Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Sepasang Sandal di Ujung Senja

ilustrasi sandal (unsplash.com/@ali_alipli)

Langit mulai menguning ketika Pak Darman duduk di bangku kayu depan rumahnya, menatap jalan kecil yang sepi. Di sebelahnya, sepasang sandal jepit tua tergeletak diam, penuh debu, namun tak pernah dibuang. Sandal itu milik almarhum istrinya.

Setiap sore, sejak lima tahun lalu, Pak Darman duduk di tempat yang sama, mengenang hari-hari bersama Sumarni—perempuan yang menemaninya selama empat puluh tahun. Mereka tidak kaya, tapi cukup. Tidak sempurna, tapi saling terima.

Hari ini, angin bertiup lebih lembut dari biasanya. Burung-burung gereja berkicau pelan di atap rumah. Pak Darman memejamkan mata.

"Apa arti hidup, Marni?" bisiknya lirih, seolah suara itu bisa menembus dunia yang berbeda.

Tak ada jawaban, tentu. Hanya kenangan yang menjawab.

Kenangan tentang pagi-pagi ketika Sumarni membuat kopi hitam, terlalu pahit untuk lidah orang lain, tapi pas untuk Pak Darman. Tentang sore-sore hujan, ketika mereka berdua menonton tetesan air dari bawah atap yang bocor, sambil tertawa karena embernya tidak cukup menampung.

Mereka tak pernah punya mobil, tak pernah pergi liburan ke luar kota. Tapi Sumarni pernah berkata, "Kalau setiap hariku bisa kututup dengan senyumanmu, Dar, itu lebih mewah dari segalanya."

Hari demi hari berjalan, dan dunia di sekitar Pak Darman berubah. Anak-anak tumbuh, cucu-cucu mulai sekolah. Rumah-rumah tetangga mulai dibangun dua lantai. Tapi hidupnya terasa seperti menepi, seperti kapal yang sudah selesai berlayar.

Suatu hari, seorang bocah laki-laki menghampiri.

"Kakek, kenapa Kakek duduk di situ terus?" tanya anak itu, polos.

Pak Darman tersenyum. "Menunggu."

"Menunggu siapa?"

"Teman lama."

Bocah itu menatap sandal tua yang bersandar di tembok.

"Itu sandal siapa, Kek? Udah jelek banget."

"Itu... milik orang yang mengajarkanku tentang hidup."

"Ngajarin apa?"

Pak Darman terdiam lama. Lalu ia berkata, "Bahwa hidup bukan soal berapa banyak yang kita punya, tapi siapa yang tetap tinggal saat semua yang kita punya hilang."

Bocah itu diam, lalu ikut duduk. Mereka menatap matahari yang mulai turun, mewarnai langit dengan jingga dan merah. Di keheningan itu, Pak Darman merasa damai. Tidak bahagia, tapi utuh. Tidak ramai, tapi cukup.

Sore itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tak merasa sendirian. Bukan karena bocah itu, tapi karena ia sadar—Sumarni tak pernah benar-benar pergi. Ia tinggal di tawa yang dikenang, di kopi yang masih dibuat setiap pagi meski tak diminum, di sandal usang yang tetap dibiarkan di tempatnya.

Hari itu, Pak Darman belajar lagi arti hidup.

Bukan tentang berapa lama kita hidup, tapi apa yang kita tinggalkan saat kita pergi. Bukan tentang menghindari kesedihan, tapi bagaimana kita mengisi hari-hari yang tersisa dengan makna.

Dan kadang, makna itu hadir sesederhana sepasang sandal yang tak dibuang, karena cinta tak mengenal tanggal kedaluwarsa.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us