Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Mereka adalah Iblis

ilustrasi seorang mendongak ke sumber cahaya (pexels.com/ArtHouse Studio)

Tepat di tahun ini aku lulus kuliah dengan predikat cumlaude, tentu saja rencanaku selanjutnya adalah mencari pekerjaan, ku pikir akan mudah bagiku mencari pekerjaan kenyataannya tidak. Menjadi anak terakhir sungguh tidak enak, kakakku sudah menikah dan kini semua beban akan dilimpahkan padaku. Hari demi hari kupandangi laptop dan smartphoneku hanya untuk mencari pekerjaan, ya, sekarang mencari pekerjaan cukup dimudahkan dengan internet namun untuk masuk sebuah perusahaan tidak semudah itu.

Puluhan email sudah kukirim ke setiap perusahaan, pagi itu sebuah notifikasi muncul dari ponselku. Sebuah undangan interview, raut wajahku semu dan bingung di satu sisi aku senang akhirnya aku punya kesempatan untuk bekerja tapi disisi lain perusahaan ini cukup jauh dari rumahku, “Tidak ada salahnya mencoba.” batinku.

Ditemani embun pagi aku sudah bersiap-siap dengan kemeja putih dan celana hitam, bahkan ayam pun belum berkokok, apa boleh buat setelah kulihat di maps jarak ke perusahaan tempatku interview memakan waktu 2 jam kuharap hasilnya tidak mengecewakan.

Setelah melewati beberapa test dan interview aku dinyatakan lolos dan akan mulai bekerja minggu depan, hari itu aku tidak langsung pulang aku berpikir untuk mencari kos di dekat kantor agar tidak memakan waktu dan biaya. Setelah berkeliling akhirnya aku dapat dengan harga lumayan murah, kos ini lumayan bagus, aku pun bingung pada ibu kos yang berani menyewakan dengan harga murah “Apa tidak rugi ya?” gumamku.

“Di sini hanya ada 6 orang penghuni termasuk kamu.” kata ibu kos.

“Jangan pergi ke basemen.” lanjutnya.

“Memangnya kenapa bu?” tanyaku.

“Basemen itu sudah menjadi gudang dan penuh dengan barang.” ucapnya sambil melengos pergi.

Alasan yang terdengar klasik tapi aku tak peduli aku hanya butuh tempat untuk ditinggali.

Satu hari sebelum aku bekerja aku sudah mulai pidah ke kos agar esok hari aku bisa langsung berangkat bekerja. “Kenapa kos ini sepi sekali? Ke mana para penghuninya? Apakah mereka introvert? Padahal aku ingin berkenalan dengan mereka biar bagaimana pun kami akan menjadi tetangga.” Tanyaku dalam hati sambil memandangi sekitar lorong kamar yang sepi.

Kos ini terdiri dari 2 kamar yaitu kamar tidur dan toilet sementara dapur kami berbagi bersama dengan penghuni lainnya. Kamarku ada di lantai 1 karena katanya dilantai 2 khusus kamar perempuan, aku berkeliling sebentar dan pergi ke dapur untuk mengambil minum.

“Kamu penghuni baru?” suara yang berat itu muncul dari belakangku. Aku menoleh dan memberi senyum ramah sambil mengangguk, pria itu menjulurkan tangannya “Aku Rian, kamarku di sebelahmu” ucapnya.

“Aku Aldi.” ucapku sambil membalas juluran tangannya.

Di tengah dapur kami duduk sambil makan cemilan dan sesekali bercerita, di tengah obrolan Rian berkata “Jangan terlalu akrab dengan penghuni sini dan sebaiknya tidak ikut campur urusan mereka.”

Aku memasang wajah bingung dan penasaran.

“Mereka sangat emosional jadi abaikan saja mereka” lanjutnya.

Aku sebenarnya tidak mengerti yang dimaksud pria ini, kenapa dia bicara seperti itu. Aku masuk ke kamar karena harus menyiapkan untuk bekerja besok namun cacing di perutku sudah meronta-ronta. Akup un pergi ke dapur untuk memasak mi instan, terlihat 5 orang sedang duduk sambil tertawa seketika menoleh ketika aku memasuki dapur. “Mungkin mereka penghuni lainnya” batinku, aku tersenyum ramah kepada mereka dan merekapun membalasnya namun senyum mereka terlihat berbeda.

Dua hari sudah aku tinggal di kota ini dan dua hari sudah aku tinggal di kos ini, hari ini aku lembur jadi aku baru pulang jam 8 malam, entah kenapa suasana malam di kos sangat berbeda sepi dan lembap. Aku menyusuri lorong untuk menuju ke kamarku, di tengah-tengah aku sedikit terkejut dan tertegun sesosok pria di ujung lorong berdiri dengan tatapan menyeramkan melihat ke arahku, aku melanjutkan langkahku namun pria itu tersenyum “Kenapa seram sekali padahal dia sedang tersenyum” batinku. Aku menghiraukannya dan cepat-cepat masuk kamar.

Seminggu berlalu keanehan mulai nampak di kos ini mulai dari suara-suara yang muncul dari basemen, orang-orang yang tidak banyak bicara, dan orang yang suka menggedor pintu kamar sambil tertawa. Aku ingin pindah dari sini tapi gajiku belum turun karena baru seminggu aku bekerja belum lagi harus memikirkan biaya makan dan hidupku, mengingat aku sendirian di sini aku harus bisa mengatur keuanganku.

Malam ini aku lembur lagi, sebenarnya aku cukup senang karena gajiku pasti lumayan banyak karena ada uang lembur tapi semoga badanku selalu diberi kesehatan untuk menajalaninya.

Saat aku hendak menaiki tangga tidak sengaja aku melihat pria yang tersenyum seram padaku, ia jalan kearah basemen “Oh shit! Dia membawa pisau, apa yang dia lakukan?” aku takut namun cukup penasaran, aku mengikuti pria itu dengan langkah yang pelan. Ternyata ada banyak ruangan di bawah sini, terdengar suara orang tertawa, aku semakin mendekat dan seketika jantungku berhenti berdetak, aku tertegun melihat kelima orang itu termasuk Rian yang kukira paling normal di antara yang lain sedang tertawa sambil menyiksa seseorang yang entah siapa.

“Sedang apa mereka? Kenapa mereka melakukan ini?” ada banyak pertanyaan di kepala ku. “Kurasa mereka semua gila.”

Aku keluar dari basemen dengan perasaan takut, aku lari ke kamar dan mengunci rapat-rapat mungkin aku tidak akan bisa tidur malam ini. Semakin malam semakin mencekam dan pertanyaan dalam kepalaku tak kunjung usai, “Apa yang mereka lakukan? Kenapa mereka mengeroyok orang itu hingga tak bernyawa, haruskah aku lapor polisi?"

Yup, kurasa memang harus lapor bahwa ini tindakan kriminal tidak bisa didiamkan begitu saja. Dengan suara bergetar aku mencoba menelpon polisi, belum sempat aku bicara tiba-tiba ada yang mengetok pintu kamarku, aku sangat takut.

Ketika aku membukanya mereka berlima sudah berdiri di depan kamarku dengan tatapan tajam badanku bergetar aku sangat takut “Apa mereka tahu aku mengintip?” batinku. Rian berkata “Audah kubilang dari awal kamu seharusnya tidak mencampuri urusan orang lain.” Aku yang panik langsung membanting pintu dan duduk di pojok kamar dengan perasaan campur aduk.

Keesokan harinya aku terbangun di lantai, kurasa aku tertidur semalam. “Aku harus pindah dari sini.” pikirku. Aku akan membawa sedikit demi sedikit barangku, aku keluar kamar sambil melihat keadaan sekitar “Tidurmu nyenyak?” itu suara Rian, aku menoleh dan melihatnya tersenyum seolah tak terjadi apa-apa “Kamu mau kopi?” lanjutnya. “Maaf aku harus berangkat kerja.” ucapku sambil pergi meninggalkannya.

Selama perjalanan ke kantor aku terus memikirkan kossan itu, tempat apa itu sebenarnya, kenapa mereka sangat menyeramkan, haruskan aku lapor polisi tapi aku tidak punya bukti kuat CCTV pun tidak ada. Ah rasanya aku tidak ingin pulang malam ini.

Aku sudah membawa sebagian bajuku tapi aku tidak tau harus kemana, di tengah kebingungan aku teringat laptopku yang tertinggal di kamar, haruskah aku kembali ke kos, banyak data penting yang tidak bisa kutinggal. Dengan langkah berat aku memutuskan untuk kembali hanya untuk mengambil laptop dan mungkin aku akan menginap di rumah temanku untuk beberapa hari sampai aku mendapat tempat tinggal baru.

Baru beberapa langkah aku menyusuri lorong, tiba-tiba bukkk!! Sebuah balok kayu mendarat tepat di kepalaku, aku terjatuh di lantai tak sadarkan diri namun samar-samar aku mendengar “Kita habiskan malam ini!”

Aku tersadar mencoba membuka mata “Kenapa gelap sekali? Kenapa aku tidak bisa bergerak?” ucapku dalam hati sambil mencoba mencerna keadaan. Yup, sepertinya aku akan mati malam ini menjadi santapan mereka yang sedang memandangku seperti harimau lapar.

Sebelum memasuki kos sebenarnya aku sudah mengirim pesan pada temanku Kevin jika dalam 10 menit aku belum kembali dari kos, aku harap Kevin segera menyusulku dengan membawa polisi. Aku banyak bercerita pada Kevin tentang kos ini dan saat ini aku benar-benar membutuhkannya.

“Kita harus membereskan sisa korban sebelumnya agar tidak meninggalkan jejak.” ucap Rian pada keempat orang gila itu. “Ke mana mereka pergi...” batinku sambil melirik keadaan sekitar. Aku sadar inilah kesempatanku untuk kabur dari tempat mengerikan ini.

Aku mencoba membuka ikatan ini syukurlah hanya menggunakan lakban, aku jalan dengan perlahan agar mereka tak mendengar langkahku dengan tubuh gemetar aku berharap mereka tak menyadarinya.

“Aldi!!!”

“Aldii!!”

“Kamu di mana?"

Itu suara Kevin, aku segera bergegas pergi namun kurasa mereka mendengar teriakan Kevin. Oh shit mereka mengejarku, tinggal sedikit lagi aku bisa meraih pintu itu “Keviiiiiiin tolong akuuuu!!!” Aku berteriak sekencang mungkin dan bukkk!!! Polisi mendobrak pintu itu dan menodongkan pistol ke arah bedebah itu. Kakiku lemas tapi hatiku tenang karena aku selamat.

Pagi ini aku tebangun di rumah Kevin, untuk beberapa hari aku masih akan di kota ini karena polisi masih membutuhkan keteranganku.

Hari demi hari berlalu aku memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuaku dan memilih untuk resign, sedih rasanya harus meninggalkan pekerjaan yang sudah susah payah kudapatkan namun, apa boleh buat aku tidak ingin diselimuti rasa trauma karena kejadian itu.

Ini sidang terakhir untuk memutuskan hukuman apa yang layak untuk iblis-iblis itu, hakim memutuskan hukuman mati kepada mereka berlima karena sudah banyaknya orang yang menjadi korban.

Kuharap mereka mati dalam keadaan diselimuti rasa bersalah karena MEREKA ADALAH IBLIS.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nururi Dian
EditorNururi Dian
Follow Us