Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Kapal yang Tak Berlayar

ilustrasi gambar kapal
ilustrasi gambar kapal (pexels.com/Zukiman Mohamad)

Satu pekan yang lalu begitu matahari tenggelam Rai pergi menjemput San untuk berkencan dan menghabiskan waktu malam Kamis bersama di taman kota. Sesekali mereka saling memberi ciuman dan pelukan. Dan cinta yang dalam pun terpancar dari mata keduanya yang memantulkan purnama.

“Ini bukan malam Minggu, Rai, tapi malam Kamis,” ujar San menyelipkan sejumput rambut di belakang telinga. Ciuman yang dalam dan pelukan yang hangat membuatnya lupa untuk membenarkan cepolan rambutnya yang lepas.

“Makanya sepi,” lanjut San.

“Memangnya kenapa kalau malam Kamis bukan malam Minggu,” balas Rai menautkan jemarinya dengan jemari San. Sebuah kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika tengah berkencan.

“Padahal, malam Minggu dan malam apa pun itu sama, San. Sama-sama gelap, sama-sama hadir setelah matahari tenggelam. Tidak ada yang membedakan malam Minggu dengan malam-malam lainnya.”

“Tapi, malam Minggu itu identik dengan malamnya orang pacaran, Rai. Makanya malam Minggu itu selalu ramai. Berbeda dengan malam-malam yang lainnya.”

Rai terkekeh mendengar penjelasan San mengenai malam Minggu. Laki-laki itu menyisir rambutnya menggunakan tangan. Lantas, mengubah posisi duduknya menatap San. Tempat segala perasaannya bermuara. Rumah paling nyaman yang selama lima tahun ini ia tempati.

“Tidak, San. Tidak ada yang membedakan malam Minggu dengan malam lain. Anggapan malam Minggu sebagai malam kencan itu hanyalah opini dan sudut pandang yang telah tertanam pada kepala orang-orang dan dipercaya secara turun-temurun.” Rai menjelaskan dengan sudut pandangnya sendiri.

"Padahal, malam apa pun itu tetap sama, San. Yang membedakan hanyalah momennya dan seseorang yang bersamanya kala itu.”

San tertegun sejenak mendengar jawaban Rai. Jawaban yang sama sekali tak pernah ada di dalam pikirannya. Dan sungguh jawaban itu semakin membuat San kagum pada Rai, laki-laki yang sudah menghuni hatinya lima tahun belakangan ini. Laki-laki dengan segala hal yang tak terduga serta dengan segala keajaiban yang ada.

“Ah, kau benar, Rai. Malam Minggu malam kencan dan pacaran itu hanyalah stigma turun-temurun. Padahal, tanpa harus menunggu malam minggu pun sepasang kekasih tetap bisa berkencan dan menikmati waktu berdua.”

“Seperti kita kan, San?” sahut Rai sambil mengerling yang membuat San tersipu.

Sudah lima tahun sejak tiga bulan saling mengenal lah mereka berpacaran, akan tetapi San selalu terpukau dengan apa yang Rai lakukan, sekecil apa pun itu. Jantung San selalu berdetak lebih keras ketika Rai mulai memberinya tatapan yang teramat dalam.

Sampai-sampai San rasa ia tenggelam dan sulit untuk naik ke daratan. Meskipun semesta sejak awal memintanya untuk tak menenggelamkan diri di mata seorang Rai Wicaksono.

Meski tampak romantis dan menghangatkan, nyatanya kisah cinta Rai dan San tidak semulus yang terlihat. Bahkan, bisa dibilang cinta mereka itu terlarang.

Ada tembok besar dan tinggi yang berdiri kukuh membatasi keduanya. Tembok yang tidak bisa ditembus bahkan dengan cinta yang besar sekalipun. Sebab, cinta mereka tak hanya melibatkan dua hati, tapi juga melibatkan Tuhan serta kepercayaan yang telah digenggamnya masing-masing.

***

“Bagaimana akhir dari kisah kita nanti, Rai? Bagaimana kita akan menjalani hari demi hari nanti? Apa … kita akan terus seperti ini?”

Suatu hari San bertanya akan hubungannya dengan Rai. Dia merasa hubungan mereka pada akhirnya akan sia-sia. Mereka tetap tak akan bisa bersatu dan menghabiskan sisa usia bersama. Kecuali, ada salah satu yang mengalah. Tapi, siapa?

Rai merenung. Dia memikirkan hal yang sama dengan San. Hal yang membuat kepalanya selalu penuh dan berakhir insomnia ketika malam hari.

Rai mulai bertanya-tanya apa benar keduanya takkan bisa bersama selamanya?

“Tidak. Kita akan tetap bersama, San.”

“Tapi, itu tidak mungkin, Rai.”

“Aku akan ikut denganmu.”

“Rai! Jangan gila!” San melotot. Dia tidak akan menyangkan bahwa kalimat itu keluar dari bibir Rai.

“Justru aku akan gila bila kita tak bersama, San.”

“Tapi, tidak begini caranya, Rai.”

“Lalu, bagaimana, San? Apa kamu yang akan mengalah?”

San menggeleng. Sebesar apa pun rasa cintanya pada Rai ia tetap tidak mau meninggalkan Tuhannya. Dia juga tidak ingin Rai meninggalkan Tuhannya hanya karena cinta.

Sejak awal hubungan yang terjalin di antara mereka telah salah. Tidak seharusnya semua berlanjut pada titik ini.

“Begini … aku tidak melarangmu untuk ikut denganku, Rai. Sama sekali tidak. Tapi, aku tidak mau menjadi alasan seseorang untuk meninggalkan Tuhannya.”

“Kamu bebas untuk ikut siapa, tapi kau harus sudah memantapkan hatimu, Rai. Bukan hanya karena cinta semata,” imbuhnya.

Rai diam. San juga. Keduanya hanya saling tatap selama beberapa menit tanpa mengeluarkan suara. Malam yang semakin larut dan dingin seolah menjadi saksi atas air mata yang mengalir di kedua mata mereka.

“Sejak awal kita yang salah, Rai. Kita sudah tahu ada batas yang tak bisa kita lewati, akan tetapi kita malah nekat untuk bersama.” San kembali berbicara setelah keheningan yang terjadi.

“Lalu, kita harus bagaimana, San?”

San menarik napas dalam dan memejamkan mata. “Mari kita akhiri saja semuanya, Rai.”

“Tapi, San ….”

“Bagaimana kapal kita akan berlayar bila arah kita saja berbeda, Rai?” ujar San mengakhiri semuanya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ken Ameera
EditorKen Ameera
Follow Us