[CERPEN] Selembar Kertas Makhluk Tuhan yang Unik

18 tahun, apakah aku pernah mencintai diri sendiri?
2012, enam tahun usiaku, duduk di tangga rumah nenek yang diplester tanpa keramik. Baju merah mudaku menjuntai hingga lutut, diterpa angin sejuk yang masuk lewat pintu halaman belakang. Di ruang tamu terdengar keramaian keluargaku yang sedang berkumpul, tertawa, berbincang tentang pencapaian dan pengalaman hidup mereka setahun terakhir. Hari itu, saudara-saudari dari ibu dan anak-anak mereka mengunjungi rumah nenek. Pagi-pagi sekali, wajah cantik sepupuku muncul saat aku membuka pagar utama.
“Pagi, Ui. Buka pagarnya, dong!” Sapa Wina yang seumuran denganku.
“Hai, Ui, lama tidak ketemu kok makin gendut.” Tante yang baru saja keluar dari mobilnya langsung berkomentar terhadapku.
Aku diam saja, tangan kecilku sibuk membuka gembok pagar sebesar telapak tangan anak-anak. Nenekku keluar dari rumah, ikut menyambut anak dan cucunya yang baru datang dari perantauan. Aku tetap diam, belum membalas satu pun sapaan atau pertanyaan yang mereka lontarkan. Alih-alih ikut berkumpul, aku pergi ke ruangan dan duduk di tangga halaman belakang. Percayalah, aku bukan anak pendiam. Aku adalah extrovert ceria yang suka berbicara hingga beberapa bulan yang lalu, beberapa anggota keluarga merusak kepercayaan diriku.
“Ui, kamu kok bisa sih sedekil ini?”
“Anak perempuan kok begini, sih.”
“Aduh, anak kecil jangan sok cantik dan centil seperti anak besar. Ui, jangan pakai baju warna merah muda lagi! Ngga cocok di kulit gelapmu.”
Aku suka bermain di luar walau terkena terik di siang hari, apakah salah jika kulitku menggelap disinari mentari? Aku tidak tahan rambut panjang, apakah salah jika aku meminta potongan pendek pada rambutku? Kenapa aku tidak boleh cantik? Padahal aku suka setelan baju merah muda dengan kerudung merah bergambar salah satu karakter princess favoritku. Aku masih 6 tahun saat itu, tapi kenapa komentar-komentar itu terlontar dari keluargaku sendiri? Apakah aku terlahir untuk menjadi sejelek ini?
Aku tidak cocok terlihat cantik, tapi aku harus seperti perempuan.
2019, ulang tahun ke-tiga belas, aku duduk di bangku sekolah menengah pertama. Beberapa temanku mengucapkan selamat di hari bahagia itu. Halo, aku Ui yang sama dari 2012, rambutku masih pendek, kulitku masih gelap terpapar matahari. Tubuhku menjadi lebih tinggi, ada beberapa perubahan yang aku rasakan. Kata ibu perubahan-perubahan itu normal, tapi caraku berjalan menjadi sedikit membungkuk. Muncul titik-titik kecil berwarna gelap di hidungku—aku juga tidak tahu apa itu. Di fase ini, satu dua jerawat sudah cukup menganggu. Awalnya aku malu dan terus menutup wajah dengan masker, tapi seiring berjalannya waktu jerawat kuanggap hiasan kecil yang akan hilang dengan sendirinya. Akan tetapi, aku berhasil tumbuh menjadi gadis periang yang ramah meski dengan beberapa luka di masa kecil.
“Kamu sekarang sudah gadis, ada baiknya mulai pakai skincare,” salah satu temanku menyela keheningan, “nih, aku belikan beberapa basic skincare.”
Aku memperhatikan sekotak skincare itu lamat-lamat, merasa asing karena tak pernah menyentuh barang-barang seperti itu. Aku mengangguk, menerima kotak set itu dengan senyum yang ramah. Demi menghargai teman, apa salahnya menerima pemberian mereka walau tak tahu akan kuapakan produk-produk itu. Ini kulitku, rambutku, tubuhku, seharusnya bagaimanapun itu terlihat, aku harus berbangga. Aku tidak butuh orang lain untuk menyukaiku, aku yang akan menyukai diriku sendiri.
“Betul kata dia, Ui. Oh iya, aku juga menghadiahkanmu setelah model pakaian terbaru. Selain wajah, penampilan juga harus diperhatikan dengan baik.” Temanku yang lain menimpali.
Ya, mereka baik. Lebih dari sekedar hadiah, teman-temanku secara tidak langsung juga melontarkan sindirian secara halus. Aku menyadari hal itu dengan baik, lewat tiga tahun mereka bersamaku. Penampilanku yang apa adanya tanpa effort agar terlihat lebih menarik, sikapku yang kurang feminim di publik. Bukan sekali dua kali aku mendapat sindirian atau komentar sejenis ini. Dalam beberapa pertemuan keluarga, tante, nenek, om bahkan para sepupu juga angkat bicara. Mama dan papa yang bekerja di luar kota tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi di sekitarku.
Aku bingung, sebenarnya aku harus jadi seperti apa? Dulu aku dikata sok cantik, sekarang ketika aku sudah nyaman apa adanya, aku malah dituntut untuk menjadi gadis cantik.
2024, tahun depan aku lulus dari jenjang SMA. Masa yang katanya penuh romansa anak muda. Itu benar, teman-temanku merasakannya, dan bagai penonton aku menyaksikan seluruh kisah manis mereka. Akan tetapi, kenapa tidak satu pun kisah romansa hadir kepadaku? Aku cukup aktif dalam setiap kegiatan, kata sebagian orang aku punya energi positif. Apakah karena aku kurang menarik, kurang cantik sehingga tidak ada satu pun teman lelaki yang mendekati dan menunjukkan ketertarikan?
Laki-laki tidak suka gadis yang tidak cantik. Mereka suka gadis yang cantik.
Aku kembal ke rumah, memperhatikan penampilanku di cermin kamar. Kubuka lemari, aku belajar merawat dan merias diri. Esok hari, seragam akan kupastikan tersetrika rapi. Kerudung kubenarkan agar sesuai dengan lengkung wajah, kupoles sedikit gincu di bibirku. Begini lebih baik, dengan wangi tipis parfum yang menyerbak dari pakaianku. Aku berangkat ke sekolah, bersikap lebih feminim daripada biasanya. Sebulan, dua bulan, tiga, empat, lima dan enam. Beberapa bulan lagi kelulusanku, tapi romansa di masa sekolah tidak kunjung kurasa. Tidak ada, sama sekali tidak ada laki-laki yang menunjukkan keterikannya padaku di sekolah.
Bertatapan dengan Ui di cermin itu, mataku berkaca-kaca. Kenapa jadi perempuan sesulit ini? Apakah aku tidak pernah benar-benar menjadi perempuan? Kenapa sejak kecil aku berbeda dan selalu tertinggal daripada anak perempuan lain? Air mataku tumpah, luruh semua keluh kesah dalam hati melalui cairan bening itu. Dunia ini asing bagi perempuan yang tidak rupawan, dunia kejam pada perempuan-perempuan yang tidak memenuhi standar. Entah bagian mana pun itu. Besok ulang tahun yang sembilan belas, tapi aku belum menerima diriku sepenuhnya. Aku belum mencintainya! Dunia ini yang aneh, atau aku yang berlebihan terhadap goresan luka di hatiku ini.
Aku tertidur, pukul 01.30 dini hari aku terbangun. Satu setengah jam yang lalu adalah awal kehidupanku di tahun ke-sembilan belas. Aku berguling, tanpa sadar menjatuhkan tumpukan buku bacaan di sudut kasur. Kuambil dan rapikan kembali, lalu terpaku pada selembar kertas yang terbuka. Tertulis disana, “Apa kabar, Makhluk Tuhan Yang Unik?”. Aku membaca buku itu. Esok dan kemudian hari aku percaya, bahwa seluruh perempuan baik dan beriman akan bertemu dengan takdir indah terbaik dari-Nya.