Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Jalanan Sore (pexels.com/Kindel Media)
Ilustrasi Jalanan Sore (pexels.com/Kindel Media)

Intinya sih...

  • Perpustakaan kota yang kuno tetap kokoh berdiri, menambah kesan magis dengan rerumputan liar dan lumut di dindingnya.

  • Pengalaman masa lalu sebagai pelajar teringat saat melihat sepasang remaja bertukar pikiran di perpustakaan.

  • Kisah teman-teman masa kecil yang berjuang keras dalam kehidupan dewasa, termasuk salah satunya menderita komplikasi karena kelelahan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Aku terduduk lesu di antara deretan kursi biru yang menghiasi perpustakaan kota. Kendati telah melewati usia setengah abad, bangunan kuno ini masih tampak kokoh berdiri. Dengan halaman yang sudut-sudutnya mulai ditumbuhi rerumputan liar hingga jamur kehitam-hitaman serta hijau lumut yang menempel di beberapa titik dinding bagian luar, menambah kesan magis perpustakaan. Seperti istana tua yang menolak untuk dilupakan.

Dari kejauhan, terdengar hiruk-pikuk lalu-lalang kendaraan. Mesin-mesin yang menggeram, teriakan klakson yang sumbang, menyiratkan kesal dan lelah yang dipendam oleh para pengendara jalanan. Penat mereka yang seharian, mencapai puncaknya kala matahari menjelang terbenam. Tatkala mereka harus bergelut dengan macet jalan raya yang memuakkan.

Aku menoleh ke belakang, ke arah perpustakaan. Di balik buram kaca jendela sayap kiri perpustakaan, tampak sepasang remaja yang tengah bertukar pikiran. Dari seragam yang mereka kenakan, dapat kusimpulkan bahwa mereka masih berstatus pelajar. Melihat hal itu, aku tak dapat menahan pikiranku untuk kembali menerobos waktu. Menerawang kembali masa-masa beberapa tahun silam. Masa yang mengisahkan diriku yang masih pelajar.

Pada waktu sekolah dasar, aku pernah menduduki peringkat 5 besar selama enam tahun berturut-turut. Aku cukup rajin belajar, setidaknya sampai bisnis orang tuaku karam. Usaha mebel yang telah lama mereka geluti gulung tikar. Terpaksa, kami berhutang sana-sini, mencari tambahan rupiah ke sana kemari, pendidikanku terhenti, dan aku pun kehilangan jati diri.

Barangkali dulu aku pernah mempunyai mimpi, meski saat ini aku sudah tak peduli lagi, yang terpenting adalah menjalani hari dengan kewarasan hati. Kudengar, kawan masa kecilku telah menjelma menjadi manusia berdasi, berbalut kemeja dan jas rapi. Aku sering melihatnya di baliho dekat persimpangan-persimpangan jalan. Tampak, ia tengah berjuang untuk mendapatkan kursi. Ada juga yang jadi petani, polisi, sopir taksi, oknum pungutan liar (pungli), bahkan admin judi. Miris, salah satu kawanku bekerja teramat keras, sampai-sampai ia tak dapat menjaga diri. Pagi-siang jadi guru honorer, sore malam jadi kuli. Ia kelelahan, lalu menderita komplikasi.

Azan magrib berkumandang, sinyal bagiku untuk beranjak pergi. Kupakai kembali topiku yang sedari tadi tanpa sadar kugenggam erat di pangkuan. Kupasang sepasang sandalku dengan rapi di antara ruas-ruas jari kaki. Aku berdiri, menghela napas panjang, entah untuk yang sekian kali. Kuhampiri gerobak bakso aciku yang kesepian karena lama kutinggal sendiri, lalu mendorongnya dengan hati-hati. Irama azan yang mengalun indah rasanya telah memanggil-manggil namaku sedari tadi. Tak sabar hati ini untuk mengadukan segala lelah pada Sang Pemilik Hati.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team