[CERPEN] Lembaran tentang Ayah

Usman membuka kembali lembar buku hariannya, yang ditulisnya kurang lebih 9 tahun yang lalu. Lembar tersebut berisi cerita Usman tentang ayahnya yang terserang stroke, dan berbagai hal lainnya:
Sore hari, menjelang kemarau, tiba-tiba Ibu menelepon, mengatakan bahwa kondisi Ayah tengah memburuk, karena serangan stroke, akibat asma kronis, yang membuat paru-parunya tak bisa memompa oksigen ke otak. Serasa mendengar petir tunggal, hatiku tak tenang, kududukkan anakku semata wayang, ke kereta dorongnya, walaupun sudah berumur 6 tahun, ia belum bisa berjalan, karena kelainan syaraf, karena itulah satu-satunya cara dia untuk bergerak tanpa digendong, adalah dengan kereta dorong.
Ibu menelepon sambil menangis, memintaku pulang, yang dengan sekejap membuatku bimbang bukan kepalang. Bagaimana tidak bimbang? Anak dan istriku di sini, di Yogyakarta, sementara kedua orang tuaku ada di Padang sana. Siapa nanti yang akan menggendong Ali, anakku. Biasanya setiap hari, aku yang menggendong dia sampai lobi sekolah, baru nanti ada perawat yang kami bayar, mengambil kursi roda di ruang kelasnya Ali. Dengan kursi roda itulah Ali menuju ke kelasnya di lantai dua, naik lift satu tingkat dari lobi.
Itu beberapa bulan yang lalu, saat itu aku memilih pulang ke Padang, menaiki pesawat, karena itulah satu-satunya kendaraan tercepat yang bisa membawaku ke Padang, mengingat kondisi Ayah yang sedang kritis. Ketiga adikku yang berada di luar Sumatera Barat juga pulang ke Padang. Mereka ingin melihat kondisi Ayah, sayangnya dua orang adikku, yang bekerja dan kuliah di luar negeri, tak bisa melihat Ayah dari dekat, sampai kepulangan mereka ke luar negeri. Prosedur operasional ICU di Rumah Sakit Umum di Padang yang berbelit-belit, membuat mereka hanya bisa memandangi Ayah dari pintu kaca.
Pada awal Mei, aku harus pulang ke Yogya, karena ada urusan pekerjaan. Sebenarnya agak berat hati meninggalkan Ayah, yang masih di ICU, dengan kondisi kritis. Beliau dibuat tidak sadar, untuk memasukkan ventilator melewati kerongkongannya. Tujuannya adalah untuk memperlancar arus oksigen ke tubuh beliau, karena paru-parunya tidak bisa berfungsi dengan baik lagi.
Setiap malam, aku dan adikku yang nomor tiga, selalu menemani Ibu tidur di lantai koridor ruang ICU, karena memang keluarga pasien, yang dirawat di ICU, tak mendapatkan ruangan. Sementara setiap jam, selalu saja, perawat memanggil keluarga pasien untuk mengambil sendiri obat untuk si pasien, di apotek, entah itu di rumah sakit, ataupun di luar rumah sakit. Penggunaan asuransi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan pun tak berpengaruh dengan jumlah biaya perawatan yang dikeluarkan, boleh dikata selama dirawat di rumah sakit, sudah ratusan juta uang keluar, untuk membayar biaya perawatan Ayah.
Baru pada bulan Puasa, menjelang Lebaran, aku ajak anak dan istriku untuk mengunjungi Ayah di Padang. Tak seperti biasanya, kali ini kami harus berusaha sendiri untuk mencapai rumah, yang terletak di daerah Andalas. Tak ada yang menjemput, semua seolah meninggalkan Ibu dan Ayah, padahal dulu ketika Ayah masih sehat, mereka semua mengerubungi kedua orang tuaku itu, selayaknya lalat mengerubungi kue.
Awalnya kehadiran kami seperti tiada arti, akan tetapi, aku, istri, dan anakku tetap mencoba sabar, dan berprasangka baik, mungkin Ibu sedang tertekan, akibat sakit Ayah yang tak kunjung sembuh. Ayah juga tak jarang marah-marah, ketika apa yang dikatakannya tak bisa kami pahami. Anakku tetap menikmati liburan di Padang, terutama karena adikku yang bungsu selalu menemani anakku bermain. Ibu jadi sedikit terhibur dengan kehadiran kami sekeluarga di Padang, terutama karena beliau tak ada tempat untuk bercerita. Karena itulah, ketika Lebaran kedua, kami pulang, beliau cukup sedih. Kami juga sedih harus meninggalkan Padang. Akan tetapi, liburan sudah hampir berakhir, dan anakku harus segera masuk sekolah kembali di sebuah sekolah di Yogyakarta.
Untuk mengobati rasa khawatir dan rindu, tiap hari Ibu kutelepon, setelah aku tiba di Yogyakarta. Lama-kelamaan, karena kondisi Ayah stagnan, kalaupun ada perkembangan, hanya sedikit, aku memutuskan untuk tidak menelepon Ibu tiap hari, paling tidak 3 hari atau seminggu sekali, aku menelepon Ibu untuk menanyakan keadaan Ayah. Sebenarnya ingin aku kembali ke Padang, membantu Ibu merawat Ayah, karena aku paham bahwa tidak mudah bagi beliau untuk merawat Ayah sendirian. Persoalan ongkos lah yang membuat aku belum bisa kembali ke Padang. Biaya perjalanan ke Padang cukup mahal, minimal pulang pergi bisa menghabiskan 3-4 jutaan. Biaya yang tak sedikit, untuk orang seperti aku.
***
Panas memanggang siang tadi, perlahan hilang ditelan gelap malam. Belum begitu dingin, tetapi paling tidak, panas tidak semembakar siang tadi. Di teras rumah, aku duduk sendirian, memandangi jalanan, tempat motor dan mobil berlalu-lalang. Pikiran melayang, mengenangkan keadaan Ayah. Dengan tracheostomy di leher, yang membuat beliau tak bisa mengeluarkan suara, sementara tangan dan kaki kiri tak bisa digerakkan akibat stroke.
Masih teringat jelas, bagaimana Ayah yang enerjik, bahkan tidak segan-segan memanjat untuk membenarkan talang air di lantai dua. Naik-turun tangga setiap hari, dari pagi sampai pagi lagi, terkadang tidur hanya dua jam, atau kurang. Jikalau aku mengkritik hal itu sekarang, pasti Ibu selalu bilang, itu demi anak-anaknya, beliau tunggang langgang mencari uang, untuk mencukupi kebutuhan hidup anak-anaknya.
"Sebenarnya kalau kau tak macam-macam dulu, mungkin sekarang kau sudah jadi dokter menggantikan Ayah." Begitu Ibu selalu berhasil berkelit, dan menimpakan kesalahan padaku sebagai anak tertua. Aku memang tidak bisa dan tidak mau menjadi dokter. Aku dan adikku Nurhayati, kami berdua dibesarkan dalam kondisi Ayah yang bekerja hampir 24 jam, mengabdi sebagai seorang dokter, yang idealis dan berpegang teguh pada sumpah dokter, yang baginya sama dengan sapta marga-nya TNI.
Keadaan itulah yang membuat kami enggan mengikuti jejak Ayah sebagai seorang dokter. Nurhayati, walaupun sempat diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, ia tetap memutuskan berkuliah di Fakultas Teknik di kampus yang sama. Aku juga pada akhirnya memutuskan berkuliah di Fakultas Filsafat, fakultas dan jurusan, yang sama sekali jauh dari kedokteran.
Selain itu, Ayah adalah orang yang keras dalam mendidik dan bersikap pada anak-anaknya, terutama pada aku dan Nurhayati, mungkin ketiga adikku tidak sempat merasakan lekat tangan Ayah yang keras seperti saat dia mendidik kami. Aku pernah ditendang, suatu kali, karena tidak memahami apa yang telah diajarkan Ayah, saat itu aku masih kelas dua Sekolah Dasar. Akan tetapi, saat menghadapi ujian Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) SD, didikan Ayah yang keras inilah, yang membuatku bisa lulus ujian dengan nilai tertinggi di sekolahku.
Masa-masa awal kuliah di Filsafat, aku masih merasakan sikap keras Ayah, sebagai seorang yang berasal dari keluarga ulama, kakekku almarhum adalah seorang ulama di Padang. Beliau juga adalah fungsionaris Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), yang sangat bermusuhan dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Atas dasar inilah, ketika aku pulang dari Jogja, membawa setumpuk buku Karangan Karl Marx, Tan Malaka, dan Pramoedya Ananta Toer, Ayah marah besar, dan berniat akan membakar buku-buku yang kubawa itu. Dia tak mau anaknya membaca buku-buku yang dianggapnya menyebarkan ideologi komunisme. Untungnya buku-buku itu tak jadi dibakar, karena pertolongan ibu dan nenekku almarhum, merekalah yang bilang ke Ayah, kalau buku itu sudah tak ada di rumah, karena memang kutitipkan di rumah seorang kawanku.
Cerita tentang Kakek yang hampir dibunuh PKI, selalu diulang Ayah, sebelum kepergianku kembali ke Yogya. Ceritanya dulu Kakek almarhum sempat akan dieksekusi oleh fungsionaris PKI, matanya sudah ditutup kain, lubang untuk kuburan sudah digali, akan tetapi entah kenapa beliau tak jadi dibunuh. Mungkin inilah yang membuat keluarga Ayah dan sebagian orang Minang tak menyukai PKI. Selain itu, mungkin provokasi militer juga cukup berperan. Terutama indoktrinasi Orde Baru lewat film Pengkhianatan G30S/PKI, yang harus ditonton oleh warga negara Indonesia, membuat PKI selayaknya setan yang harus dibasmi.
Aku masih ingat bagaimana Ayah mengajakku menonton film itu sampai pagi. Sebagai seorang anak yang polos, aku turut marah melihat alur cerita yang mengisahkan “Kekejaman PKI”. Baru di Jogja aku paham kalau itu semua adalah palsu, dan rekayasa Rezim Orde Baru semata, untuk menyebar kebencian terhadap PKI, yang menjadi musuh utama rezim selama puluhan tahun,
Itulah Ayah, seorang yang keras hati. Jika hatinya sudah berkehendak, maka hal itu harus terjadi. Karena itulah dia seringkali meminta kami untuk menurunkan kakinya ke lantai, supaya ia bisa berdiri dan berjalan lagi. Hal yang mungkin tidak begitu berpengaruh, karena kondisi beliau yang lumpuh sebelah akibat stroke, tidak bisa dengan mudah disembuhkan. Apalagi umur beliau yang sudah kepala enam, hal yang membuat pemulihannya menjadi lebih lama.
***
Tengah malam telah lewat, aku sendirian terjaga merenungi hidup. Teringat kata-kata Ibu, “Coba kau dulu tak macam-macam, mungkin Ayah tak seperti ini sekarang”.
Ya Bu, aku paham, aku memang tidak bisa memenuhi harapan Ibu dan Ayah, aku memang pemberontak, tidak hanya pada Ibu dan Ayah, tetapi juga kepada pemerintah dan sistem yang tidak adil dan zalim. Mungkin ini jalan hidupku, walaupun materi berlimpah, seperti yang Ibu dan Ayah dapat, belumlah bisa aku dapatkan, karena memang susah mendapatkan hal itu sebagai seorang lulusan Fakultas Filsafat.
Walau bagaimanapun aku tak menyesal telah memilih jalan hidup ini. Walaupun harus hidup miskin, atau pun sampai tak mampu hidup lagi, aku tak akan menyesal. Aku hanya ingin anak dan istriku bisa tetap hidup dengan kondisi seperti ini. Aku juga selalu mendoakan Ayah dan Ibu supaya diberi kesembuhan dan kesehatan oleh Allah SWT. Entahlah doa itu sampai atau tidak, hanya Allah SWT yang tahu.
Usman kemudian menutup buku hariannya tersebut. Gerimis agak deras di luar rumah. Hari ini, 25 Desember 2024, sudah hampir 9 tahun ayahnya pergi. Tak terasa air matanya berlinang mengenang ayahnya dan masa lalu. Dibacanya doa-doa untuk ayahnya yang sudah tiada tersebut. Setelah itu, ia bangkit dari duduknya, menuju ke kamar anaknya Ali untuk membantu anaknya tersebut ke tempat tidur. Hujan semakin deras, dan malam menjadi semakin dingin.