[Cerpen] Menanti Pelukan

Gerimis menderas di mataku. Aku tak bisa mencegahnya.

Tangannya yang gemetar susah payah bergerak untuk meraih jemariku dan menggenggamnya. Dingin sekaligus hangat menjalari tanganku. Ada kerinduan teramat yang aku rasakan dari genggamannya, tapi aku bergeming. Tak ada reaksi apa pun dariku. Aku memang merindukannya. Sangat. Namun, apa yang dilakukannya belasan tahun lalu membuatku merasa jijik tiap kali sadar kalau aku menyimpan rindu untuknya. 

Aku tidak tahu kapan tepatnya benih kebencian ini muncul dalam diriku. Barangkali sejak pertama kali aku mendengar suara wanita lain menyapanya dengan panggilan tak biasa di seberang telepon. Saat itu, ketika sadar aku masih mengenakan seragam putih biruku di hadapannya, matanya menelisikku. “Mey—?”

Pertanyaannya terpotong oleh gelagatku yang balik menelisik, tapi bukan menelisik dirinya, melainkan menelisik setiap sudut ruangannya. Aku memang sengaja mampir ke kantornya selepas sekolah hanya demi memastikan siapa pemilik suara yang kudengar ketika menelponnya tadi pagi.

Setelah beberapa saat tak kutemukan siapa pun di sana, aku baru bisa merasa lega. Namun, rupanya rasa lega itu pun tak mampu bertahan barang sedetak jantung pun karena tepat saat itu, seorang wanita masuk begitu saja, menahan langkahnya di mulut pintu begitu mendapatiku. Jemarinya masih bertaut di gagang pintu. Wanita cantik dengan pakaian kerja dan make up sederhana, tapi membuatnya terlihat lebih seksi dan anggun.

Sebentar ia menatapku, memperhatikanku dari atas hingga bawah, kemudian kembali lagi ke atas, kemudian tersenyum.

Aku melengos, meminta penjelasan pada lelaki di hadapanku—lelaki yang sama dengan yang kini terbaring lemah di sisiku—siapa sebenarnya wanita itu.

Tak ada penjelasan apa pun yang keluar dari mulutnya. Ia hanya memandangku sekilas, lalu mengenalkan wanita itu dengan nama Rosna.

Tiga bulan berikutnya Mama dan lelaki itu resmi bercerai. Aku tidak mengerti mengapa Mama menerima begitu saja keputusan lelaki itu untuk menceraikannya. Mama tidak menuntut apa pun darinya selain hak asuhku. Yang lebih tak aku mengerti lagi, Mama melarangku untuk membencinya. Aku katakan padanya aku tak bisa berjanji soal itu, tapi Mama memaksa. Akhirnya aku terpaksa berjanji, hanya untuk membuatnya sedikit tenang.

“M, Mey….” Aku tersentak keluar dari ingatan belasan tahun lalu tadi, kemudian kebencian semakin meringkus diriku ketika tiba-tiba saja suaranya menelusup ke telingaku. Suara yang parau dan gemetar.

Sepertinya ia ingin megatakan sesuatu, tapi kondisinya terlalu lemah untuk melakukannya. Aku tidak tertarik untuk mengetahui apa sebenarnya yang ingin dikatakannya. Permintaan maaf? Menanyakan keadaanku? Apa pun, aku tidak tertarik untuk mengetahuinya.

Satu-satunya alasanku mau menjenguknya saat ini adalah karena Rosna mau merendahkan diri datang ke Kedai Sup Durian tempatku bekerja dan terus memohon agar, paling tidak, sekali saja, aku mau menemui lelaki yang kini terbaring tak berdaya di sisiku sebelum hidupnya berakhir karena dokter memperkirakan hidupnya hanya tinggal menunggu hari. Tak ada lagi yang bisa dilakukan dokter-dokter itu untuk menyelamatkan hidupnya.

Aku masih muak, bahkan untuk sekadar mendengar suaranya. Aku mengabaikannya, berusaha membuang perhatianku pada semangkuk bubur yang dari awal kedatanganku sudah tersedia di meja, di sisi ranjang. Bubur yang kelihatannya belum disentuh sama sekali. Bubur yang kemudian kembali merenggutku pada momen sepuluh tahun lalu.

Hari itu Mama memasak banyak makanan. Aku tidak ingat ada perayaan apa sampai Mama mengatakannya. Dengan santai Mama bilang kalau hari itu adalah hari ulang tahun pernikahannya yang keempat belas. Mama mengatakannya dengan sedikit senyum dan sedikit air mata yang menggenang di matanya. Kemudian ia bercerita soal betapa senangnya lelaki yang kini terbaring di sisiku ini ketika Mama melahirkan aku. Mama terlihat bahagia sekaligus juga terlihat sedih. Dan, lagi-lagi Mama berpesan agar aku tak membencinya.

Kurasakan tangannya lebih erat menggegam tanganku. Aku menolaknya. Kupaksa genggamannya untuk lepas dari tanganku. Pelan, dan kuperhatikan kelopak mata yang membungkus penuh kedua bola matanya sedikit bergerak-gerak. Kemudian aku meninggalkannya setelah aku memastikan ia tertidur.

                                                                    *

Kedai Sup Durian baru saja dibuka. Aku dan beberapa pegawai lain masih sibuk membersihkan meja-meja dan kursi-kursinya dari debu ketika kulihat seorang wanita dengan setelan kaus kesual v-neck cokelat dipadu kardigan dan rok sepan selutut berwarna senada berdiri celingak-celinguk di ambang pintu. Make up sederhana yang memoles wajahnya membuatnya masih tampak seperti wanita usia awal empat puluhan meski usia sebenarnya sudah lebih dari lima puluh tahun. Matanya menelanjangi Kedai Sup Durian yang luasnya tak seberapa ini.

“Mey, ada yang nyari tuh!” Kudengar Lena memanggilku. Aku tahu, tanpa diberitahu pun aku tahu ia kemari pasti untuk mencariku.

Sepuluh menit berikutnya, aku dan dia sudah duduk berhadapan di sebuah meja yang letaknya di pojok kanan, persis dekat jendela, menghadap jalan raya. Di hadapannya sudah tersedia secangkir kopi dan sepiring salad durian. Sementara aku memilih untuk tidak memesan apa pun.

“Bagaimana keadaannya? Ada perkembangan?” Aku memulai percakapan duluan karena dia masih sibuk mengaduk kopinya, menambahkan satu block gula ke dalamnya, dan mengaduknya lagi.

Dia menggeleng. “Kondisinya makin memburuk.”

Aku melempar pandangan ke luar jendela. Lalu lintas mulai padat di luar sana. Langit di atasnya mulai dikepung awan kelam.

“Jenguklah dia sekali lagi,” pintanya sebelum membiarkan bibir cangkir bersentuhan dengan bibir tipisnya. 

Aku tak menanggapinya.

“Kau masih membencinya?”

Aku masih tak menanggapinya.

“Dia papamu.” Dia meletakkan cangkir kopinya, menghela napas. “Aku punya firasat kalau sebentar lagi dia akan meninggalkan kita selama-lamanya.” Tangannya meraih garpu dari piring salad duriannya.

“Itu yang dikatakan dokter. Seperti yang kau bilang kemarin.”

“Maksudku, dalam waktu beberapa jam lagi.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Kau bukan Tuhan.” Aku mulai jengah berhadapan dengannya. Dari jendela di dekat meja kami, aku mendapati gerimis mulai menampakkan diri di luar. Kilat berjatuhan, menimpa para pengendara, para pejalan kaki, para pedagang kaki lima, juga pengamen dan pengemis yang masih saja bertahan di sisi rambu lalu lintas.

“Jenguklah dia. Beri dia pelukan. Kemarin kau sama sekali tak memberinya pelukan, kan? Bee tak pantas kau perlakukan seperti ini.” Suaranya tanpa emosi. Aku benar-benar tak bisa menebak apa yang berkecamuk dalam benaknya saat ini.

“Aku tak punya alasan untuk memeluknya. Lagi pula, kenapa aku harus menuruti permintaan wanita yang sudah jelas-jelas merenggutnya dariku dan Mama?”

“Merenggut Bee dari kalian?” Dia terkekeh. “Ah, tentu. Tentu mamamu tak akan bercerita soal apa yang terjadi sebenarnya.” Dia menyuapkan salad durian ke mulutnya.

Mendengar Mama disebut, aku sedikit mendelik ke arahnya. Jika saja aku tak ingat kalau ini masih jam kerjaku, aku sudah menyiram wajahnya dengan kopi panas di cangkirnya itu.

“Bukan aku yang merenggut Bee dari kalian, tapi kalianlah yang merenggut Bee dariku,” lanjutnya, kemudian cerita meluncur dari mulutnya.

Dia bilang, sebenarnya dia dan lelaki itu sudah menjalin hubungan sejak mereka masih di bangku kuliah. Keduanya saling mencintai. Mereka sudah merencanakan ingin melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan ketika lelaki itu tiba-tiba saja dijodohkan dengan Mama.

Hubungannya sempat putus ketika itu, kemudian lelaki itu pun terpaksa menikah dengan Mama, wanita yang menjadi pilihan kedua orang tuanya. Kemudian lahirlah aku. Penyakit Mama mempertemukan kembali dirinya dengan lelaki itu. Mama yang ketika itu membutuhkan donor jantung memungkinkan dia memiliki kesempatan untuk merebut kembali cinta yang pernah keduanya miliki. Dia menjanjikan jantung ayahnya—yang saat itu sekarat dan setuju untuk mendonorkan jantungnya—untuk Mama, dengan syarat, lelaki itu mau kembali kepadanya.

“Lalu dia menyanggupinya?”

Dia mengangguk dan kembali menyuapkan salad durian ke mulutnya.

“Awalnya, aku pikir Bee menyanggupi kesepakatan itu karena dia masih mencintaiku. Ternyata aku salah.” Dia tertawa getir. “Bee melakukannya demi menyelamatkan hidup mamamu. Hanya nyawa mamamu yang ada di pikirannya saat itu. Juga kau. Ia begitu menyayangi kalian sampai-sampai aku nyaris putus asa.”

Aku tertegun. Aku tidak bisa begitu saja memercayai ceritanya, tapi setengah hatiku bilang kalau apa yang dikatakannya benar. Aku mendapati matanya berkaca-kaca, tapi aku masih tak dapat menangkap emosi apa pun dari wajahnya.

“Belasan tahun aku berusaha membuatnya bisa melupakan kalian, ternyata sia-sia. Tubuhnya ada bersamaku, tapi hati dan pikirannya sudah tak bisa kumiliki. Jiwanya selalu ada bersama kalian.” Dia melempar pandangannya ke luar jendela. Kemacetan di jalan raya sudah sedikit terurai. “Mamamu tahu soal ini.”

“Karena itu Mama menerima begitu saja ketika dia mengajukan surat permohonan cerai?”

Dia mengangguk. “Dan dia setuju ketika Bee memintanya untuk merahasiakan ini semua darimu. Meski itu menyakitkan baginya.”

Gerimis di luar sudah menjelma hujan sejak tadi, tapi di sini, di kedalaman hatiku, gerimis baru mulai mengetuk-ngetuk. Pesan Mama agar aku tak sampai membenci lelaki itu kembali menyundul-nyundul kepalaku.

Hening sesaat di meja kami. Namun, di meja lain, pengunjung Kedai Sup Durian mulai memenuhinya. Rupanya hujan tak menyurutkan selera mereka untuk menyantap sesuatu yang dingin.

“Belasan tahun Bee berusaha membuatmu tak membencinya lagi, tapi selalu gagal. Setiap kali dia mencoba dan gagal, dia selalu merutuki dirinya. Dia bilang, dia merindukan pelukanmu. Dia rela menukar segalanya demi membuatmu kembali berlari ke pelukannya seperti ketika kau kecil dulu.”

Dia kembali menyesap kopinya.

Beberapa detik berikutnya, sebuah telepon merampas percakapan kami. Dia menerima teleponnya.

Wajahnya memerah. Aku bisa membaca emosinya sekarang. Dia tengah mati-matian menahan tangis.

“Firasatku meleset,” katanya, setelah mengakhiri telepon.  

Guntur menyambar. Jendela di dekat meja kami bergetar. Aku menunggu dengan hati terikat cemas.

“Bee meninggalkan kita lebih cepat dari yang kuperkirakan.”

Tepat saat dia berkata seperti itu, aku dikejutkan oleh suara ringtone ponselku. Sebuah pesan masuk kuterima. Dari Mama.

Mama dengar papamu sakit. Sore ini kita jenguk dia ya. :)

Gerimis menderas di mataku. Aku tak bisa mencegahnya.[]

Baca Juga: [Cerpen] Air Mata

El Rui Photo Verified Writer El Rui

Penghuni Pluto. Gemar menulis hal-hal remeh dan berpikir aneh-aneh. Twitter: @EeelRui

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya