdengar, ia menuliskan sebuah pertanyaan besar di jurnalnya: “Apakah aku benar-benar menikmati semua ini?”
Ia berhenti menulis, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara. Ia tahu jawabannya, meskipun sulit untuk diakui: tidak. Ia tidak menikmati hidupnya. Ia sedang bertahan, bukan menjalani.
Titik balik itu datang bukan dari satu kejadian besar, melainkan dari keberanian untuk mendengar suara hatinya sendiri yang selama ini ia tutup rapat. Ia sadar bahwa selama ini ia berjalan di jalan yang lurus hanya karena orang lain melaluinya. Ia takut berhenti. Takut dianggap gagal. Tapi kini, ia tahu: berhenti bukan berarti menyerah. Kadang, itu berarti memberi diri sendiri kesempatan untuk memilih ulang.
Ia membayangkan dirinya berdiri di sebuah persimpangan besar. Di hadapannya terbentang dua jalan. Jalan pertama adalah jalur cepat yang padat, penuh dengan orang-orang yang tampak tahu ke mana mereka pergi. Jalan kedua adalah jalan kecil, lebih sepi, tidak banyak yang memilihnya. Tak ada jaminan sampai lebih cepat, tapi di sana, ia bisa melangkah dengan tenang. Bisa bernapas tanpa tergesa. Bisa menemukan kembali makna dalam setiap langkah.
Esok paginya, Tara tetap bangun pukul lima. Tapi kali ini, tidak ada alarm. Ia membuka jendela, membiarkan angin pagi masuk dan menyapu wajahnya yang lelah. Ia menyeduh teh hangat, bukan kopi, dan duduk di kursi dekat jendela lebih lama dari biasanya.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak terburu-buru. Dan dalam keheningan itu, Tara tahu: ia tidak sedang mundur. Ia sedang memilih untuk berjalan di jalur yang bisa ia nikmati, meskipun tak semua orang akan mengerti.
Karena pada akhirnya, hidup bukan soal seberapa cepat kita sampai, tapi seberapa dalam kita merasakan perjalanan itu.